• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 6 Mei 2024

Opini

Pesantren Tanpa Kyai, Kyai Tanpa Pesantren

Pesantren Tanpa Kyai, Kyai Tanpa Pesantren
Sketsa Masjid Pesantren Tegalsari, salah satu pesantren tua di Ponorogo yang melahirkan banyak ulama terkenal.
Sketsa Masjid Pesantren Tegalsari, salah satu pesantren tua di Ponorogo yang melahirkan banyak ulama terkenal.

Oleh: Amin Mudzakkir 
Kemarin saya bertanya, sekarang banyak pesantren tanpa kyai dan, sebaliknya, kyai tanpa pesantren, fenomena apa ini? 
Terus terang saya cukup terkejut dengan komentar sejumlah teman. Pertanyaan yang awalnya saya niatkan sebagai pertanyaan sosiologis itu dikomentari dengan jawaban yang romantis dan ideologis. Ada yang bilang ini adalah fenomena sekularisasi, ada yang menyebut ini adalah contoh dari kemerosotan moral dan intelektual, bahkan ada yang mengatakan ini adalah prolog menuju talibanisme! 

Padahal, sekali lagi, saya bertanya hal yang pada dasanya adalah fenomena sosiologis biasa. Jika bapak dan ibu melihat apa yang terjadi sekarang, itu adalah fenomena yang lumrah. Pesantren adalah bagian dari masyarakat yang berubah.

Pada masa lalu, hubungan antara pesantren dan kyai terintegrasi secara fisik. Sebuah tempat disebut pesantren jika di sana terdapat bangunan asrama, santri, pengajaran keagamaan, masjid, dan tentu saja rumah kyainya. Buku-buku klasik mengenai pesantren telah membahas ini panjang lebar. 

Akan tetapi, dalam perkembangannya, unsur-unsur fisik yang membentuk pesantren itu tidak selalu terintegrasi di sebuah tempat. Di pesantren yang lahir belakangan, unsur-unsur tadi bisa terpisah. Akibatnya pesentren menjadi mirip sekolah, sekolah berasrama tepatnya. Di situ memang ada asrama dan ruang kelas, selain tentu saja santri yang tinggal sehari-hari, tetapi kyainya adalah guru-guru yang diundang dan lalu diberi katakanlah honor sebagaimana layaknya. 

Di sisi lain, ada juga, bahkan banyak, kyai yang tidak mempunyai pesantren. Beberapa teman saya di Jakarta tidak diragukan lagi adalah kyai, sangat alim, sangat pantas disebut ulama. Namun, kita tahu, mereka tinggal di perumahan biasa, tidak mempunyai asrama di mana di situ para santrinya tinggal sehari-hari, bahkan mereka juga tidak menetap di masjid tertentu. 

Bagi saya, fenomena tersebut tidak terhindarkan. Dengan kalimat lain, fenomena pesantren tanpa kyai dan kyai tanpa pesantren tidak perlu ditangisi. Ini adalah kenyataan zaman. 

Barangkali fenomena ini adalah bagian dari apa yang oleh Kuntowijoyo disebut fenomena "Muslim Tanpa Masjid". Sekali lagi, ini bukan fenomena yang mesti ditangisi, tetapi dipahami. Sayangnya, sebagian publik, termasuk kajian-kajian akademisnya, masih terus menempatkan pesantren dalam konsepsi yang romantis dan ideologis. Ini yang saya tantang.

Penulis adalah Peneliti LIPI.


Opini Terbaru