Opini

Pendidikan Pesantren Ciptakan Manhajul Fikr yang Progresif dan Moderat untuk Generasi Bangsa

Sabtu, 5 April 2025 | 16:19 WIB

Pendidikan Pesantren Ciptakan Manhajul Fikr yang Progresif dan Moderat untuk Generasi Bangsa

Ahmad Royhan, mahasantri Mahad Aly Lirboyo+prodi Fiqih wa Ushuluhu. (Foto: NU Online Jabar)

Oleh Ahmad Royhan 
Pesantren dengan meminjam bahasa Dr. KH. Reza Ahmad Zahid, Lc, MA. adalah Majma’ul Bahroin (menghimpun 2 lautan ilmu) 1. Ilmu yang berelemen non formal (Agama/Syari’at) 2. Ilmu yang berorientasi formal. Perdebatan serius dalam pendidikan untuk menentukan arah pembangunan bangsa yang menjadi penentu kejayaan negri. 


Sebagian kelompok lebih memilih ide-ide modern barat dengan tradisi islam, sebagian lain siap menerapkan ide sekuler barat dengan tradisi lokal, dan sebagian lagi cenderung mengawinkan tradisi islam dengan kekayaan budaya bangsa ini, ide terakhir ini diterapkan oleh pesantren yang sebagai rival sekuler barat/ modern barat yang kemudian waktu diformalkan oleh negara Indonesia, walaupun di mata publik pendidikan yang notabenya sekuler barat itu jauh lebih diminati dan maju melalui sistemnya yang canggih dan kurikulum yang tertata rapih. 


Latar belakang awal sejarah pesantren hadir untuk melakukan transformasi kultural melalui tradisi. Para santri dengan identitasnya sebagai center of excellent, memiliki sikap dinamis, juga cara pandang dengan keahlian ilmu yang disiplinnya dalam menelaah suatu hukum perlu meraba kecanggihan zaman guna menuangkan pikirannya dengan estetika sehingga mampu bersaing dan menjadi sosok yang dibutuhkan masyarakat. 


Pesantren di samping mengedepankan spiritual dan etika, juga memupuk jiwa untuk lebih transparan dalam berfikir yang akan tampak kebiasaan menganalisis, meneliti, dan mengfilter ide yang diterima. Tidak berhenti sampai disitu, para santri memiliki power untuk membuat kesimpulan secara kritis dengan akan sehatnya, sehingga lebih progresif dan dinamis melalui pikirannya, semua itu dibingkis dalam Bahtsul Masa`il. 


Bukti Fakta urgensi Musyawaroh dengan adanya konsensus Pancasila pada sila yang ke-4 “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, sila keempat ini menuntut prioritasnya kepentingan umum atas kepentingan pribadi dan golongan sebagaiman menuntut untuk mencari kemufakatan tanpa ada paksaan pendapat bahkan tidak mempertimbangkan mayoritas dan minoritas karena keduanya hal itu telah lebur dalam wadah kebangsaan. 


Model gaya musyawaroh memang bermacam-macam, al-Qur`an dan Hadits tidak menjelaskan secara spesifik melainkan hanya sebatas perintah saja sebagaimana dalam QS. Ali-Imron Ayat 159:
 

فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ


Esensi musywaroh itu membuka ruang ide-ide luar masuk tanpa mengurangi pikiran seseorang, justru pikiran tertutup akan menghalangi hadirnya peluang kesuksesan dan memiliki sifat fanatik yang terlalu tinggi, Sehingga memunculkan statemen “Bahwa pendapat orang lain itu tidak benar” sebagaimana perkataan:
 

   رأينا صواب ورأيك خطأ 


Sudah menjadi barang pasti kelompok fanatisme tentunya akan lahir keyakinan kuat bahwa dirinyalah yang memiliki kemampuan dan kekuatan melindungi kan tetapi sifat buruk fanatik ini akan tertampik dengan pola pikir yang sebagaimana disampaikan imam Ibnu Hajar:
 

الخطأ ورأي غيرنا خطأ يحتمل الصواب يحتمل  رأينا صواب


“Pendapatku benar yang boleh jadi salah dan pendapat selainku salah yang boleh jadi benar”


Di pesantren kirana ada dua Pendidikan karakter kebangsaan yang menjadi pelajaran pokok dalam pesantren:


Pertama, Pesantren mendidik karakter berupaya mengajak bangsa untuk mandiri, yang tidak sebatas politik dan ekonomi, melaikan tsaqofah (kebudayaan) dan kerja-kerja pengetahuan, acuan pendidikan pesantren adalah dasar-dasar kehidupan bermasyarakat yang diserap pada awal masuknya islam yang dengan mengombinasi dari masa hindu-budha.


kedua, menciptakan interaksi secara harmonis dalam bergaul dan bersatu diantara sesama anak bangsa senusantara. Kalau ada perselisihan, para tokoh-tokoh pesantren berperan sebagai mediasi perdamaian kepada mereka.


ketiga, Memaksimalkan dan memanfaatkan potensi sumber daya negri ini.  Para ulama tidak pernah merasakan cengah saat persoalan pelik dihadapkannya tatkala kritik tajam tentang PKB (partai kebangkitan bangsa) adalah bagian dari partai politik islam, padahal NU sendiri telah menerima kehadiran perbedaan dalam negara dan tidak terjebak pada tasyiyin nusus (Politisasi ayat).


Salah satu bukti kehebatan sepak terjang tokoh-tokoh NU keluaran pesantren adalah KH. Ahmad Wahid Hasyim, pada tahun 1945 dengan jiwa kebangsaanya beliau mampu menjembatani bahkan ikut andil mempertemukan pikiran-pikiran sebagai wakil gerakan-gerakan Islam dan para wakil golongan nasionalis dalam bingkai PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) untuk mengahapus identitas negara islam dalam UUD 1945 dan merevisi rumusan “Dengan kewajiban melaksanakan syari’at isla bagi pemeluknya” dengan “Ketuhanan yang maha Esa” dari teks UUD 1945. 


Dalam Al-Quran disebutkan “masuklah kalian kedalam kedamaian secara penuh” perbedaan penafsiran kata as-silmi memang tak bisa dipungkiri, akan tetapi dengan mengartikan “Kedamaian” akan menunjukan pada sebuah entitas universal yang tidak perlu dijabarkan melalui sistem tertentu, termasuk bagiannya adalah sitem islam. 


Keserasian paham kebangsaan dengan tuntutan agama islam itu jugalah yang menggugah warga NU hingga pada klimaksnya mengeluarkan seruan Resolusi Jihad tepatnya pada tanggal 22 Oktober yang dikenal dengan Hari Santi sekitar 2 bulan setelah proklamasi kemerdekaan 1945. 


Bangsa Indonesia telah memiliki pandangan hidup keseharian dan dasar falsafat indonesia sebelum disahkannya Pancasila pada 18 Agustus 1945 yakni nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi cikal bakal rumusan utama oleh para pendiri negara Indonesia. 


Ini penting untuk diingat karena akhir-akhir ini komunitas yang menggebu-gebu memasukkan piagam jakarta ke UUD, padahal pendirian ini untuk kepentingan islam bertentangan dengan demokrasi yang aturannya itu memperlakukan sama pada semua warga negara undang-undang. 


Penyediaan pendidikan pesantren yang berkualitas melalaui lingkungan dan suasana belajar yang kondusif dan nyaman akan mampu menggabungkan intelektual, emosional dan spiritual. Hal ini menjadi solusi atas masalah-masalah yang menerpa dan titik terang bagi para generasi yang mengidamkan indonesia jaya.


Penulis adalah mahasantri Mahad Aly Lirboyo+prodi Fiqih wa Ushuluhu