Rendahnya Reputasi Pendidikan Tinggi Indonesia di Tingkat Dunia (2)
Ahad, 10 April 2022 | 08:00 WIB
Dampak Massifikasi
Tidak perlu dibantah lagi bahwa massifikasi pendidikan tinggi memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia. Utamanya, ia membuka lebih banyak kesempatan untuk akses ke perguruan tinggi bagi calon-calon mahasiswa dari berbagai latar belakang sosial, terutama bagi mereka dari pedesaan, kelas ekonomi bawah dan kelompok-kelompok pinggiran lainnya. Dalam hal ini, perguruan tinggi menjalankan perannya sebagai pendidik masyarakat dengan asas kesamaan akses (equity of access) bagi semua warga negara.
Namun, massifikasi pendidikan tinggi menimbulkan dampak serius bagi kinerja lembaga pendidikan tinggi. Dapatlah dimaklumi kalau massifikasi diterapkan pada jenjang S1 dan di bawahnya dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja yang membutuhkan lulusan yang siap-pakai di industri dan bisnis. Mungkin juga kita bisa menerima bila ia diterapkan pada program master demi membuka lebih banyak akses bagi masyarakat untuk meningkatkan ilmu dan skill praktisnya.
Akan tetapi, massifikasi yang diterapkan pada program doktoral dapat menghasilkan akibat yang mengerikan. Banyak perguruan tinggi menetapkan entry requirements (persyaratan masuk) yang rendah atau longgar bagi calon mahasiswa S3. Misalnya, tidak mensyaratkan kemampuan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Kalaupun mensyaratkan, skor bahasa Inggris yang diminta rendah atau bahkan sering dilanggar sendiri oleh perguruan tinggi atau ‘diakali’ oleh calon mahasiswa. Tidak pula disyaratkan bahwa calon mahasiswa S3 harus memiliki pengalaman riset yang cukup pada program master mereka.
Ditambah lagi persoalan kualitas bimbingan penulisan disertasi dan fasilitas yang seadanya saja bagi mahasiswa S3. Terutama, perpustakaan, laboratorium dan intellectual environment yang ada umumnya masih jauh dari standar internasional.
Dengan massifikasi ini, banyak perguruan tinggi berhasil memproduksi lebih banyak doktor, tetapi doktor ‘massal-pabrikan’ yang mutu mereka dipertanyakan atau dalam kasus-kasus tertentu mereka adalah “doktor bodong” sebagaimana disebut oleh Acep Iwan Saidi (Kompas, 17 Nopember 2015). Juga, tidaklah mengherankan dalam banyak kasus penampilan profesor atau dosen Indonesia produksi perguruan tinggi Indonesia tampak “compang-camping” di forum-forum ilmiah luar negeri seperti ditengarai oleh Agus Suwignyo (Kompas, 6 Nopember 2015).
Persoalan lainnya dari massifikasi pendidikan tinggi adalah karena beorientasi pada pengajaran, penelitian tidak menjadi perhatian utama atau setidaknya terabaikan. Pemimpin perguruan tinggi tidak menempatkan penelitian sebagai bagian utama dari kebijakan mereka dan rencana strategis pengembangan lembaga mereka. Atau seandainya dimasukkan, itupun belum dapat diimplementasikan dengan baik. Hal ini bukan saja terjadi pada program-program reguler, melainkan juga pada program global class yang dibuka oleh perguruan tinggi tertentu.
Orientasi pada pengajaran dan pelatihan untuk memproduki lulusan siap kerja tampaknya telah membuat pihak manajemen perguruan tinggi tidak mampu melihat dengan baik peluang-peluang penelitian yang sebenarnya menguntungkan secara finansial di samping memiliki kontribusi bagi pengembangan ilmu dan peningkatan reputasi lembaga mereka di dunia internasional.
Akibatnya, kinerja dosen umumnya dibebani dengan jam mengajar yang banyak, terkadang mencapai 12 SKS yang setara dengan sekitar 7 jam per hari atau 36 jam per minggu (skema 5 hari kerja). Bisa dibayangkan betapa habis waktu kerja dosen dalam seharinya untuk mengajar banyak mahasiswa. Dosen dan profesor juga manusia. Dengan tugas mengajar sebanyak ini sangatlah berat bagi dosen dan profesor untuk bisa menghasilkan penelitian yang berkualitas dan menulis karya-karya ilmiah yang layak terbit di jurnal-jurnal dengan reputasi internasional. Dengan sedikitnya waktu untuk meneliti dan menulis, yang mampu mereka lakukan adalah meneliti alakadarnya dan menulis apa adanya di jurnal-jurnal terbitan kampus masing-masing, jurnal-jurnal nasional terakreditasi atau tidak, atau jurnal-jurnal internasional abal-abal.
Akhirnya, jelaslah bahwa tidak adil bila nestapa perguruan tinggi Indonesia di dunia internasional dialamatkan penyebabnya semata kepada dosen/profesor dan pemerintah, apalagi hanya kepada dosen/profesor. Lembaga pendidikan tinggi nasional dengan massifikasi sebagai paradigma yang dianutnya ternyata telah memberikan andil besar bagi rendahnya reputasi dan visibilitas perguruan tinggi Indonesia di kancah dunia. Sistem dan kebijakan yang dijalankan lembaga pendidikan tinggi kita ternyata telah berkontribusi bagi rendahnya kinerja dosen dan profesor yang diproduksi dan dipekerjakannya.
Massifikasi-Cum-Riset
Untuk mengatasi “sisi gelap” massifikasi pendidikan tinggi, perlu adanya pembenahan sistem lembaga pendidikan tinggi yang ada. Yakni, dengan menerapkan sistem baru dengan paradigma massifikasi-cum-riset. Sistem ini akan menempatkan penelitian dan publikasi karya ilmiah secara internasional sebagai bagian dan sasaran utama dari rencana strategis dan operasionalnya.
Tentu saja, sistem baru ini mesti dirancang untuk tidak mengecilkan peran aspek pengajaran dan pelatihan untuk memproduksi lulusan siap-pakai di pasar kerja.
Asep Muhamad Iqbal, Direktur Centre for Asian Social Science Research, FISIP, UIN Bandung
Terpopuler
1
Bangkitkan Semangat Wirausaha, Talk Show di Cirebon Ajak Perempuan Muda Jadi Pelaku Ekonomi Mandiri
2
Angkatan Pertama Beasiswa Kelas Khusus Ansor Lulus di STAI Al-Masthuriyah, Belasan Kader Resmi Menyandang Gelar Sarjana
3
PBNU Serukan Penghentian Perang Iran-Israel, Dorong Jalur Diplomasi
4
Kuota Haji 2026 Baru Akan Diumumkan pada 10 Juli 2025, Kemenag Masih Tunggu Kepastian
5
Koleksi Manuskrip Warisan Ulama Sunda, KH Enden Ahmad Muhibbuddin Jadi Rujukan Tim Peneliti Naskah Nusantara
6
Pengembangan Karakter Melalui Model Manajemen Manis
Terkini
Lihat Semua