• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Rabu, 1 Mei 2024

Sejarah

Bukan Palestina, Inilah Negara yang Ingin Dijadikan Homeland Israel Awalnya (2)

Bukan Palestina, Inilah Negara yang Ingin Dijadikan Homeland Israel Awalnya (2)
Ilustrasi. (Foto: NU Online/freepik)
Ilustrasi. (Foto: NU Online/freepik)

Tetapi, lanjut Prof Quraish, kalau kita membaca Perjanjian Lama, maka kita menemukan janji Tuhan itu kepada Nabi Ibrahim, bahwa 'keturunanmu itu diberi janji negeri di Al-Ardlil Muqaddasah, Negeri yang Suci.' 


"Kalau memang kita berkata itu janji kepada Nabi Ibrahim dan anak cucunya, otomatis orang Arab juga dong punya hak di sana. Iya, kan?" tanya Prof Quraish.


Tetapi, mereka tidak mau mengakui orang Arab sebagai anak Nabi Ibrahim. Ini terjadi karena Nabi Ibrahim menikah dengan perempuan budak. Anak keturunan itu, menurut mereka, bukan ditentukan oleh bapak, tetapi oleh ibu. Ibunya budak, berarti bukan anak Nabi Ibrahim.   


"Itu alasan mereka. Tapi kalau kita tidak, itu anak Nabi Ibrahim mestinya, betapa pun," imbuh ulama kelahiran 16 Februari 1944 itu.


Keterlibatan NU dalam memperjuangkan kemerdekaan untuk Palestina

Cucu Hadratussyekh Hasyim Asy’ari tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yakni KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur merupakan salah satu sosok yang pernah memperjuangkan hak kemerdekaan untuk warga Palestina.


Diceritakan, pada satu malam sekitar tahun1980-an, gadis kecil bernama Zannuba Arifah Chafsoh Rahman dipangku ayahnya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Bukan sedang menikmati suasana malam atau pun rekreasi, tetapi sedang melakukan amal bakti berupa penggalangan dana untuk rakyat Palestina. 


Gadis kecil yang saat ini akrab disapa Yenny Wahid itu mengungkapkan, saat itu ayahnya mengenakan kaos bertuliskan “Palestina”. Kala itu, Gus Dur menggelar malam pengumpulan dana dan aksi simpati terhadap warga Palestina bersama para tokoh dan sejumlah seniman, di antaranya Sutardji Calzoum Bachri. 


Simpati kemanusiaan terhadap sebuah bangsa, terutama kelompok tertindas dan lemah (mustadh’afin) adalah salah satu persoalan pokok yang menjadi perhatian Gus Dur hingga akhir hayatnya. Apapun agama, keyakinan, bangsa, etnis, rasnya bukan menjadi pembatas bagi Gus Dur untuk melindungi mereka, baik yang di dalam negeri maupun peran kebangsaannya di luar negeri. 


“Saat tidak banyak orang memiliki perhatian terhadap isu Palestina, Gus Dur terus menyuarakan pembelaan terhadap rakyat Palestina,” tulis Yenny Wahid dalam pengantar buku Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa (2017) yang ditulis 20 orang tokoh nasional perihal sosok Gus Dur. 


Sikap konsisten Gus Dur di saat banyak orang acuh memiliki sejarah panjang. Karena sejak dari kakeknya, KH Hasyim Asy’ari kemudian dilanjutkan oleh ulama-ulama NU, pembelaan terhadap Palestina atas penindasan yang dilakukan oleh kaum Zionis terus dilakukan dengan berbagai macam cara. Yang dimaksud ‘kaum zionis’ tersebut karena tidak semua warga Yahudi di Israel menyetujui langkah-langkah militer yang dilakukan oleh Pemerintah Israel dan kaum zionis.   


Di era Gus Dur sebagai presiden, kunjungan ke Yordania merupakan prioritas pertama dalam lawatan ke Timur Tengah. Sebab, selain bertemu dengan Raja Abdbullah II, Gus Dur juga menemui Yassir Arafat di Amman. Presiden Gus Dur menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan Palestina dan perdamaian di Timur Tengah. 


Di kemudian hari, ketika bertemu dengan Presiden Palestina Yasser Arafat, dalam sebuah kunjungan kenegaraan resmi ke Indonesia pada 16 Agustus 2000, Presiden Gus Dur selaku Kepala Negara menegaskan bahwa Indonesia terikat kepada keputusan yang dulu, yaitu bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan hak untuk mencapai perdamaian di Palestina ada di tangan rakyat Palestina sendiri.   


Demi mewujudkan perdamaian dan kemerdekaan Palestina, di tengah kondisi kesehatan yang tidak stabil, Gus Dur mengunjungi Jalur Gaza pada 20 Desember 2003. Di kota kecil ini, Gus Dur diminta berpidato. Dia awalnya nya berpidato dalam bahasa Inggris, karena beberapa senator AS dan pemimpin agama dari berbagai negara serta wartawan asing yang meliput.  


Namun, pidato bahasa Inggris ini kemudian diulang oleh Gus Dur dalam bahasa Arab dengan fasih diikuti kesan-kesan Gus Dur terhadap kota Gaza dan harapannya atas rakyat Palestina. Dalam pertemuan yang digelar di hotel sederhana di Gaza itu, Gus Dur menyerukan kemerdekaan bagi berdirinya sebuah Negara Palestina dan keadilan bagi seluruh rakyatnya.   


Hingga saat ini, NU dan ulama-ulama pesantren terus-menerus mendorong Pemerintah RI agar mengupayakan kedaulatan bangsa Palestina di tengah ekspansi permukiman yang dilakukan orang-orang Israel. Kedaulatan diperoleh rakyat Palestina di meja Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, hal itu tidak sejurus dengan kondisi di lapangan, di mana rakyat Palestina masih terus berusaha memperoleh kedaulatannya.


*dilansir dari berbagai sumber di NU Online


Sejarah Terbaru