• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 27 Juni 2024

Opini

Nilai Pendidikan Dalam Ibadah Qurban

Nilai Pendidikan Dalam Ibadah Qurban
Hewan Qurban. (Foto: NU Online Jabar/Agung)
Hewan Qurban. (Foto: NU Online Jabar/Agung)

Oleh Nana Suyarna
Hari raya qurban dikenal juga dengan sebutan Idul Adha. Qurban berasal dari bahasa Arab ‘’qurbân’’ yang artinya “pendekatan diri”. Maksudnya adalah mendekatkan diri kepada Allah. Qurban juga disebut al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan, seperti unta, sapi (kerbau), dan kambing yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah. 


Qurban dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah yakni tanggal 10, 11, 12, 13. dengan menyembelih hewan ternak sesuai ketentuan yang telah ditentukan menurut syariat Islam. Melalui ibadah qurban, kita berharap mampu lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. sehingga ketakwaan pun semakin sempurna. Ibadah qurban memiliki banyak keutaman. Nabi Muhammad SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi.  


Dari Aisyah ra, Nabi saw bersabda, “Tidak ada suatu amalan pun yang dilakukan oleh manusia pada hari raya qurban yang lebih dicintai Allah SWT dari menyembelih hewan qurban. Sesungguhnya hewan qurban itu kelak pada hari kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Dan sesungguhnya sebelum darah qurban itu menyentuh tanah, ia (pahalanya) telah diterima di sisi Allah, maka beruntunglah kalian semua dengan (pahala) qurban itu.” 


Melalui hadits di atas, kita dapat dapat memahami bahwa penyembelihan hewan hanyalah sebuah sarana untuk mencapai tujuan. Tujuan yang paling utama adalah takwa kepada Allah SWT. Hal ini dipertegas dengan firman Allah SWT. Sebagai berikut:


لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَـٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُحْسِنِينَ


Artinya: Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Hajj (22) ayat 37). 


Dalam surat Saba (34) ayat 37, Allah menegasakan:


وَمَآ أَمْوَٰلُكُمْ وَلَآ أَوْلَـٰدُكُم بِٱلَّتِى تُقَرِّبُكُمْ عِندَنَا زُلْفَىٰٓ إِلَّا مَنْ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَـٰلِحًۭا فَأُو۟لَـٰٓئِكَ لَهُمْ جَزَآءُ ٱلضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا۟ وَهُمْ فِى ٱلْغُرُفَـٰتِ ءَامِنُونَ


Artinya: Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).


Dalam konsep tasawuf, qurban dimaknai sebagai proses menyembelih sifat kehewanan (Bahimiyah dan Sabu'iyah). Sabu’iyah yaitu sifat “kebuasan” yang apabila menguasai diri manusia ia akan suka bermusuhan, berkelahi, suka marah, suka menyerang, suka memaki, suka berdemo, anarkis, cemburu berlebihan dan lain sebagainya. 


Imam Ghazali menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya memiliki empat karakter yakni Al-Rubu’iyah (sifat ketuhanan), Al-Syaithaniyah (sifat “kesetanan”), Bahimiyah (sifat “kehewanan”), dan Sabu’iyah (sifat “kebuasan”). Dari ke empat sifat tersebut, tiga sifat yang senantisa harus kita kendalikan yaitu sifat kesetanan, kehewanan, dan kebuasan. Caranya  dengan perbanyak zikir kepada Allah SWT.


  ان ذكرالله تعالى فئ جنب الشيطان كالاءكلة في جنب ابن ادم


Artinya: sesunggugunya dzikir kepada Allah SWT akan dapat menyakiti syaithan seperti penyakit yang menyerang lambung anak adam. (Al-Hadist).


Sejarah qurban sejatinya sudah berlangsung sejak generasi pertama umat manusia, nabi Adam AS. Namun syariatnya baru dimulai dari kisah perintah Allah kepada nabi Ibrahim as. untuk menyembelih anak kesayangannya, Ismail as. Ismail adalah seorang anak yang beliau idam-idamkan selama bertahun-tahun karena istrinya sekian lama tidak memiliki anak. 


Dalam surat ash-Shaffat dijelaskan bahwa semula nabi Ibrahim as. berdoa: 


  رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ. 


“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.”  


Kemudian Allah memberi kabar gembira dengan anugerah kelahiran seorang anak yang amat cerdas dan sabar (فَبَشَّرْنَـٰهُ بِغُلَـٰمٍ حَلِيمٍۢ). Ketika anak itu menginjak dewasa, nabi Ibrahim as diuji melalui sebuah mimpi. Ia berkata:


"Wahai anakku, dalam tidur aku bermimpi berupa wahyu dari Allah yang meminta aku untuk menyembelihmu. Bagaimana pendapat kamu?" Anak yang saleh itu menjawab, "Wahai bapakku, laksanakanlah perintah Tuhanmu. Insya Allah kamu akan dapati aku termasuk orang-orang yang sabar." 


Tatkala sang bapak dan anak pasrah kepada ketentuan Allah, Ibrâhîm pun membawa anaknya ke suatu tumpukan pasir. Lalu Ibrâhîm membaringkan Ismail dengan posisi pelipis di atas tanah dan siap disembelih. Atas kehendak Allah, drama penyembelihan anak manusia itu batal dilaksanakan. Allah berfirman dalam ayat berikutnya: 


 إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ. وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآَخِرِينَ. سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ. كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ. إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ


Artinya: “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.”


Nilai Pendidikan dalam Ibadah Qurban

Pelaksanaan ibadah qurban yang dilaksanakan umat Islam setiap tahun memiliki i’tibar atau pelajaran bagi umat Islam. Setidaknya dari ibadah qurban tersebut ada nilai pendidikan, bagaimana orang tua memainkan peran penting dalam membangun generasi yang soleh, sebagaimana doanya Nabi Ibrahim as. 


رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ


"Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh”. 


Nilai pendidikan tersebut tergambar dalam beberapa hal. Pertama, totalitas kepatuhan nabi Ibrahim as. kepada Allah SWT. Beliau mendapat ujian berat pada saat rasa bahagianya meluap-luap dengan kehadiran sang buah hati di dalam rumah tangganya. Lewat perintah menyembelih Ismail, Allah seolah hendak mengingatkan nabi Ibrahim as bahwa anak hanyalah titipan. 


Betapapun mahalnya seorang anak, betapapun cintanya kepada anak, tidak boleh melengahkan serta mengalahkan kita, bahwa rasa cinta dan ketaatan kepada Allah di atas segalanya. Dan nabi Ibrahim as lolos dari ujian ini. Ia membuktikan bahwa dirinya sanggup mengalahkan egonya untuk tujuan mempertahankan nilai-nilai Ilahi. Dengan penuh ketulusan, nabi Ibrahim as menapaki jalan pendekatan diri kepada Allah sebagaimana makna qurban yakni pendekatan diri. 


Kedua, meski usianya masih belia, nabi Ismail mampu membuktikan diri sebagai anak berbakti dan patuh kepada perintah Tuhannya. Yang menarik, ayahnya menyampaikan perintah tersebut dengan memohon pendapatnya terlebih dahulu, dengan tutur kata yang halus, tanpa unsur paksaan. Atas dasar kesalehan dan kesabaran yang ia miliki, ia pun memenuhi panggilan Tuhannya.  


Ketiga, Siti Hajar. Ketika seorang sudah lama menikah dan belum dikarunia anak, melalui ketentuan-Nya, Allah menganungrahkan seorang anak.  Sudah bisa dipastikan ibu akan memiliki rasa cinta dan kasih yang luar biasa terhadap anaknya, begitunpun Siti Hajar dan Nabi Ibrahim as pada saat rasa cinta dan kasih sayang terhadap anak semata wayang harus dipertaruhkan dengan rasa cinta kepada Allah SWT.


Nabi Ibrahim as dan istrinya, mampu menempatkan cintanya kepada Allah di atas cinta kepada anaknya, Ismail.  Siti Hajar adalah sosok manusia yang memiliki kualitas keimanan yang luar biasa. Allah tetap saja mengujinya dengan sesuatu yang sangat mereka cintai, yakni putranya, nabi Ismail harus disembelih. 


Dari kisah tiga tokoh tersebut, kita bisa mengambil hikmah bahwa siapapun yang mengininkan memiliki anak dan generasi yang saleh, diperlukan banyak pengorbanan. Pengorbanan dari sang ayah, ibu dan anak. 


Dalam konsep pendidikan anak, orang tua adalah pendidik yang utama dan pertama. Pertama karena merekalah yang memberikan pengajaran, pendidikan, apapun itu untuk perdana kalinya. Orang tua memberikan pengaruh dan arah bagaimana anak di masa depan. Utama, karena merekalah yang memiliki tanggung jawab, kewajiban, dan kuasa untuk menjadikan anak seperti apa. 

Masing-masing dari orang tua, harus mampu memainkan peran sesuai tugas dan fungsinya. Keduanya harus melakukan kerjasama, saling melengkapi dan memberikan kontribusi sesuai dengan kapasitas, batasan, dan ranah masing-masing. Dukungan orangtua sangat penting dalam mewujudkan keberhasilan pendidikan buah hatinya. 


Sayang masih banyak orangtua yang kurang menyadari akan perannya dalam mendukung pendidikan anak. Mereka lebih percaya dan menyerahkan sepenuhnya pada sekolah dan lembaga pendidikan lainnya. Padahal pendidik yang utama adalah orang tua. Semestinya orang tua menyadari bahwa dialah adalah gurunya anak-anak. 


Kesadaran ini penting ketika orang tua memiliki cita-cita menghadirkan anak yang saleh sebagai sebuah investasi. Ingat bahwa pendidikan adalah investasi, invetasi bukan hanya di dunia tetapi di akhirat. Mendidik dan mengasuh seorang anak sehingga menjadi pribadi yang sholeh dan sholeh merupakan salah satu keberuntungan yang besar bagi orangtua, baik di dunia maupun di akhirat.


Bagi orangtua, anak menjadi tumpuan masa tuanya. Bahkan setelah wafatnya keberadaan anak sholeh sangat berharga buat dirinya. Sehingga mendidik anak, membina akhlaknya, membesarkan dalam ketakwaaan dan kesalehan adalah kebutuhan dirinya sekaligus kewajiban dari Allah atasnya.  Ketika anak tumbuh dewasa dengan kesalehan, orangtua akan memperoleh pahala dari amal salehnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahalanya. 


Amal-amal saleh yang dikerjakan anaknya, orangtuanya akan mendapatkan pahala seperti yang didapatkan anaknya, jika orang tuanya memiliki andil menunjukkannya kepada kebaikan, membiayai pendidikannya, atau mendoakannya.  


Rasulullah SAW bersabda, “Siapa menyeru kepada petunjuk, ia mendapatkan pahalanya seperti pahala yang diperoleh orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan siapa yang menyeru kepada kesesatan, ia mendapatkan dosa seperti dosa yang didapatkan pengikutnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim).  


“Anak-anak saleh yang mendoakan kebaikan untuk orangtuanya, memintakan ampunan dan rahmat untuknya. Inilah yang paling dibutuhkan seseorang di kuburnya. Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang meninggal dunia maka (pahala) amalnya terputus kecuali 3 perkara: shodaqoh jariyah, ilmu bermanfaat, atau anak sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).


Jika orangtua tidak pernah mengarahkan anaknya menjadi baik dan tidak mengajarkan persoalan agama kepadanya, maka orangtua tidak mendapatkan pahala atas amal-amal sholeh anaknya. Karena ia tidak memiliki andil dalam kesalehan anaknya. 


Ada beberapa hal yang harus dilakukan orang tua dalam membangun generasi yang saleh yaitu, Pertama Penuhi kebutuhan pendidikan anak. Sudah menjadi tanggung jawab dan kewajiban setiap orangtua untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anaknya. Kedua, menampingi anak belajar di rumah. Anak terkadang tidak langsung memahami materi pelajaran tertentu yang ia dapat di sekolah. Sebagai orangtuanya, diharapkan dapat membantunya menuntaskan masalah tersebut. 


Ketiga, motivasi anak untuk meraih cita-citanya melalui pendidikan. Orang tua harus memotivasi anak rajin belajar dan bersekolah untuk meraih cita-cita yang diinginkannya. Keempat, ciptakan suasana nyaman dalam belajar. Ciptakan suasana rumah yang nyaman dan tenang sehingga anak dapat berkonsentrasi saat belajar, seperti kecilkan volume televisi atau matikan televisi, dan cahaya yang cukup untuk belajar.


Kelima, perhatian dan kasih sayang. Perhatian dan kasih sayang orangtua kepada anaknya sangat berperan dalam mendukung keberhasilan pendidikan anak. Keenam, menanamkan ketauhidan dan budi pekerti. Menanamkan ketauhidan dan budi pekerti tak dapat dilepaskan dari peran orangtua. Banyak nilai-nilai ketauhidan dan budi pekerti yang harus diajarkan kepada anak, seperti tidak mensekutukan Allah SWT., sopan dalam berkata, tidak berkata jorok, menyapa orang lain, menghormati dan menghargai orang lain, dan lain-lain. 


Hal ini penting ditanamkan pada diri anak sejak dini sehingga mereka bukan hanya menjadi anak yang cerdas dalam ilmu, tetapi juga cerdas dalam bersikap, cerdas dalam bersopan santun, cerdas dalam beramal, dan bertauhid. 


Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari peristiwa ibadah qurban. Sehingga kita mampu menyiapkan generasi yang sarat dengan kekuatan iman, ilmu, amal, dan akhlakul karimah. Karena meninggalkan generasi yang lemah adalah sebuah kerugian bagi orang tua dan bangsa. Allah SWT telah mengingatkan dalam firman-Nya.


وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةًۭ ضِعَـٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًۭا سَدِيدًا


Artinya: ‘’Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar’’. (QS. An-Nisa:9).


Penulis adalah Ketua Prodi PGMI IAILM Suryalaya


Opini Terbaru