• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Opini

NU dan Jebakan Politik Identitas Toleransi 

NU dan Jebakan Politik Identitas Toleransi 
NU dan Jebakan Politik Identitas Toleransi (Foto: Agung/NUJO)
NU dan Jebakan Politik Identitas Toleransi (Foto: Agung/NUJO)

Oleh Amin Mudzakkir
Muktamar ke-34 kali ini adalah momen bagi NU untuk merefleksikan posisinya dalam isu toleransi. Apakah itu sesuai dengan tantangan struktural zaman kita atau malah bisa menjebak NU dalam kubangan politik identitas yang justru mau dikritiknya? Mari kita bahas!


Isu toleransi yang sekarang melekat pada NU telah diperjuangkan sejak era Gus Dur. Konteksnya saat itu adalah represi rezim Orde Baru yang mulai memberikan privilige kepada para eksponen Islam politik. Dampaknya adalah gejala sektarianisme yang diskriminatif terhadap kaum minoritas agama dan kultural lainnya. 


Harus diakui, perjuangan Gus Dur ketika itu belum menyasar apa yang sekarang disebut sebagai masalah oligarki. Fokus perhatiannya masih terpusat pada wacana demokratisasi politik dan kultural--sebuah posisi yang bisa dikategorikan "liberal" dan bahkan mungkin "neoliberal".


Dalam sejarah, posisi Gus Dur berada dalam situasi "belokan budaya" (cultural turn) yang memang mengungkung pemikiran-pemikiran besar sejak 1980-an--dan masih berlanjut dalam banyak hal hingga sekarang. 


Dalam "belokan budaya" tersebut, jarang disadari bahwa isu toleransi ternyata bisa ditumpangi oleh kepentingan ekonomi-politik tertentu. Para pemikir dan aktivis sering lupa bahwa gagasan "politik pengakuan" yang terkandung dalam perjuangan toleransi telah disusupi oleh kebutuhan elite oligarki. Bagaimanapun, para pengusaha super kaya itu menginginkan terciptanya suatu masyarakat toleran yang ramah bagi ekspansi investasi mereka. Mereka tidak suka radikalisme agama, sebab itu menghambat "kepentingan diri" kapitalisme untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya--sementara itu, kerusakan ekologi dan ketercerabutan komunitas dilihat sebelah mata. 


Ironisnya, isu toleransi yang diperjuangkan, termasuk oleh NU, disempitkan maknanya hanya pada pengertian-pengertian yang bersifat identitas. Sasaran tembaknya selalu terarah pada konservatisme agama dan kultural sebagaimana mengemuka pada kelompok-kelompok Muslim garis keras. Dilatarbelakangi oleh polarisasi politik di dua kali pilpres dengan kemenangan Jokowi, padahal, dapat dikatakan perjuangan toleransi sekarang telah membuahkah hasil: sementara HTI dan FPI dibubarkan dan dibekukan, moderasi beragama menjadi bagi dari program pembangunan nasional. 


Yang ingin saya katakan adalah tantangan struktural ketika isu toleransi yang diperjuangkan di era Gus Dur dan zaman kita sekarang telah berubah. Namun, ini sering luput dari perhatian. Energi NU terlalu banyak dicurahkan melawan musuh-musuh abadinya, yaitu kelompok-kelompok Islam politik, sedangkan isu toleransi yang diperjuangkannya malah digunakan oleh pihak lain, yaitu elite ekonomi dan politik oligarki, melegitimasi dirinya. 


Oleh karena itu, peribahasa mengenai NU yang hanya digunakan sebagai pendorong mobil mogok berlaku juga dalam bidang pemikiran. Para intelektual NU yang selama ini dikenal sebagai "progresif" itu justru adalah "para pelayan" oligarki. Pemikiran mereka yang luar biasa maju itu malah membuka jalan bagi investasi--yang dampaknya bagi sebagian besar kaum Nahdliyin masih harus diuji. 


Saya tidak yakin isu toleransi yang terjebak politik identitas ini menjadi bahan permenungan para muktamirin. Semoga ada satu atau dua dari mereka membaca postingan ini, lalu menyuarakannya di forum-forum resmi. Kalau pun tidak, ya tidak apa-apa, nanti siang atau sore kita bisa ngopi bareng di sekitar sini 


Penulis adalah peneliti BRIN


Editor:

Opini Terbaru