• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Nasional

Kementerian Agama: Sejarah dan Urgensi Pembentukannya

Kementerian Agama: Sejarah dan Urgensi Pembentukannya
Kantor Kementerian Agama RI. (Foto: Istimewa)
Kantor Kementerian Agama RI. (Foto: Istimewa)

Oleh Rudi Sirojudin Abas

Tanggal 3 Januari 2023, Kementerian Agama (Kemenag) tepat berusia 77 tahun. Usia 77 tahun merupakan suatu usia yang cukup matang bagi keberlangsungan lembaga pemerintahan yang membidangi pelayanan kehidupan umat beragama di Indonesia. 

 

Peringatan hari lahir Kemenag tidak memakai istilah Hari Ulang Tahun (HUT), Hari Lahir (Harlah), Hari Jadi (Hardi), Milad, maupun yang sejenisnya. Tetapi menggunakan istilah Hari Amal Bakti (HAB). Hal ini didasarkan pada tujuan diadakan HAB itu sendiri.

 

Dalam pelaksanaannya, kegiatan HAB Kemenag memang lebih ditujukan pada kegiatan yang bersifat sosial. Misalnya, sumbangan-sumbangan material/finansial yang diperuntukkan bagi lembaga-lembaga sejenis panti asuhan, yayasan sosial, lembaga pendidikan maupun keagamaan; sumbangan untuk para fakir miskin, korban bencana alam; penghargaan bagi insan berprestasi di lingkungan Kemenag, serta sumbangan bagi kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial lainnya. Biaya sumbangan sosial itu biasanya didapat dari iuran wajib maupun sukarela pegawai Kemenag yang dibayarkan menjelang pelaksanaan Hari Amal Baktinya. 

 

Berbagai sumbangan yang diberikan dalam rangka Amal Bakti Kemenag tersebut merupakan bentuk kepedulian sosial sebagai cerminan dari ajaran agama bahwa “tangan yang di atas lebih mulia dari pada tangan yang di bawah” dan “yang memberi itu lebih baik dari pada yang menerima”. Dan inilah kiranya sebab peringatan hari lahir Kemenag menggunakan istilah Hari Amal Bakti.

Sumbangsih para pegawai Kemenag di Hari Amal Bakti juga merupakan sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab mereka sebagai makhluk sosial terhadap penderitaan antar sesama manusia.

 

Peringantan HAB Kemenag juga bisa dikatakan sebagai “jembatan emas” bagi semua pegawai dalam rangka memperkuat dan menjalin ukhuwah kemanusiaan bersama masyarakat sekitar.

 

Oleh karena itu, peringatan Hari Amal Bakti Kemenag sejatinya merupakan manisfestasi keseluruhan dari sejarah perjalanan, perjuangan, pergorbanan, dan pelaksanaan tugas-tugas/kewajiban-kewajiban Kemenag sejak berdiri hingga sekarang dan yang akan datang yang tidak terpisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.

 

Proses Terbentuk Kemenag

 

Secara formal, Kemenag resmi terbentuk pada tanggal 3 Januari 1946. Itu pun melalui proses yang tidak begitu mudah. Berbagai usulan tentang pembentukan sebuah kementerian yang membidangi kehidupan keagamaan di masa awal kemerdekaan Indonesia tahun 1945 tidak serta merta dapat disetujui.

 

Pembentukan Kementerian Agama pertama kali disampaikan oleh Mr. Muhammad Yamin dalam Rapat Besar (Sidang) Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), tanggal 11 Juli 1945. 

 

Menurut Yamin, atas dasar aspirasi dari masyarakat Islam waktu itu, urusan agama Islam yang berhubungan dengan pendirian Islam, terutama permasalahan perwakafan dan kemasjidan, serta penyiaran dakwah Islam perlu dibidangi oleh lembaga atau kementerian yang istimewa yang kemudian disebut dengan Kementerian Agama. 

 

Namun, usulan tentang pembentukan lembaga yang membidangi urusan agama itu belum disetujui. Bahkan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945 (dua hari pasca negara Indonesia merdeka 17 Agustus 1945), dari tiga belas usulan kementerian yang diusulkan hanya dua belas yang dapat disetujui. Sementara, nama Kementerian Agama belum disetujui. 

 

Dua belas kementerian itu yakni: (1) Kementerian Dalam Negeri; (2) Kementerian Luar Negeri; (3) Kementerian Kehakiman; (4) Kementerian Keuangan; (5) Kementerian Kemakmuran; (6) Kementerian Kesehatan; (7) Kementerian Pengajaran dan Kebudayaan; (8) Kementerian Sosial; (9) Kementerian Pertahanan; (10) Kementerian Perhubungan; (11) Kementerian Pekerjaan Umum; dan (12) satu menteri negara.

 

KH. A. Wahid Hasjim dalam buku Sedjarah Hidup KH. A Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (Kementerian Agama, 1957: 856) menyebutkan bahwa faktor belum disetujuinya Kementerian Agama pada waktu itu disebabkan karena pemikiran orang-orang yang masih sekuler. “Pada waktu itu, orang masih berpegang pada teori bahwa agama harus dipisahkan dari negara. Di dalam susunan pemerintahan tidak usah diadakan kementerian sendiri yang membidangi persoalan-persoalan agama”.

 

Namun dalam perjalanannya, menurut KH. A Wahid Hasjim bahwa permasalahan-permasalah agama pada kenyataannya bercampur baur bersama dengan persoalan-persoalan di beberapa kementerian yang ada. Sehingga agar persoalan agama dapat berjalan dengan baik dan tidak berbenturan dengan permasalahan kementerian lain, maka perlu dibentuk sebuah lembaga khusus dan mandiri yang bertugas untuk mengurusi permasalahan keagamaan. Dengan demikian, keberadaan Kementerian Agama menjadi harga mati untuk segera dibentuk oleh pemerintahan saat itu.

 

Baru setelah Presiden Indonesia Ir. Soekarno membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) yang bertujuan untuk membebaskan daerah-daerah bekas kekuasaan Jepang pada tanggal 23 Agustus 1945, yang kemudian diadakannya Rapat Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 24-28 November 1945, usulan pembentukan Kementerian Agama kembali mencuat dan mengemuka. 

 

Atas dasar usulan dari tiga tokoh pencetus didirikannya Kementerian Agama yaitu KH. Abu Dardiri, KH. Soleh Su’aidy, dan M. Soekoso Wirjosapoetro, akhirnya usulan pembentukan Kementerian Agama diterima oleh pemerintah yang diwakili oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. 

 

Sebelumnya, ketiga tokoh utusan daerah di atas menyampaikan desakan agar dalam Negara Indonesia yang sudah merdeka, hendaknya permasalahan-permasalahan keagaman diambil alih oleh lembaga khusus dan mandiri yaitu Kementerian Agama, bukan dibidangi oleh kementerian-kementerian yang lain. 

 

Akhirnya, tanggal 3 Januari 1946 bertepatan dengan tanggal 29 Muharram tahun 1364 Hijriah resmilah berdiri Kementerian Agama yang berdasar pada Penetapan Presiden RI Nomor 1/SD yang berbunyi “Bahwa Presiden Republik Indonesia, mengingat usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, memutuskan untuk mengadakan Kementerian Agama”.

 

Dari proses perjalanan terbentuknya Kementerian Agama di atas, setidaknya ada tujuh hal yang dianggap sebagai penyebab suatu keharusan, kewajaran, kebaikan, serta tuntutan moril secara konstitusional dari aspirasi umat dalam usaha membentuk lembaga keagamaan di Indonesia, yakni:

 

Pertama, dalam Negara Republik Indonesia yang telah merdeka, berbagai aspek kehidupan harus ditata,  dibangun, dan dihidupkan, termasuk aspek kehidupan beragama yang merupakan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan aspek kehidupan bangsa Indonesia, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama/kepercayaan beragama, pertahanan/keamanan dan sebagainya.

 

Kedua, suatu kewajaran bahwa dalam Negara Republik Indonesia yang telah merdeka ada Kementerian Agama yang bertujuan untuk mengurus dan melaksanakan hal-hal yang tidak/belum dilaksanakan dengan semestinya berkaitan dengan kehidupan keagamaan.

 

Ketiga, berdirinya Kementerian Agama merupakan kebaikan yang perlu diciptakan dan diperbuat dengan penuh keikhlasan semata-mata untuk beramal.

 

Keempat, berdirinya Kementerian Agama merupakan hasil pemikiran, perenungan, dan akal budi yang mantap dari para pemimpin, pemikir, dan pejuang Islam.

 

Kelima, berdirinya Kementerian Agama dijamin benar, realistis, dan sesuai berdasarkan Konstitusi Negara Republik Indonesia (Undang-Undang Dasar 1945) yang masih demikian hangat dalam pikiran/hati para pemimpin dan pemikir Islam, terlebih karena UUD 1945 pada saat  itu belum lama disusun.

 

Keenam, Kementerian Agama berdiri bukan secara kebetulan dan tanpa maksud dan tujuan mulia, melainkan sebagai hasil tuntutan (kehendak) rakyat melalui para wakil mereka di Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah maupun di Komite Nasional Indonesia (KNI) pusat.

 

Ketujuh, Kementerian Agama berdiri sebagai saksi sejarah dan bukti bahwa umat Islam khususnya masih memiliki aspirasi positif/konstruktif, yang kemudian mereka salurkan melalui lembaga konstitusional, demi kemajuan masyarakat beragama, berbangsa dan bernegara yang belum lama bebas dari penjajahan.

 

Referensi: “Sejarah dan Amal Bakti Departemen Agama Republik Indonesia”, (Siswono:1990), Penerbit Bina Siswa Bandung

 

Penulis merupaka, salah seorang peneliti kelahiran Garut yang mengabdi di MTs Darul Fitri Leles, sebuah madrasah swasta di bawah naungan Kementerian Agama Kabupaten Garut.


Nasional Terbaru