• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Opini

Rendahnya Reputasi Pendidikan Tinggi Indonesia di Tingkat Dunia (1)

Rendahnya Reputasi Pendidikan Tinggi Indonesia di Tingkat Dunia (1)
Rendahnya Reputasi Pendidikan Tinggi Indonesia di Tingkat Dunia (1). (Foto: freepick)
Rendahnya Reputasi Pendidikan Tinggi Indonesia di Tingkat Dunia (1). (Foto: freepick)

Persoalan rendahnya reputasi dan visibilitas lembaga pendidikan tinggi Indonesia di kawasan regional dan global telah menjadi keprihatinan banyak pihak. Pada QS World Ranking University 2022 yang dirilis Februari lalu, hanya tiga universitas Indonesia (UGM, UI, dan ITB) menempati rangking 200-300 dunia. Kebanyakannya berada pada posisi di atas 1200 atau bahkan tidak termasuk daftar ranking.  


Dalam identifikasi apa dan siapa yang menyebabkan terjadinya nestapa yang dialami dunia pendidikan tinggi Indonesia  ini,  sejauh ini jari telunjuk umumnya diarahkan kepada dua pihak: Pertama, profesor dan dosen secara umum yang dipandang memiliki kualitas rendah dalam penelitian dan publikasi di jurnal ilmiah internasional; dan kedua, pemerintah, khususnya Direktorat Pendidikan Tinggi, dengan absurditas persyaratan pengangkatan profesornya yang mengakibatkan lahirnya “profesor lomba-prosedural” yang tentu saja tidak bisa diharapkan dari mereka karya dan riset yang berkualitas internasional. 


Tentu saja pandangan di atas dapat memberikan penjelasan dengan baik atas persoalan terpuruknya reputasi dan visibilitas internasional pendidikan tinggi Indonesia. Namun, persoalan sebenarnya terletak pada institusi pendidikan tinggi itu sendiri. 


Sudah saatnya kita mengalihkan perhatian kita pada kinerja lembaga-lembaga pendidikan tinggi kita untuk lebih memahami rendahnya daya saing dan reputasi pendidikan tinggi Indonesia. Saya pikir bahwa pihak manajemen pendidikan tinggi dengan paradigma massifikasi yang mereka anut dan jalankan selama ini sebenarnya memberikan andil besar bagi rendahnya  kinerja profesor dan dosen yang akhirnya menyebabkan terpuruknya reputasi pendidikan tinggi Indonesia di tingkat regional dan internasional. 


Massifikasi Pendidikan Tinggi

Dalam dua dekade terakhir, pendidikan tinggi di Indonesia mengalami peralihan paradigma dalam penyelenggaraannya. Yakni, peralihan dari model institusi pendidikan tinggi yang elit menjadi massal, dari skala kecil menjadi skala besar, dari sistem akademik  yang seragam ke sistem akademik yang beragam. 


Inilah yang disebut oleh para ahli pendidikan tinggi sebagai “massifikasi pendidikan tinggi” (massification of higher education). Ini merupakan upaya untuk menciptakan sistem pendidikan tinggi massal dengan berbagai jenis lembaga pendidikan yang melayani beragam segmen masyarakat dengan fasilitas, tujuan, dan staf akademik yang beragam pula (Philip Altbach 2008). 


Dalam upaya merespon dan beradaptasi dengan globalisasi dan tuntutan pasar, lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, baik milik swasta maupun milik pemerintah, telah menjadikan massifikasi sebagai paradigma baru dalam penyelenggaraan lembaga mereka. Mereka menerapkan massifikasi sebagai bagian utama dari rencana strategis pengembangan kampus-kampus mereka. 


Massifikasi pendidikan tinggi utamanya ditandai oleh ekspansi lembaga pendidikan tinggi untuk meraih mahasiswa sebanyak-banyaknya dari berbagai segmen dan latar-belakang sosial. Terjadi peningkatan dramatis dalam jumlah dan jenis lembaga pendidikan tinggi dengan berbagai tujuan dan sasaran. 


Begitu banyak program studi dan jurusan untuk jenjang S1 dan di bawahnya dibuka oleh berbagai lembaga tinggi mulai dari akademi, sekolah tinggi, hingga universitas. Kini, secara keseluruhan terdapat sekitar 4600 perguruan tinggi di Indonesia. Sebagian besarnya adalah perguruan tinggi swasta (sekitar 68%) dan sisanya merupakan perguruan tinggi negeri (sekitar 32%). 


Dengan paradigma massifikasi, tidak sedikit perguruan tinggi membuka “kelas jauh” bukan hanya di luar kota, melainkan juga di luar pulau. Akhir-akhir ini “kelas jauh” ini memang berkurang atau ‘tiarap’ setelah Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dan kementrian lain yang menyelanggarakan Pendidikan tinggi seperti Kementrian Agama melakukan pengawasan dan ancaman penutupan.


Lembaga pendidikan tinggi dengan paradigma massifikasi pada kenyataannya berorientasi pada pengajaran dan pelatihan praktis (vocational) pada program studi dan bidang-bidang yang memiliki kaitan erat dengan pasar kerja dan industri. Pandangan bahwa perguruan tinggi harus memproduksi lulusan yang siap-pakai di dunia kerja sudah menjadi ideologi di kalangan penyelenggara pendidikan tinggi.  


Selain itu, dengan paradigma massifikasi banyak perguruan tinggi membuka berbagai program master dan doktoral.  Dengan persyaratan masuk yang relatif longgar, mereka menerima banyak mahasiswa dengan dalih membuka peluang bagi masyarakat seluas-luasnya untuk meneruskan pendidikan mereka ke jenjang pascarsarjana.        


Asep Muhamad Iqbal, Direktur Centre for Asian Social Science Research, FISIP, UIN Bandung   


Opini Terbaru