• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 3 Mei 2024

Opini

KOLOM PROF ALI

SUSI vs SRIMI: Internasionalisasi Moderasi Beragama

SUSI vs SRIMI: Internasionalisasi Moderasi Beragama
Kunjungan peserta AIMEP 2023 di Pesantren Pandanaran (Dok. PP Pandanaran).
Kunjungan peserta AIMEP 2023 di Pesantren Pandanaran (Dok. PP Pandanaran).

Jangan salah persepsi. Ini bukan tentang mantan menteri asal Pangandaran itu. Bukan juga tentang  Menkeu yang pernah menjadi direktur pelaksana di Bank Dunia. 


Ini tentang salah satu program akademik yang pernah saya ikuti. Nun jauh disana, di negeri Paman Sam. Tepatnya di kampus University of Massachusetts at Amherst. Orang sering menyebutnya UMass. Di kampus ini, lima tahun lalu, saya mengikuti program SUSI (Study of United States Institute). 


Program ini adalah program akademik yang dibiayai pemerintah Amerika. Diperuntukan bagi kalangan akademisi non-Amerika untuk belajar tentang Amerika (United States studies). Fokus kajiannya beda-beda. Ada yang mendalami politik Amerika. Sosial budaya dan nilai-nilai Amerika. Jurnalisme dan Media. Kebebasan beragama dan pluralisme Amerika. Kebijakan luar negeri Amerika, dan lain-lain. Program SUSI ini ada juga yang diperuntukan untuk para mahasiswa serta guru-guru.


Yang menjadi tuan rumahnya (host) adalah perguruan tinggi di Amerika. Untuk bidang jurnalisme dan media, di Arizona State University. Bidang kebebasan beragama dan pluralisme di Seattle University, dan bidang kebijakan luar negeri di University Delaware.


Waktu itu saya mengambil bidang politik Amerika (American Politics and Political Thought). Yang menjadi host-nya adalah University of Massachusetts di Amersht. Kami 18 orang yang berasal dari delapan belas kampus dan negara yang berbeda menghabiskan waktu enam minggu di Amerika. Empat minggu pertama dari pagi sampai malam hari, kami belajar dan diskusi tentang teori dan pemikiran-pemikiran politik Amerika di kelas secara intensif. Kita belajar seluk beluk konstitusi Amerika, sistem presidensi, federalisme, kebebasan sipil, agama dan politik, sistem kepartaian Amerika, dan lain-lain.

 

Dua minggu terakhir, kami berkeliling mengunjungi beberapa kampus di Amerika. Termasuk melakukan audiensi dengan beberapa anggota parlemen serta mengunjungi Gedung Putih. Dari kota Amersht di Masssachusetts, berkeliling sampai ke Washington DC, dan berakhir di New York.


Berdasar pengalaman itu, nampaknya kita bisa mencontoh. Kementerian Agama memiliki tujuh program prioritas yang salah satunya adalah moderasi beragama. Enam program prioritas lainnya adalah Transformasi Digital, Tahun Toleransi Beragama, Revitalisasi KUA, Religiosity Index, Kemandirian Pesantren, dan Cyber Islamic University. Bahkan yang terbaru, telah terbit Peraturan Presiden Nomor 58 tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama.


Program moderasi beragama ini, menurut saya bisa dikembangkan kepesertaannnya. Bukan hanya bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga perlu menjangkau mereka yang di luar negeri. Mungkin kita bisa menyebutnya internasionalisasi moderasi beragama. Kita bisa membranding Muslim Indonesia yang moderat. Muslim Indonesia yang toleran. Muslim Indonesia yang menerima demokrasi. Mengkampanyekannya ke dunia internasional. Hal ini penting untuk mereduksi stereotip negatif tentang Muslim di dunia internasional, terutama di media barat yang cenderung minor.


Seperti halnya SUSI, saya menyebut program internasionalisasi moderasi beragama dengan sebutan Study of Religious Islamic Moderation of Indonesia (SRIMI). Atau apapun nama istilahnya. Yang pasti, Kementerian Agama atau kampus-kampus PTKIN bisa menyelenggarakan workshop intensif selama satu atau dua bulan. Pesertanya adalah akademisi-akademisi kampus di luar negeri yang diundang untuk belajar moderasi beragama ala Indonesia ini. Adakan seleksi ketat peserta, anggarkan pendanaan yang memadai, buatkan modul dan kurikulum yang tepat, serta siapkan para pengajar moderasi beragama yang handal. Selain belajar teori moderasi beragama, peserta juga bisa diajak keliling ke pesantren-pesantren, PTKI-PTKI, dan Ormas-ormas Islam untuk menunjukkan praktek moderasi beragama dilakukan di Indonesia.

 

Dengan program ini, kita bisa mendapatkan banyak manfaat. Promosi moderasi beragama ke dunia luar. Nantinya alumni program ini bisa menjadi agen penyampaian ide moderasi beragama ke mahasiswa-mahasiswa mereka di kampus-kampus di luar negeri tempat peserta mengajar. Kita juga bisa mengembangkan jejaring dosen-dosen dari kampus luar dengan dosen-dosen yang ada di PTKIN dalam rangka internasionalisasi kampus.


Undanglah akademisi-akademisi dari berbagai kampus dari berbagai negara untuk belajar moderasi beragama di Indonesia. Kementerian agama bisa menyelenggarakan program khusus ini di tingkat kementerian. Atau bisa bekerjasama dengan kampus-kampus PTKI yang siap menyelenggarakannya. Jika program semacam ini sudah dilakukan di tingkat kementerian. Adalah waktunya untuk menggandeng kampus-kampus PTKI untuk terlibat. 


Mungkin bisa seperti program yang dilakukan dengan Australia. Kita mengenal ada program Australia-Indonesia Muslim Exchange Program (AIMEP). Program ini yang saya tahu adalah kerjasama antara Kedubes Australia di Jakarta dengan salah satu kampus di Indonesia. Program pertukaran ini melibatkan dua delegasi dari Indonesia dan Australia. Peserta dari dua negara mengikuti program intensif selama tujuh minggu. Untuk belajar keragaman budaya, tradisi dan lain-lain. Berusaha untuk ‘building the brigde’ dalam upaya saling memahami diantara dua negara. Atau ada juga program Australia-Indonesia Youth Exchange Program (AIYEP). Program ini sudah ada sejak tahun 1982. Menghubungkan pemuda-pemudi Indonesia-Australia berusia 21-25 tahun untuk saling belajar dan saling memahami sosial-budaya dan keragaman.


Belajar dari program SUSI, AIMEP dan AIYEP, nampaknya bisa dipertimbangkan untuk mengembangkan program SRIMI. Kita perlu tunjukkan ke dunia internasional bahwa Muslim Indonesia mempunya wajah yang damai. Wajah yang moderat. Wajah yang toleran. Muslim Indonesia bisa menjadi rujukan dunia bagaimana memahami Islam dan memperaktekkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.


Prof Ahmad Ali Nurdin, Guru Besar Ilmu Politik dan staf pengajar UIN Bandung.
 


Editor:

Opini Terbaru