• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 3 Mei 2024

Opini

KOLOM PROF BAMBANG

Teologi Silaturahim Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari

Teologi Silaturahim Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari
Ilustrasi Kitab AT-Tibyan karya Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari (Dok. NUO)
Ilustrasi Kitab AT-Tibyan karya Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari (Dok. NUO)

Adakah teologi yang diusung Hadratusy Syaikh Hasyim Asyari yang menjadi inspirasi bagi gerakan nahdliyyin? Untuk menjawab pertanyaan ini, Muqaddimah Qanun Asasi (1926) dan Risalah Al-Tibyan Fi al-Nahyi ‘an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan (1940) karya Hadratusy Syaikh, dapat menjadi rujukan.


Pada Muqaddimah Qanun Asasi, Hadratusy Syaikh berulangkali mendorong perlunya menjalin persatuan (ittihad) berbasis cinta dan kasih sayang (mahabbah mawadaah) juga kekompakan atas nama iman dan cinta ilahiah (ta’alluf). Ulama dibangunkan untuk menjadi dirigent persatuan umat ini. Sejumlah ayat dan hadits ditemukan untuk memperkuat pentingya persatuan yang terorganisir ini.  Dari Muqaddimah Qanun Asasi dapat saja disimpulkan bahwa teologi Hadratusy Syaikh adalah Teologi Persatuan. Namun ternyata ada yang lebih mendalam lagi, Risalah Tibyan memuat teologi yang lebih dalam itu. Ada satu kisah dan kerangka berpikir Teologi Hadratusy Syaikh dalam Risalah Tibyan.


Membangunkan bukan Merobohkan Surau
Risalah Tibyan selesai ditulis pada tahun 1360  H/1940M, 14 tahun setelah Muqaddimah Qanun Asasi. Pada Risalah ini ada kisah menarik mengenai upaya Hadratusy Syaikh membangunkan ulama dari tidur spiritualnya.


Diceritakan, Hadratusy Syaikh pernah bertemu dengan  seorang  ahli  thariqah. Dia seseorang  yang  berilmu,  sangat  giat  dalam  beribadah. Shalat di malam hari, kemudian puasa di siang hari. Dia tidak pernah bicara kecuali secukupnya. Dia pergi haji berkali-kali sampai akhirnya dia mendapat gelar Maha Guru pada Thariqah An-Naqshabandiyyah. Selanjutnya pada hari-hari tertentu dia  uzlah (menyendiri) di rumahnya dari pergaulan manusia. Dia tidak  keluar  rumah  kecuali  hanya  untuk  shalat  berjama’ah  dan  memimpin dzikir. 


Pada suatu hari dia keluar rumah untuk shalat Jum’at. Ketika sampai di masjid  dia  marah-marah  kepada  orang-orang  yang  berada  di masjid  dan berbicara  kepada  mereka  dengan  kata-kata  yang  kotor  kemudian  dia  pun pulang lagi kerumah. Kemudian  terkadang  pada hari  yang  lain  dia  didatangi  oleh  pejabat Negara untuk meminta barokah do’a dari dia, agar kehidupanya nyaman dan mapan, sang pejabat seringkali memberinya uang yang banyak, sang kyai pun menerimanya dan menyambutnya dengan ramah dan santun.” 


Beberapa hari kemudian Hadratusy Syaikh mendatangi rumah Mursyid Tarekat itu. Ia mengetuk pintu dan mengucapkan salam berkali-kali, namun tak juga dibuka pintu rumah itu. Akhirnya istri tokoh itu  keluar dan berkata di balik pintu,  “Sesungguhnya  saudaramu  tidak  mau  beranjak  keluar  dari  tempat ibadahnya untuk menemui siapapun”. Saat itu Hadratusy Syaikh berkata, “Sampaikan dan katakan pada suamimu bahwa saudaramu Hasyim Asy’ari ingin bertemu. Maka keluarlah jika tidak, maka aku akan masuk dan memaksanya keluar.”
Istri tokoh itu masuk ke dalam dan memberi tahu kepada sang tokoh ihwal kedatangan Hadratusy Syaikh. Tak berapa lama, tokoh tarekat itu akhirnya  keluar.  Terjadilah percakapan di antara keduanya.


“Wahai  saudaraku,  telah  sampai  kabar  kepadaku bahwa kau telah berbuat begini dan begitu. Lantas apa yang mendorongmu berbuat seperti ini dan itu?”, tanya Hadratusy Syaikh. 

 

“Aku (Syaikh) telah melihat  manusia  tidak  berupa  aslinya.  Aku  melihat  mereka  seakan-akan berwujud  kera” , jawab tokoh itu
“Jangan-jangan setan  telah  mengelabuhi pandanganmu dan menggoda hatimu”, Hadratus Syaikh berkomentar, “Dia (setan) berkata kepadamu, tetaplah kamu senantiasa di rumah dan jangan keluar rumah biar masyarakat menyangka kamu  bagian  dari  wali-wali  Allah SWT  yang akhirnya  mereka  berbondong- bondong  datang  untuk  sowan  kepadamu  dan  meminta  berkah  darimu  dan mereka memberimu hadiah yang banyak”.  

 

Berhenti sejenak, lalu Hadaratusy Syaikh meneruskan pembicaraannya, “Maka  sadarlah  wahai  saudaraku, bukankah Rasulullah SAW, bersabda kepada Sayyidina Abdullah Amr, “Sesungguhnya tamumu atas kamu ada hak.”  Pada hadits lain juga Rasulullah berkata, “Barangsiapa beriman  kepada  Allah  SWT  dan  hari  akhir,  maka sebaiknya memuliakan tamunya.” Setelah itu Hadratusy Syaikh permisi pulang. 

 

Selang beberapa hari kemudian, tokoh tarekat yang bergelar Syaikh Thariqah An-Naqshabandiyyah itu datang ke rumah Hadratusy Syaikh dan berkata,  “Engkau benar  wahai  saudaraku,  sekarang  telah  aku  tinggalkan  uzlahku dan  berjanji  akan  menjalankan  seperti  apa yang telah dijalankan  oleh  kebanyakan  manusia”.  


Akhirnya  sang  kyai  tadi  hidup bermasyarakat sampai dia wafat. Allahummaaghfir lahu, demikian tulis Hadratuys Syaikh menutup kisah itu. 

 

Tokoh tarekat yang dikemukakan kisahnya dalam Kitab Tibyan, saya kira, hanya salah satu contoh kasus perilaku ulama yang tertidur dalam keasyikan spiritualitas pribadinya. Hadratusy Syaikh menyeru dan bahkan menggerakkan agar ulama tidak asyik-masyuk sendiri, melainkan terlibat dalam (dan memberikan solusi terhadap) kehidupan bermasyarakat. Ulama ditarik keluar dari kesendiriannya dan memerankan diri sebagai penanggung jawab kehidupan bersama. Ulama disingkapkan selimutnya agar bersilaturahim. Intinya, ulama harus bangun dan bergerak.


Kitab Tibyan, selain berisi kisah tadi, memberikan beberapa pendasaran bagi ulama untuk merekatkan relasi sosial dengan masyarakat. Seperti judulnya, kitab ini memang menjelaskan argument tentang pentingnya memelihara dan hubungan silaturrahmi,  kekerabatan  dan persahabatan. 


Dari Silaturahim, menuju Keterlibatan Sosial dan Persatuan
Hadratusy Syaikh memiliki pemikiran yang unik, yakni tidak reaktif, tidak terpengaruh pada masalah permukaan. Sepintas apa yang dibicarakan atau ditulis Hadratusy Syaikh seperti tidak terkait dengan persoalan aktual, namun pada jangka panjang akan terlihat korelasinya. Misalnya, Hadratusy Syaikh pada  Risalah Tibyan membicarakan pentingnya Seilaturahim dan menjaga pertemanan. Tema ini tentulah tema biasa, bahkan terkesan remeh, di tengah persoalan yang dihadapi umat Islam saat itu.  


Pada Risalah Tibyan dituliskan: 


“Barangsiapa  mempunyai  kesadaran  dan  pemahaman tentang pentingnya silaturrahmi dengan memahami ketiga ayat yaitu QS. 4: 1, QS.  47:  22 – 24,  QS.  13:  25 maka  niscaya  dia  akan  meralat  atau  menarik kembali dari memutus silaturrahmi dan kalau saja engkau membuka mata hatimu dan membersihkanya dari kotoran dan kekurangan, maka engkau akan sadar dan faham  atas  ayat  tadi  yang  menganjurkan  engkau  untuk  selalu  mencurahkan kemampuan dan kesempatan agar senantiasa melestarikan silaturrahmi.” 
Pernyataan ini menunjukkan bahwa silaturahim merupakan amal yang menempati posisi sangat penting bagi keberagamaan seseorang. Keberislaman seseoang tidak hanya ditentukan dari ketaatan pelaksanaan shalat melainkan harus membangun hubungan pertemanan melalui silaturahim. 


Inilah basis teologis, yakni Teks yang mendasari tindakan silaturahim. Uniknya silaturahim bukan tujuan, silaturahim hanyalah jalan agar tidak terjadi perpecahan. Silaturahim memiliki kekuatan merekatkan, yang tidak kenal menjadi akrab, yang jauh menjadi dekat, yang salah sangka menjadi memahami. Silaturahim inilah yang pada akhirnya dapat merekatkan persatuan antara satu ulama dengan ulama lain. Silaturahim ini juga yang diteladankan Gus Dur semasa hidupnya, bahkan pada saat menjadi Presiden, ia tetap menyempatkan dirinya bersilaturahim pada para kyai tak lupa berziarah.

 

Tradisi Silaturahim ini menjadi kebiasaan para kyai, entah sekedar anjangsana atau mendatangi undangan pernikahan. Silaturahim seorang kyai pada santri alumninya membuat alumni merasa terikat secara kultur dengan pesantrennya. Silaturahim kyai dengan teman sesame santri akan menghasirkan merasa senasib sepenanggungan. Silaturahim kyai dengan gurunya akan mempebesar kekuatan spirit untuk bergerak dengan bimbingan dan berkah ilmu gurunya. 


Silaturahim demi silaturahim inilah yang menghubungkan jaringan santri pada abad ke-20 sehingga membentuk kesatuan bangsa sebagai “komunitas yang dibayangkan”. Jika Ben Anderson menteorikan bahwa Indonesia bisa menyatukan keragaman suku bangsa sebagai “komunitas yang dibayangkan” melalui kesamaan nasib sebagai bangsa terjajah, saya kira perekat sama-sama membayangkannya terlalu rapuh. Perekat “komunitas yang dibayangkan” bisa jadi sebenarnya dibangun oleh jaringan santri-kyai yang saling silaturahim satu sama lain ini.  Silaturahim adalah benih, persatuan adalah pohon yang tumbuh dari benih itu. 

Apakah Kita Masih Bersilaturahim?
Kata silaturahim mudah benar untuk diucapkan, namun susah sungguh untuk dilakukan. Padahal Allah Maha Rahim telah menyebarkan rahimnya pada diri kita masing-masing. 


Jika sifat Rahim Allah adalah Cermin Besar yang melaluinya kita bisa melihat diri kita beseta kekurangannya (seraya memperbaiki diri setelah mematut-matut di depanNya), maka pada setiap diri diberi pecahan cermin-cermin kecil. Cermin-cermin kecil itu adalah sifat rahim pada diri kita yang membuat kita kerap terharu dan tergerak untuk berbuat baik dan memaafkan. Cermin-cermin kecil itu tak dapat membuat seseorang bisa melihat dirinya secara utuh, maka "sambungkanlah rahim-rahim kecil itu": Bersilaturahimlah. Niscaya serpihan cermin pada satu orang akan bergabung dengan cermin milik yang lain sehingga jadi cermin yang lebih lebar. 


Pada cermin gabungan itu, kita bisa lebih leluasa menemukan wajah sendiri, menemukan kerut pada kening atau taring yang diam-diam sudah meruncing. Melalui pertemuan-pertemuan yang menggabungkan cermin rahim itu, kita menemukan diri kita. Dulu orang tua kita percaya prinsip ini. Cobalah kenang perjalanan dengan ibu-bapak atau kakek-nenek kita, selalu saja ada rumah saudara yang harus dihampiri, atau rumah sahabatnya di masa lalu juga berziarah pada makam guru-gurunya, atau sekedar mampir bersantap di rumah makan masa lalunya.


Sayangnya kita makhluk yang tergesa-gesa, serba-bergegas. Momen-momen terlewat begitu saja, bahkan saat pulang kampong atau berkunjung ke kota para sahabat dan handai taulan. Pada semua momen itu, ketergesaan membuatnya tak sempat berkunjung, mengetuk pintu rumah sahabat, menyapa, berpeluk karib, dan mengusap kejernihan.  Ketergesaan begitu mendarah daging, padahal kita tahu betul teks suci yang menyatakan “ketergesaan itu dari setan”.  Sebagai organisasi, pengurus NU bisa jadi sering berkeliling daerah namun bisa jadi terbatas menjenguk cabang dan ranting, lalu karena ketergesaan melupakan silaturahim pada pada kiai.

 

Membangunkan Bukan Merobohkan Surau
Hadratusy Syaikh mengusung teologi Silaturahim, agar para ulama bangkit lalu berkubang bersama umatnya, saling membangun bersama. Tujuannya bisa jadi persatuan, namun dengan lembut Hadratusy Syaikh memulainya dengan seruan untuk menghomati tamu, menghentikan saling curiga, dan membangun silaturahim. Silaturahim menyambungkan simpul-simpul umat menjadi satu bagian dri Cermin Besar yang membuat semua orang dapat bercermin dan menemukan dirinya, juga maksud Tuhan. Lalu setelah itu jadilah NU yang satu abad, yang kemudian ikut melahirkan dan menjaga Indonesia sampai saat ini.

 

Apa yang dilakukan hadratusy Syaikh Ini berbeda dengan kisah pembaharu dalam cerita pendek AA Navis, Robohnya Surau Kami (1956). Ajo Sidi, pembaharu pada cerpen itu, berniat membangkitkan penjaga surau untuk beragama secara baharu. Ajo Sidi bercerita bahwa pemeluk agama yang taat beribadah tetap akan masuk neraka jika tak memiliki kepedulian sosial. Kakek penjaga surau rupanya merasa seluruh ketaatan ibadahnya selama ini sia-sia, ia kemudian ditemukan mati karena menggorok lehernya sendiri.AA Navis ingin mengkritik tingkah polah pelaku pembaharu saat itu yang terlalu tergesa-gesa membangkitkan umat. 

 

Hadratuys Syaikh tak pernah terburu-buru. Cara berpikir dan bertindaknya selalu santun dan tertata: benih dulu ditanam, dirawat dan dikuatkan, lambat laun akan tumbuh pohon kehidupan yang bertahan berabad-abad lamanya. Benih itu adalah silaturahim: “Sifat Rahim yang letaknya tergantung di bawah ‘Arsy berkata, “Barangsiapa menyambungku, maka akan disambung oleh Allah SWT, dan barangsiapa memutusku, maka akan diputus oleh Allah SWT.” 


Penulis adalah Guru Besar UIN ‘SGD’ Bandung dan Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat


Editor:

Opini Terbaru