Oleh KH Cep Herry Syarifuddin
Sebuah kritik sosial terhadap orang yang keislamannya baru sebatas "kulitnya" saja (formalistik), kurang memperhatikan hal-hal yang lebih penting dan inti (substansial). Hal ini tentunya sangat memprihatinkan. Idealnya setiap Muslim dapat menyandingkan kedua aspek tersebut, terutama pada penekanan aspek substansialnya tadi.
Al-Qur'an menyatakan bahwa kebaikan (al-birr) tidak cuma diwujudkan dengan (secara formalitas) menghadapkan wajah menghadap ke Timur (masjid al-Aqsho) dan Barat (masjid al-Haram), melainkan kebaikan itu diwujudkan dengan keimanan yang mantap, kepedulian sosial, anti perbudakan, istiqomah beribadah, tepat janji, dan penerapan kesabaran (Q.S.al-Baqarah: 177). Bahkan hadits shahih menyatakan bahwa Allah tidak melihat tampilan fisiknya, tapi lebih menilai niat dan hatinya (esensialnya).
Akhir-akhir ini sebagaimana prediksi Rasulullah Saw banyak umat Islam yang puas dan bangga dengan masjid yang indah dan megah, namun lupa memperhatikan kemakmuran masjid dan kesejahteraan jemaah masjidnya. Memang membangun masjid megah itu penting, namun membantu kesejahteraan jemaah masjid jauh lebih penting.
Baca Juga
Keusangan Muqaddimah Qanun Asasi
Bagaimana pun jemaah itu punya perut dan keluarga yang harus terpenuhi kebutuhan pangannya. Maka jika dana masjid yang berlebih dipergunakan untuk memberi modal bergulir kepada jemaah aktifnya yang masih menganggur atau tergolong dhu'afa (ekonomi lemah) sungguh suatu langkah strategis yang tepat.
Ironisnya, umat Islam di Indonesia itu terkadang "latah". Jika sedang musim bermegah-megahan dalam pembangunan atau renovasi masjid, maka ikut-ikutan trend tersebut. Padahal perluasan dan renovasi belum tentu benar-benar diperlukan.
Sangat disayangkan lagi, kebanyakan sekarang masjid megah itu kosong dari dzikrullah. Di antara sebabnya ialah setelah sholat mereka langsung bubar, karena menganggap dzikir ba'da sholat itu bid'ah. Tidak ada sholawatan dikumandangkan dalam rangka menunggu waktu sholat fardhu karena dianggap bising/berisik dan bid'ah.
Tidak ada pula pembacaan kitab-kitab maulid (al-Barjanzy, ad-Diba', Burdah, Syaroful Anam, Simtud Dhuror, Dhiya'ul Laami' dll) yang berisi biografi Nabi Muhammad Saw berikut sholawat dan do'a, karena lagi-lagi dituduh bid'ah.
Mereka lebih senang membangun menara dengan biaya puluhan juta sekalipun itu kurang dibutuhkan, di sisi lain kesejahteraan ustadznya kurang diperhatikan. Padahal menara itu dahulu dibutuhkan untuk memanggil shalat di zaman belum ada speaker.
Menjelang 'Idul qurban juga seringkali pengurus masjid-masjid di perkotaan saling membanggakan banyaknya hewan kurban yang dititipkan pada mereka, tanpa ingat membagi hewan kurban ke pelosok daerah yang miskin yang penduduknya jarang makan daging.
Tentunya fenomena sosial tadi mesti diperbaiki sedikit demi sedikit agar bisa mengaplikasikan ajaran Islam rahmatan lil 'alamin yang sesuai dengan tuntunan dan contoh dari Rasulullah, para sahabat dan para pengikutnya.
Penulis adalah pengasuh Pondok Pesantren Sabilurrahim Mekarsari, Bogor
Terpopuler
1
Resmi Dilantik, Lasqi Majalengka Siap Gairahkan Seni Qasidah dari Desa hingga Nasional
2
Hasil Drawing Piala AFF U-23 2025, Timnas Indonesia Satu Grup dengan Malaysia
3
Sebanyak 73 Peserta Berkumpul di Gedung SMP Ma'arif NU Nurul Hikmah Ikuti Makesta II IPNU-IPPNU Cipaku
4
Khutbah Idul Adha Basa Sunda: Kurban Janten Wujud Kapatuhan sarta Tarekah Keur Ngadeketkeun Diri ka Alloh
5
Seluruh Jamaah Indonesia Telah Tiba di Tanah Suci, Masuki Masa Persiapan Jelang Puncak Haji
6
Gelaran Khatmil Qur'an Jadi Cara SMP Fauzaniyyah Garut Warnai Syukuran Kelulusan Santri dan Siswa
Terkini
Lihat Semua