Oleh: Amin Mudzakkir
Kemarin saya bertanya, sekarang banyak pesantren tanpa kyai dan, sebaliknya, kyai tanpa pesantren, fenomena apa ini?
Terus terang saya cukup terkejut dengan komentar sejumlah teman. Pertanyaan yang awalnya saya niatkan sebagai pertanyaan sosiologis itu dikomentari dengan jawaban yang romantis dan ideologis. Ada yang bilang ini adalah fenomena sekularisasi, ada yang menyebut ini adalah contoh dari kemerosotan moral dan intelektual, bahkan ada yang mengatakan ini adalah prolog menuju talibanisme!
Padahal, sekali lagi, saya bertanya hal yang pada dasanya adalah fenomena sosiologis biasa. Jika bapak dan ibu melihat apa yang terjadi sekarang, itu adalah fenomena yang lumrah. Pesantren adalah bagian dari masyarakat yang berubah.
Pada masa lalu, hubungan antara pesantren dan kyai terintegrasi secara fisik. Sebuah tempat disebut pesantren jika di sana terdapat bangunan asrama, santri, pengajaran keagamaan, masjid, dan tentu saja rumah kyainya. Buku-buku klasik mengenai pesantren telah membahas ini panjang lebar.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, unsur-unsur fisik yang membentuk pesantren itu tidak selalu terintegrasi di sebuah tempat. Di pesantren yang lahir belakangan, unsur-unsur tadi bisa terpisah. Akibatnya pesentren menjadi mirip sekolah, sekolah berasrama tepatnya. Di situ memang ada asrama dan ruang kelas, selain tentu saja santri yang tinggal sehari-hari, tetapi kyainya adalah guru-guru yang diundang dan lalu diberi katakanlah honor sebagaimana layaknya.
Di sisi lain, ada juga, bahkan banyak, kyai yang tidak mempunyai pesantren. Beberapa teman saya di Jakarta tidak diragukan lagi adalah kyai, sangat alim, sangat pantas disebut ulama. Namun, kita tahu, mereka tinggal di perumahan biasa, tidak mempunyai asrama di mana di situ para santrinya tinggal sehari-hari, bahkan mereka juga tidak menetap di masjid tertentu.
Bagi saya, fenomena tersebut tidak terhindarkan. Dengan kalimat lain, fenomena pesantren tanpa kyai dan kyai tanpa pesantren tidak perlu ditangisi. Ini adalah kenyataan zaman.
Barangkali fenomena ini adalah bagian dari apa yang oleh Kuntowijoyo disebut fenomena "Muslim Tanpa Masjid". Sekali lagi, ini bukan fenomena yang mesti ditangisi, tetapi dipahami. Sayangnya, sebagian publik, termasuk kajian-kajian akademisnya, masih terus menempatkan pesantren dalam konsepsi yang romantis dan ideologis. Ini yang saya tantang.
Penulis adalah Peneliti LIPI.
Terpopuler
1
DPR RI Setujui Usulan Kemenag soal Tambahan Anggaran untuk BOS Madrasah dan Tunjangan Profesi Guru
2
Dikukuhkan Rais 'Aam PBNU, Inilah Susunan Struktur Idaroh Aliyah JATMAN 2025-2030
3
Ketika 14 Siswa Tak Diakui Negara: Kebijakan Tambah Rombel 50 Siswa Mengandung Bom Waktu
4
Khutbah Jumat Singkat: Manfaatkan Sisa Umur dengan Melakukan Hal yang Bermanfaat
5
Pererat Ukhuwah, PCNU Kabupaten Bogor Gelar Istighotsah dan Silaturahmi Pendekar Pagar Nusa
6
Aklamasi, Nyai Hj Minyatul Ummah Terpilih Pimpin Fatayat NU Jawa Barat 2025–2030
Terkini
Lihat Semua