• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Opini

NU dan Demokrasi Bermartabat (II)

NU dan Demokrasi Bermartabat (II)
NU dan Demokrasi Bermartabat (II)
NU dan Demokrasi Bermartabat (II)

Dimensi politik NU
Politik menjadi fungsional, dan demokrasi menjadi bermartabat, apabila dilandasi dengan moralitas dan akhlakul karimah. Politik menjadi fungsional apabila dilandasi dengan dimensi Al-Amanah, yaitu pertanggungjawaban atau akuntabilitas, yang tidak hanya kepada masyarakat saja, tetapi juga kepada Allah SWT. Dengan demikian politik tidak mungkin menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan seperti kekerasan, kedzaliman karena itu bertentangan dengan syariat Islam. Politik tidak dilakukan dengan tipu-muslihat, karena moralitas Islam justru mendorong masyarakat harus senantiasa berperilaku jujur, benar dan adil.


Dimensi Al-Hurriyyah, politik akan menjadi fungsional apabila mampu membebaskan manusia dari ketertindasan, praktek-praktek diskriminasi dan kebodohan serta kemiskinan. Politik harus melahirkan masyarakat menjadi bebas dan mandiri, masyarakat yang cerdas serta terlepas dari himpitan dan kesulitan ekonomi. Politik menjadikan masyarakat sejahtera dan nyaman dalam kehidupannya.


Dimensi Al-Ukhuwwah, politik menjadi fungsional apabila terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, kuatnya ukhuwwah islamiyah, dan teguhnya semangat kebangsaan. Bukan sebaliknya, masyarakat menjadi terpecah belah, bercerai-berai, ukhuwwah islamiyah menjadi terkoyak serta konflik sosial terjadi tiada henti.


Demokrasi Bermartabat
Konsolidasi demokrasi saat ini masih terus memerlukan pengawalan dalam pelaksanaannya agar tidak melenceng/menyimpang dari esensi demokrasi itu sendiri. Demokrasi tidak saja merupakan bentuk terbaik sistem pemerintahan, tetapi juga merupakan doktrin politik yang akan memberikan manfaat bagi Bangsa dan Negara. Demokrasi sebagai sebuah sistem politik dan pemerintahan yang mempunyai akar kesejarahan yang amat panjang, sehingga telah teruji sebagai suatu sistem yang stabil dan baik dalam suatu negara. Bahkan demokrasi dipandang sebagai sebagai suatu sistem yang alami dan manusiawi, semua rakyat di negara mana pun akan memilih demokrasi bila mereka diberikan kebebasan untuk menentukan pilihannya.


Demokrasi begitu dijunjung tinggi dan bahkan dapat pengakuan yang begitu besar dari seluruh bangsa di dunia, adalah, karena “harkat etisnya”. Demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat. Faham kedaulatan rakyat mengandung dan mengungkapkan dua hal keyakinan dasar manusia.


Yaitu pertama, bahwa manusia adalah bebas mandiri, dalam menentukan pilihannya, dan kedua, manusia memiliki harkat dan hak-hak dasarnya yang sama.


Dalam perjalanan demokrasi di Indonesia, bukan tanpa tantangan, hambatan dan gangguan. Seperti halnya saat ini terjadi 'Demokrasi transaksional' yang ditandai dengan bergesernya kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan uang. Keterpilihan seseorang untuk menjadi anggota legislatif atau juga kepala daerah banyak ditentukan dengan berapa uang yang tersedia untuk membeli suara rakyat.


Dengan istilah yang popular di masyarakat dikala ada hajatan Pemilu atau Pilkada, yaitu “wani piro”. Suatu ungkapan yang sangat naïf yang telah mencederai demokrasi.


Hal ini merupakan buah dari sekulerisme politik. Sekulerisme melahirkan pragmatisme politik, sebagai akibat dari tiadanya ideologi politik pada partai politik. Partai politik tanpa ideologi akan menjadi pragamatis dan materialistis, akhirnya cenderung liar dalam memburu kekuasaan.


Dalam Muktamar ke-28 di Krapyak Yogyakarta, NU telah memberikan pedoman berpolitik bagi warganya, dengan 9 (sembilan) butir, dua diantaranya adalah:

  • Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa.
  • Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani, dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati.


Di samping itu, demokrasi saat ini masih dalam tahapan demokrasi prosedural dan bahkan cenderung menjadi “demokrasi elitis”. Hal ini ditandai dengan masih kuatnya elit politik menjadi penentu dalam men- desain dan re-desain demokrasi konstitusional. Contoh paling nyata adalah perubahan UU MD3 yang baru saja ditetapkan yang tujuannya adalah hanya sekedar 'meredakan' konflik politik di DPR, dengan meng-akomodasi mereka yang berselisih dalam kepemimpinan pada alat-alat kelengkapan DPR/MPR. Dan juga Perppu tentang UU Pilkada, sebagai wujud tarik menarik kepentingan masingmasing Parpol dalam memperoleh jabatan kepala daerah pada Pilkada yang akan datang.


Dan sebagai akibat atau dampak sistem proporsional terbuka dalam pemilu legislatif, maka munculah “demokrasi narsis”. Demokrasi yang ditandai dengan penampilan figur calon-calon wakil rakyat yang sangat masif, tertampang dihampir setiap alat peraga pemilu seperti spanduk, baliho dan sebagainya, bahkan cenderung menafikan partai politik yang mengusungnya. Akibatnya karena terlalu narsisnya, tidak ada lagi visi, misi dan program partai yang ter-sosialisasikan yang akan diperjuangkannya untuk membela rakyat. Yang muncul adalah potret sosok figur pribadi masing-masing calon. Sistem pemilu saat ini adalah system proporsional, bukan sistem distrik. Namun semangat dan nuansa individual personal muncul dalam relasi politik para calon dengan masyarakat sangat dominan sekali.


NU dalam pedoman berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama, telah memberikan arah bahwa, berpolitik bagi warga NU dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan. Dan dalam perilaku dan sikap kemasyarakatan, NU telah memberikan pedoman yang harus ditaati, baik dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi. Yang antara lain, menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran Islam, Menahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan Menjunjung tinggi sifat keihlasan dalam berkhidmat dan berjuang. (Khitthoh NU).


NU dengan seperangkat nilai-nilai ideologis yang dirumuskan dalam khitthoh NU atas dasar faham Ahlussunah Wal jamaah, telah mengawal pelaksanaan demokrasi Indonesia menuju demokrasi yang bermartabat. Demokrasi yang dibangun atas dasar fondamen konstitusi dengan berbasis moral, dan ahlaqul karimah. Demokrasi yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan ber-keadaban, Demokrasi yang memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, Demokrasi yang menjamin adanya kebebasan yang bertanggung jawab. Demokrasi yang mampu menghantarkan masyarakat menjadi sejahtera dan harmonis.


Keberhasilan untuk mengawal Demokrasi yang bermartabat, akan banyak ditentukan oleh kemampuan NU dalam mengelola institusional NU sebagai jam’iyyah, tingkat kualitas personal Sumber Daya Manusia (SDM) warga NU sebagai jama’ah, dan efektifitas fungsi peran NU sebagai gerakan keagamaan (jam’iyyah diniyah) dan sebagai organisasi sosial kemasyarakatan.


Wallahulmuwafiq ilaa aqwamit thariq


KH A Chozin Chumaidy, salah seorang Mustasyar PWNU Jawa Barat


Opini Terbaru