• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 5 Mei 2024

Sejarah

Ziarah Makam Wali

Makam Keramat di Garut, Pangeran Papak Cinunuk Wanaraja (2)

Makam Keramat di Garut, Pangeran Papak Cinunuk Wanaraja (2)
Kuncen (memakai iket) sedang memimpin doa di Makam Pangeran Papak Cinunuk, Wanaraja, Garut (Foto: RSA/NUJO)
Kuncen (memakai iket) sedang memimpin doa di Makam Pangeran Papak Cinunuk, Wanaraja, Garut (Foto: RSA/NUJO)

Oleh Rudi Sirojudin Abas
Prosesi ziarah ke situs Makam Cinunuk merupakan sebuah identitas kebudayaan yang lahir dari pengetahuan masyarakat sebagai pemilik gagasan kehidupannya. Merujuk pada konsep kebudayaan Koentjaraningrat (2003), kegiatan ziarah ini merupakan bentuk kebudayaan karena lahir dari cipta, karsa, rasa, serta pengetahuan masyarakatnya. Kebudayaan yang kata dasarnya budaya, berasal dari bahasa Sanskerta ”budhayang” yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti “budi” atau “akal”. Budaya diartikan sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sehingga kebudayaan merupakan hasil cipta, karsa, dan rasa dari sekelompok orang atau masyarakat.

Sebagai produk budaya, kegiatan ziarah di Situs Makam Cinunuk memperlihatkan cara berpikir kolektif masyarakat sebagai suatu proses, cara kerja, serta berbagai tindakan yang dinilai benar, baik, bagus, pantas, dan sepatutnya dimiliki oleh suatu masyarakat terhadap leluhurnya. Hal tersebut seperti tampak dalam proses ziarah yang memiliki pola, aturan, syarat yang khas (baku) sesuai dengan adat istiadatnya. 

Ciri khas ziarah di Situs Makam Cinunuk masih menggunakan kuncen, mengunjungi tujuh pancuran di sungai Cimora, serta pemilihan malam Jum’at Kliwon dan bulan Mulud dalam kegiatan ziarah. Ciri dan aturan-aturan tersebut kini telah menjadi sebuah identitas penziarahan karena tetap dikontruksi masyarakat sebagai pewaris budaya leluhurnya.

Kuncen merupakan seseorang yang memfasilitasi serta memediasi peserta ziarah dalam berdoa. Kuncen juga semacam imam (pemimpin) yang bertugas menyampaikan maksud peserta ziarah. Penggunaan kuncen dalam berziarah lebih menekankan pada etika dan tatakrama masyarakat dalam menghormati serta memuliakan keturunan penyebar agama Islam (waliyulloh). 

Berkenaan dengan itu, di bagian pintu masuk makam tampak tulisan ”Perhatosan, mugi kauninga ka sadaya para tamu anu bade maksad ziarah supados perantawisan juru kunci” (mohon diperhatikan kepada seluruh tamu yang hendak berziarah supaya melalui perantara juru kunci makam).

Berziarah ke tempat-tempat kuburan dalam berbagai agama apapun boleh dilakukan secara langsung tanpa perantara. Tetapi khusus untuk makam-makam yang dikeramatkan, makam para penyebar agama Islam (waliyulloh), bahkan para pendiri sebuah kampung atau tempat, selalu menggunakan jasa perantara kuncen. 

Menurut Jakob Sumardjo (2013) kuncen merupakan ‘juru doa’ sebagai medium antara pengunjung ziarah dengan seseorang yang diziarahi. Kuncen telah menjadi kekhasan kuburan keramat di Sunda. Maka tidak heran jika di Sunda seperti di Cinunuk, kuncen telah menjadi sebuah identitas ziarah. Oleh karena itu kuncen merupakan bagian kearifan lokal budaya di tempat-tempat penziarahan yang harus dijaga serta dipertahankan eksistensinya.

Kearifan lokal di Situs Makam Cinunuk yang lain adalah keberadaan tujuh pancuran mata air Cimora. Tempat ini biasa dikunjungi oleh para peziarah sebelum sampai ke makam Pangeran Papak. Air Cimora ini mempunyai berkah dan khasiat tersendiri bagi masyarakat yang mempercayainya, terlebih keberadaannya yang tetap bersih dan terjaga meskipun dua sungai yang melintasinya yaitu sungai Cisangkan dan Cimalaka kini telah tercemar limbah sampah masyarakat. Maka tidak heran jika mata air Cimora yang terletak tidak jauh dari makam, menjadi penting bagi masyarakat. Baik bagi masyarakat setempat maupun masyarakat luar yang sengaja berkunjung untuk keperluan ziarah.

Keberadaan tujuh pancuran/mata air atau sumur telah menjadi kekhasan tempat-tempat penziarahan. Lalu bagaimana dengan bilangan tujuh? Jakob Sumardjo (2013) mengungkapkan bahwa bilangan tujuh merupakan gejala primordial yang hampir merata di setiap kepercayaan di Indonesia. 

Masihkah kita ingat tentang mitos-mitos tujuh pohaci (dewi sri), tujuh batara/penguasa (dewa), tujuh macam jenis bunga, rujak tujuh bulanan yang berkembang dalam berbagai kepercayaan seperti Hindu, Budha, Jawa, maupun Sunda? 

Begitu pula dalam  agama Islam  dikenal adanya mistis bilangan tujuh seperti pada penciptaan  tujuh lapis langit-bumi, tujuh malam-tujuh hari, tujuh ayat alfatihah, tujuh air suci dan mensucikan, tujuh neraka, tujuh takbir pertama dalam shalat hari raya (ied), pesta kelahiran (aqiqah) bayi pada hari ketujuh, serta bilangan-bilangan tujuh yang lainnya. 

Dengan demikian, angka tujuh menjadi sebuah angka penting dalam kehidupan masyarakat mistis di Indonesia. Sebagai bukti, kesakralan bilangan tujuh tersebut kini masih dipakai dan dipercayai oleh masyarakat sebagai bilangan yang sakral termasuk di Wilayah Cinunuk Wanaraja Garut yang menjadikan tujuh pancuran di mata air Cimora.

Kunjungan ke tujuh pancuran mata air Cimora begitu penting berkaitan dengan fungsi dan manfaat air bagi kehidupan, bukan hanya sebatas air yang dikeramatkan. Air menjadi begitu penting bagi kehidupan. Adanya kampung yang didirikan dekat sumber mata air atau sungai Cinunuk sebagai lokasi tempat penziarahan Pangeran Papak, menjadi bukti penamaan kampung yang menggunakan awalan ci atau cai. , Di wilayah Sunda memang banyak tempat atau perkampungan yang diawali dengan kata ci atau cai yang berarti air.

Hanya wilayah Cinunuklah satu-satunya wilayah desa di Kecamatan Wanaraja yang memakai awalan kata ci atau cai dalam penamaan sebuah tempat. Terlebih lagi dengan adanya mata air Cimora. Hal ini tentu menjadi telaah yang menarik.

Penulis adalah Warga NU, peneliti Makam Keramat


 


Editor:

Sejarah Terbaru