• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 4 Mei 2024

Opini

Orang-orang yang Merasa Lebih

Orang-orang yang Merasa Lebih
Ilustrasi: NUO.
Ilustrasi: NUO.

Mungkin Anda masih ingat tulisan terdahulu, tentang Adam dan setan, yang dua-duanya tergelincir bermaksiat kepada Allah. Sehingga keduanya dikeluarkan dari surga. Namun yang pertama bisa kembali ke surgaNya, sedangkan yang kedua tidak bisa kembali ke surgaNya.


Yang kedua tak bisa kembali, dan tidak meraih ampunanNya karena kesalahan fatal; merasa lebih baik dari yang pertama, dengan  menolak perintahNya.


"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji dari kesombongan."(HR Muslim no. 133)


Ketahuilah, godaan maha berat adalah merasa lebih dari yang lain. Merasa lebih membuat kita merendahkan yang lain, dan bisa mendorong kita ber-ghibah (membicarakan orang lain). Itu dilarang dan dosanya besar karena dibalik ghibah itu terselip sikap merasa lebih baik daripada orang yang kita jadikan bahan gosip. 


Godaan merasa lebih bisa juga menerpa mereka yang rajin beribadah; merasa lebih alim. Saat shalat bacaan kita lebih bagus dari yang lain. Hafalan ayat kita lebih komplit. Ruku’ atau sujud kita lebih lama. Kita lebih khusyu’ ketimbang yang shalatnya express. 


Kita bersyukur Allah menghadirkan ibadah puasa bulan Ramadhan ini untuk kita melakukan exercise dari perasaan dan godaan merasa lebih daripada yang lain. 


Seperti disebut terdahulu bahwa  puasa adalah ibadah diam. Puasa adalah ibadah menahan diri; pasif bukan aktif. Maka ibadah puasa adalah sebagai cara kita untuk merasa sama dengan yang lain, bukan merasa lebih alim dari yang lain. Semua terlihat sama. Hanya Allah yang melihat kualitas puasa kita.


Puasa juga melatih kita untuk tidak selalu merasa lebih punya. Sikap merasa memiliki membuat kita tidak bisa merasakan orang yang dalam kondisi kekurangan. Bahkan di saat kita kurang, masih banyak lagi yang lebih kurang dari kita. Yang merasa memiliki akan terikat dengan apa yang dimilikinya. Puasa melatih kita untuk melepas sesaat dari apa yang kita miliki: makanan, minuman dan pasangan. Bukan karena kita tidak mampu menikmati makan, minum dan menjamah pasangan kita, tapi karena kita memilih untuk menahan diri.


Jika selama ini dalam keseharian, kita terus menerus mengandalkan kemampuan kita, puasa mengajarkan kita bahwa ada hal di luar apa yang bisa kita usahakan. Kita mampu memasukkan makanan ke dalam mulut, tetapi kita tidak dapat mengontrol rasa lapar di bulan puasa. Kita mampu telentang di tempat tidur, tetapi di bulan puasa kapan kita tidur dan bangun ternyata digerakkan oleh kekuatan lain. Kita mampu berusaha mendapat pujian amal ibadah tetapi kita tidak bisa membuat orang lain kagum dengan puasa kita. Kita mampu menceritakan rahasia ibadah Ramadan, tetapi kita tidak pernah tahu apakah kita telah menjadi bagian dari rahasia itu. 


Kita mampu melakukan amalan puasa, tetapi kita tidak tahu apakah telah tumbuh cinta ilahi. Puasa mengajarkan kita mengakui batas kemampuan diri.


Kalau selepas Ramadan kelak kita masih merasa lebih alim, lebih hebat, lebih mampu dan lebih memiliki daripada yang lain, maka puasa kita belum ‘ngefek‘ ke perilaku kita sehari-hari.


Nadirsyah HosenRais Syuriah PCINU Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School


Opini Terbaru