Opini

Prediksi Dampak Kemenangan Trump dalam Pilpres AS

Kamis, 7 November 2024 | 11:09 WIB

Prediksi Dampak Kemenangan Trump dalam Pilpres AS

Presiden Terpilih Amerika Serikat, Donald Trump. (Foto: NU Online).

Calon presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Republik Donald Trump memenangkan Pilpres AS tahun 2024. Donald Trump keluar sebagai pemenang Pilpres AS setelah berhasil meraih suara popular terbanyak sekaligus meraup suara elektoral lebih dari ambang batas minimal yang dtetapkan pada Rabu, 6 November 2024.


Dari suara elektoral, Trump meraih 277 suara dari total 538 suara elektoral. Sementara itu, Harris meraih 224 suara elektoral.  Dalam sistem pilpres AS, capres yang memenangkan 270 atau lebih suara elektoral keluar sebagai pemenang. Dengan sistem ini, seorang calon presiden bisa menang pilpres meski kalah suara popular (popular vote).


Sebagai negara adidaya, kebijakan-kebijakan AS tentunya bedampak besar bagi dunia internasional, tak terkecuali Indonesia. Dalam hal ini, visi dan misi serta kebijakan Presiden AS terpilih Donald Trump, juga akan berdampak signifikan terhadap Indonesia termasuk dalam bidang ekonomi.


Bayang-Bayang Perang Dagang


Masih kuat dalam ingatan kita bagaimana kebijakan perang dagang antara China dengan AS pada masa pemerintahan Presiden Trump periode sebelumnya, yang dikenal dengan kebijakan proteksionisme. Bahkan perang dagang tersebut hampir mengarah pada ancaman yang lebih serius yakni deglobalisasi. Perang dagang antara AS-China yang berlangsung dalam kurun waktu tahun 2018-2020 memiliki dampak besar bagi perekonomian global.


Rhodium Group sebuah perusahaan riset dalam laporannya menyebutkan  bahwa perang dagang AS-China telah menurunkan jumlah investasi perusahaan China ke Amerika. Dalam kurun waktu Januari- Mei 2018. Catatan Rhodium investasi yang ditanamkan perusahaan-perusahaan China di AS hanya mencapai US$1,8 miliar. Dan jika bibandingkan periode sama tahun 2017, investasi tersebut turun sebesar 92 %.


Perang dagang ini sebagai konsekwensi AS yang harus mempertahankan dominasi negaranya yang terancam direbut oleh China. Perang dagang antara AS dan China dimulai pada tahun 2018 saat Donald Trump menjabat sebagai presiden AS. Trump berjanji untuk mengambil tindakan tegas terhadap China yang dianggap telah merugikan Amerika Serikat secara ekonomi dan politik. AS dan China adalah dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Namun, perdagangan antara keduanya sangat tidak seimbang, mengingat China memiliki surplus perdagangan besar dengan AS.


Defisit perdagangan AS dengan China menjadi masalah utama bagi pemerintah AS. Pada tahun 2018, defisit perdagangan AS dengan China mencapai US$ 419,5 miliar. Hal ini menjadi perhatian utama bagi pemerintahan AS yang berusaha untuk mengurangi defisit perdagangan dengan China. Alhasil, perang dagang AS dan China pecah sebagai usaha AS mempertahankan kekuatannya sebagai negara nomor satu dunia. Perang dagang yang berlangsung sejak 2018-2020 kembali memanas pasca keputusan Hawkish The Fed menaikkan suku bunga. Bahkan penerapan tarif impor dalam perang dagang dilanjutkan dengan blokade perdagangan teknologi AS dan sekutu terhadap China, hingga dedolarisasi dan transisi ke Yuan.


Pada tahun 2018, Presiden AS pada waktu itu, yakni Donald Trump sempat memberikan ancaman terhadap Indonesia untuk menaikkan tarif beberapa komoditas perdagangan antara Indonesia dengan AS. Sebagaimana diketahui, pada tahun 2018 dilakukan evaluasi terhadap fasilitas-fasilitas perdangan yang dilakukan oleh pemerintah AS melalui Badan Perdagangan AS (United State Trade Representative/USTR) yang mengevaluasi fasilitas preferensi bea masuk (Generalized System of Preferences/GSP) yang diberikan terhadap negara-negara berkembang, termasuk ke Indonesia.
Evaluasi USTR ini dilakukan untuk melihat apakah produk asal Indonesia masih layak mendapat insentif bebas tarif impor dari AS atau tidak. Selain itu, evaluasi juga dilakukan untuk melihat apakah Indonesia telah menciptakan hambatan yang berdampak negatif ke perdagangan AS seperti yang mereka tuduhkan ke China atau tidak.


Ancaman Presiden Trump ini tentunya menjadi bagian dari strategi AS unuk memenangkan perang dagang dengan China sebagaimana yang saat ini itu. Membangun aliansi global untuk melawan perang dagang dengan China menjadi penting bagi AS, apalagi fakta bahwa pendulum perekonomian dunia ( baca : geoekonomi ) saat ini mengalami pergeseran dari trans Eropa menuju trans Asia-Pasifik. Sehingga melakukan evaluasi terhadap kebijakan perdagangan terhadap negara-negara mitra dagang AS di Pasifik termasuk Indonesia menjadi sangat penting dalam rangka meminimalisir hegemoni China di kawasan Asia-Pasifik.


Pasalnya, kebijakan proteksionisme yang dikeluarkan Presiden Trump saat itu berbeda situasi dan kondisinya dengan realitas perekonomian dalam negeri AS. Dalam banyak contoh kasus, kebijakan proteksionisme biasanya dilakukan pada saat negara sedang mengalami lonjakan pengangguran yang tinggi, sehingga negara/pemerintah harus mengambil kebijakan untuk mengalihkan permintaan masyarakat akan produk dan jasa, dari produk dan jasa yang bersumber dari asing menjadi produk dan jasa lokal. 


Alhasil, kebijakan proteksionisme dilakukan dalam rangka mendorong tumbuhnya industri lokal yang berdampak langsung pada penyerapan tenaga kerja. Hal ini sesuai dengan teori  John Maynard Keynes (1936), dan juga dipraktekkan oleh negara-negara barat pada era tahun 1930-an ketika banyak negara barat mengalami depresi yang cukup besar pasca Perang Dunia yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran, serta siklus kebijakan fiskal yang dianggap kurang mampu untuk melakukan recovery perekonomian pasca perang.


Defisit neraca perdagangan AS pada saat itu, diprediksi bukan semata-mata praktek dumping yang dilakukan oleh beberapa negara mitra seperti China terkait dengan pergeseran geoekonomi dunia ke Asia-Pasifik. Tetapi juga disebabkan oleh melemahnya daya saing produk-produk AS di pasar global.


Prediksi Ke Depan


Tahun 2023, AS menutup tahun dengan catatan perekonomian yang positif di mana AS berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi dan jumlah lapangan kerja yang meningkat. Sementara inflasi berada pada titik terendah dalam tiga tahun. Pengangguran berada di bawah 4%.


Meskipun angka-angka itu tampak baik, namun sebagian besar warga AS yaitu sebanyak 68% mengatakan bahwa perekonomian AS memburuk, menurut jajak pendapat Gallup yang diadakan pada bulan Desember 2023. Jajak pendapat tersebut menunjukkan empat dari lima orang dewasa di Amerika menilai kondisi ekonomi AS sebagai “buruk” di mana jumlahnya setara dengan 45%, dan mereka yang menilai “biasa saja” berjumlah 33%.


Sementara menjelang akhir tahun 2024,  kondisi perekonomian AS juga diambang resesi. Defisit anggaran AS tumbuh menjadi USD1,833 triliun atau setara Rp28.001 triliun (Kurs Rp15.276 per USD) pada tahun fiskal 2024, hingga menyentuh level tertinggi di luar periode Covid-19 karena bunga utang federal melebihi USD1 triliun untuk pertama kalinya. Selain itu juga disebabkan membengkaknya pengeluaran, di antaranya untuk program pensiun Jaminan Sosial, perawatan kesehatan, hingga militer.


Laporan Departemen Keuangan AS menyebutkan bahwa defisit tahunan yang berakhir pada 30 September 2024, mengalami kenaikan 8% atau USD138 miliar, dari USD1,695 triliun yang tercatat pada tahun fiskal 2023. Defisit ini menjadi yang terbesar ketiga dalam sejarah AS, setelah defisit yang didorong oleh bantuan pandemi pada 2020 menyentuh angka USD3,132 triliun. Selanjutnya di tahun 2021, defisit tercatat higga USD2,772 triliun. 


Kesenjangan anggaran fiskal 2024 yang cukup besar mencapai 6,4% dari produk domestik bruto, naik dari 6,2% setahun sebelumnya, dapat menimbulkan masalah serius bagi perekonomian AS ke depan. 


Pada periode qurtal ke-III/2024, pertumbuhan ekonomi AS mencapai 2,8%. Angka ini menunjukkam tren perlambatan dari realisasi 3% di kuartal kedua 2024, dan juga jauh di bawah ekspektasi pelaku pasar yang sebesar 3,1%.


Selain itu ada beberapa isu krusial yang juga berpotensi memperburuk perekonomian AS, seperti beban bunga utang AS mencapai angka Rp18.468 triliun, Dolar AS menyentuh titik terendah tahun ini terhadap Euro, kebijakan dedolarisasi yang dilakukan Rusia.


Dalam kondisi ekonomi yang lesu bahkan berpotensi resesi, Donald Trump sebagai presiden AS terpilih dipastikan akan mengambil langkah-langkah penyelamatan perekonomian AS, mulai dari memangkas suku bunga the fed guna menekan inflasi dan menguranggi pengangguran, menambah utang baru yang diperkirakan bisa mencapai USD7,5 triliun.


Salah satu visi Presiden Trump juga berkeinginan untuk menurunkan kembali pajak perusahaan jadi hanya 15% serta menghapus pajak atas tip dan pajak atas pemasukan yang diterima para pensiunan dari program jaminan sosial AS. Trum pun berencana meningkatkan produksi energi AS, utamanya dengan mengeksploitasi bahan bakar fosil, karena menurutnya ongkos energi yang tinggi telah berdampak terhadap inflasi.


Bahkan yang lebih ekstrim, bukan tidak mungkin Presiden Trump akan kembali memberlakukan kebijakan proteksionisme untuk melindunggi perekonomian dalam negeri. Dalam sebuah kampanyenya, Trump sempat menyatakan akan mengenakan tarif 10%-20% pada sebagian besar produk impor yang masuk ke AS. Dan jika kebijakan ini diambil, maka dunia akan kembali dihadapkan pada ancaman perang dagang dan ancaman deglobalisasi, mengingat kapasitas perekonmian AS yang berpengaruh signifikan dalam perdagangan dunia.


Simak saja neraca perdagangan AS dengan Indonesia. Tahun 2023, dimana sepanjang tahun 2023 AS berkontribusi terhadap surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar USD 11,9 miliar, atau hampir lima kali lipat dari kontribusi China sepanjang tahun 2023 yang menyumbang surplus sebesar USD 2,05 miliar. Sementara realisasi investasi sampai dengan tri wulan ke-II/2024, AS mencatatkan realisasi investasi sebesar USD0,9 miliar.


Terlepas dari itu, masyarakat dunia internasional termasuk Indonesia, tentunya berhadap kemenangan Donald Trump membawa angin positif bagi perekonomian dunia yang sedang mengalami kelesuan dan ketidakpastian global, sebagai dampak nyata dari perang Rusia-Ukraina dan konflik Timur Tengah yang masih terjadi sampai dengan saat ini.


Dr Eko Setiobudi, SE, ME, Dosen Ekonomi Dan Ketua Tanfidziyah Ranting NU Desa Limusnunggal, Kec. Cileungsi, Kab. Bogor