• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Sejarah

Latar Belakang Nama Shafar dan Mitos "Bulan Kesialan"

Latar Belakang Nama Shafar dan Mitos "Bulan Kesialan"
Foto: NU Online
Foto: NU Online

Latar Belakang Nama Bulan Safar
Dalam kalender hijriyah, saat ini bertepatan dengan bulan Shafar, yang merupakan bulan kedua setelah Muharram. Ada alasan khusus dibalik penamaan bulan tersebut sebagaimana disampaikan oleh Imam Abul Fida Ismail bin Umar ad-Dimisyqi, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Ibnu Katsir (wafat 774 H) yang tidak terlepas dari keadaan orang Arab tempo dulu pada bulan Shafar.

Shafar mempunyai arti “sepi” atau “sunyi” sesuai keadaan masyarakat Arab yang selalu sepi pada bulan tersebut. Sepi dalam arti senyapnya rumah-rumah mereka karena orang-orang keluar meninggalkan rumah untuk perang dan bepergian. Imam Ibnu Katsir menjelaskan:

صَفَرْ: سُمِيَ بِذَلِكَ لِخُلُوِّ بُيُوْتِهِمْ مِنْهُمْ، حِيْنَ يَخْرُجُوْنَ لِلْقِتَالِ وَالْأَسْفَارِ

Artinya, “Safar dinamakan dengan nama tersebut, karena sepinya rumah-rumah mereka dari mereka, ketika mereka keluar untuk perang dan bepergian.” (Ibnu Katsir, Tafsîrubnu Katsîr, [Dârut Thayyibah, 1999], juz IV, halaman 146).

Alasan lain disampaikan oleh Imam Ibnu Manzhur (wafat 771 H). Belaiu menuturkan, ada beberapa alasan mendasar di balik penamaan bulan Safar, yaitu: (1) sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir; (2) orang Arab memiliki kebiasaan memanen semua tanaman yang mereka tanam, dan mengosongkan tanah-tanah mereka dari tanamanan pada bulan Safar; dan (3) pada Safar orang Arab memiliki kebiasaan memerangi setiap kabilah yang datang, sehingga kabilah-kabilah tersebut harus pergi tanpa bekal (kosong) karena mereka tinggalkan akibat rasa takut pada serangan orang Arab. (Muhammad al-Anshari, Lisânul ‘Arab, [Beirut, Dârus Shadr: 2000], juz IV, halaman 460).  

Mitos di Bulan Safar
Sebagaimana diketahui bersama, tak sedikit orang yang beranggapan dan bahkan ada yang meyakini, pada bulan Shafar akan terjadi musibah yang luar biasa dan akan terjadi cobaan melebihi bulan-bulan lainnya. Dalam hal ini Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat 795 H) mengatakan, bulan Shafar dan bulan lainnya tidak memiliki perbedaan sama sekali. Menurutnya sebagaimana dalam bulan lain, dalam bulan Shafar dapat terjadi keburukan dan kebaikan. Dengan kata lain, tidak boleh menganggap bulan Shafar diyakini sebagai bulan yang dipenuhi dengan kejelekan dan musibah. Beliau menegaskan:

وَأَمَّا تَخْصِيْصُ الشُّؤْمِ بِزَمَانٍ دُوْنَ زَمَانٍ كَشَهْرِ صَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ فَغَيْرُ صَحِيْحٍ

Artinya, “Adapun mengkhususkan kesialan dengan suatu zaman tertentu bukan zaman yang lain, seperti (mengkhususkan) bulan Safar atau bulan lainnya, maka hal ini tidak benar,”.

Ini memberikan penjelasan bahwa Imam Ibnu Rajab tidak membenarkan keyakinan seperti itu sebab semua bulan, zaman, dan tahun merupakan makhluk Allah SWT, yang di dalamnya bisa saja terjadi suatu kesialan, bencana, dan musibah. Maka sangat tidak logis jika musibah hanya dikhususkan pada bulan Shafar dan meniadakannya pada bulan-bulan lainnya. Lebih tegas Ibnu Rajab menyatakan, barometer dari baik dan tidaknya suatu zaman tidak dilihat dari kejadian-kejadian yang terjadi di dalamnya.

Menurutnya, semua zaman yang di dalamnya semua seorang mukmin menyibukkan diri dengan kebaikan, maka zaman tersebut adalah zaman yang diberkahi, dan begitu pula sebaliknya. Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata:

فَكُلُّ زَمَانٍ شَغَلَهُ المُؤْمِنُ بِطَاعَةِ اللهِ فَهُوَ زَمَانٌ مُبَارَكٌ عَلَيْهِ، وَكُلُّ زَمَانٍ شَغَلَهُ العَبْدُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَهُوَ مَشْؤُمٌ عَلَيْهِ

Artinya, “Setiap zaman yang orang mukmin menyibukkannya dengan ketaatan kepada Allah, maka merupakan zaman yang diberkahi; dan setiap zaman orang mukmin menyibukkannya dengan bermaksiat kepada Allah, maka merupakan zaman kesialan (tidak diberkahi).” (Zainuddin ‘Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Baghdadi ad-Dimisyqi, Lathâ-iful Ma’ârif, [Dar Ibn Hazm, cetakan pertama: 2004], halaman 81).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan  bahwa penyebab suatu zaman tidak diberkahi oleh Allah SWT adalah dikarenakan banyaknya kemaksiatan yang dilakukan manusia. Begitu juga penyebab suatu zaman bisa diberkahi apabila di dalamnya orang sibuk dengan melakukan ketaatan dan kebaikan. Karenanya sangat wajar jika pada penjelasan di atas, Ibnu Rajab menolak anggapan atau keyakinan bahwa bulan Safar dianggap sebagai bulan kesialan yang di dalamnya tidak ada keberkahan sama sekali. Anggapan atau keyakinan tersebut sebenarnya tidak lepas dari tradisi orang Arab yang memiliki keyakinan bahwa bulan Safar merupakan bulan kesialan dan penuh cobaan.

Keyakinan salah itu akhirnya mengakar dan menyebar ke mana-mana, bahkan tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mengikutinya. Rasulullah SAW pun menolak anggapan seperti itu yang di ungkapkan melalui sabdanya:

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ

Artinya, “Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan), dan juga tidak ada (kesialan) pada bulan Safar. Menghindarlah dari penyakit judzam sebagaimana engkau menghindar dari singa.” (HR al-Bukhari) (Badruddin ‘Aini, ‘Umdâtul Qâri Syarhu Shahîhil Bukhâri, [Beirut, Dârul Kutub: 2006], juz IX, halaman 409).

Syekh Abu Bakar Syata Ad-Dimyathi (wafat 1302) mengatakan, hadits di atas ditujukan untuk menolak keyakinan dan anggapan orang-orang Jahiliah yang mempercayai setiap sesuatu dapat memberikan pengaruh dengan sendirinya; baik keburukan maupun kebaikan. Selain itu juga menolak setiap penisbatan suatu kejadian kepada selain Allah. Artinya, semua kejadian yang terjadi murni karena kehendak Allah yang sudah tercatat sejak zaman azali, bukan disebabkan waktu, zaman, dan anggapan salah lainnya.” (Abu Bakar Syattha, Hâsiyyah I’ânatuth Thâlibîn, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiah: 2003], juz III, halaman 382).

Bukti Bulan Safar Bukan Bulan Kesialan
Habib Abu Bakar Al-Adni dalam salah satu mengatakan, ada beberapa bukti peristiwa yang menolak keyakinan masyarakat Jahiliah atas keyakinannya yang menganggap bahwa bulan safar merupakan bulan kesialan. (1) Rasulullah saw melangsungkan pernikahan dengan Sayyidah Khadijah pada bulan Safar; (2) Pernikahan antara Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah az-Zahra juga di bulan Safar; (3) Hijrah Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah bertepatan dengan bulan Safar; (4) perang pertama, yaitu perang Abwa terjadi pada bulan Safar, di mana umat Islam jusrtu mendapatkan kemenangan telak atas kaum kafir; (5) pada bulan Safar juga terjadi peperangan hebat yaitu perang Khaibar, dan kemenangan diraih oleh umat Islam. (Abu Bakar al-Adni, Mandzûmatu Syarhil Atsar fî Mâ warada ‘an Syahri Shafar, halaman 9).  

Demikian alasan di balik penamaan bulan Safar, serta serta jawaban atas anggapan dan keyakinan sebagian masyarakat perihal mitos kesialan yang diyakini akan terjadi pada bulan Safar. Anggapan demikian tidak layak dijadikan pedoman oleh orang beriman. Sebab, dengan meyakininya, akan berpotensi mengesampingkan Allah dengan segala otoritas-Nya, yang bisa saja memberikan pengaruh kepada siapa pun, atas persangkaannya kepada Allah swt. Semoga kita dijauhkan dari keyakinan keliru dan menyimpang dari ajaran Islam. Amin. Wallâhu a’lam.    

Editor: Muhammad Rizqy Fauzi

Sumber: NU Online


Sejarah Terbaru