• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 18 April 2024

Risalah

98 Tahun NU, Covid, dan Momen Kebangkitan Ekonomi Umat

98 Tahun NU, Covid, dan Momen Kebangkitan Ekonomi Umat
98 Tahun NU, Covid, dan Momen Kebangkitan Ekonomi Umat (Ilustrasi: NU Online Jabar/Iqbal)
98 Tahun NU, Covid, dan Momen Kebangkitan Ekonomi Umat (Ilustrasi: NU Online Jabar/Iqbal)

Oleh Muhyiddin
98 tahun sudah, dalam tarikh Hijriyah, Nahdlatul Ulama (NU) berdiri, tepat 16 Rajab 1442 H. Dua tahun lagi genap satu abad NU membentuk realitas keberagamaan, kebangsaan dan keindonesiaan kita. Transformasi demi transformasi sudah dan akan terus dilalui oleh jam'iyah terbesar di Indonesia ini. Begitu pun tantangan silih berganti datang menunggu respon dan jawaban.

30 tahun pertama NU adalah masa-masa memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sembari memperjuangkan Islam Ahlussunnah wal Jama'ah ala Nusantara. 30 tahun kedua adalah masa-masa pertarungan ideologi yang memuncak kembalinya NU ke khittah 26 ditandai dengan tidak terlibat dalam partai politik dan penerimaan asas tunggal Pancasila. 30 tahun ketiga NU menjalankan politik kebangsaan dan mulai berupaya membangun basis ekonomi ditandai dengan pendirian Bank Nusumma, sebuah proyek yang prematur dan kemudian mati.

Di 30 tahun ketiga pula NU dihadapkan pada tantangan revolusi digital dengan berkembangnya internet dan media sosial. Meskipun di awal-awal gagap dan kalah dalam pertarungan wacana di internet dan media sosial, pelan-pelan NU mulai mengimbangi dan bahkan mengungguli untuk kemudian merebut ruang-ruang media sosial. Tentu masih banyak PR dalam pertarungan media sosial, tetapi melihat arahnya sudah menuju ke lintasan yang tepat.

Tantangan yang masih belum terjawab dengan lugas justru adalah tantangan ekonomi dan harus dirumuskan sebagai strategi besar menuju 30 tahun keempat. Pandemi Covid-19 adalah pijakan yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan transformasi ekonomi.

Selama Covid-19, usaha-usaha besar dan konglomerasi ikut mengalami krisis. Mall-mall tidak bisa beroperasi seperti biasanya, penjualan kendaraan bermotor anjlok sampai-sampai dilahirkan kebijakan diskon sampai penghapusan pajak. Pariwisata menukik sampai pemerintah mensubsidi.

Namun ada yang terus bergeliat, yakni usaha kecil menengah, usaha rakyat yang mengambil bentuk banyak rupa seperti warung kotak, warung kaki lima, toko-toko kelontong, dan jangan lupakan juga dengan apa yang disebut second hand economy atau jual beli barang bekas.

Di Jawa Barat saja, menurut data Dinas KUK Jabar, tercatat 4,6 juta unit usaha mikro dan kecil dengan penyerapan tenaga kerja mencapai tidak kurang dari 8.400.000 orang. Bandingkan dengan usaha besar atau korporasi yang hanya 53.373 usaha dengan penyerapan tenaga kerja 2.800.000 orang.

NU dengan strukturnya yang mengakar bisa memanfaatkan momen pandemi ini untuk menyelamatkan bahkan memperkuat UMKM dengan beberapa langkah.

Pertama, membangun basis data yang kuat. Selama ini ada guyonan bahwa mayoritas masyarakat miskin adalah jama’ah NU tapi tidak ada data persisnya berapa jamaah NU yang berada di garis kemiskinan. Demikian juga dengan UMKM, NU tidak punya data persisnya berapa jumlah jamaahnya yang menjalankan UMKM termasuk rincian usahanya apa saja, lokasinya di mana, kalau mempekerjakan orang, berapa jumlahnya. Ini adalah PR pertama yang harus diselesaikan.

Kedua, memerankan diri sebagai lembaga collateral atau lembaga penjamin. Secara kelembagaan bisa dibentuk lembaga khusus atau memperkuat lembaga yang sudah ada. Biarkan uang berada di lembaga-lembaga keuangan yang sudah ada. Lembaga penjamin ini nantinya yang akan menjadi penjamin bagi pelaku UMKM yang tidak punya agunan dan menentukan siapa yang akan mendapatkan bantuan atau pinjaman dan meminta lembaga keuangan untuk mencairkan dengan jaminan lembaga ini.

Ketiga, membangun transparansi dan akuntabilitas. PR ketiga ini terkait dengan pola pikir dan nalar proyek yang biasanya ikut menunggangi. Di sinilah pentingnya akuntabilitas untuk memastikan tidak ada pemotongan bantuan atau pinjaman. Juga memastikan keadilan tidak hanya yang dekat yang mendapatkan tetapi semua punya kesempatan yang sama.

Jika ketiga hal tersebut tidak bisa dibereskan, pemberdayaan ekonomi hanya akan menjadi sebuah proyek yang ditakdirkan gagal. 

Kebangkitan Ulama harus kita maknai sebagai bangkitnya ulama untuk membebaskan dan membimbing umat mendapatkan kemerdekaannya, mendapatkan hak-haknya. Kita sebagai pelayan ulama punya kewajiban memastikan kebangkitan itu tidak sia-sia dengan mengerjakan apa yang menjadi cita-cita ulama dengan kebangkitannya. Kalau tidak bisa, selamanya kita hanya akan cari makan di NU, memanfaatkan NU, dan tidak menghidupi NU.

Penulis adalah Sekretaris Media Center PWNU Jabar


Risalah Terbaru