• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Opini

Menigkatkan Aspek Substansial dalam Pemahaman Keagamaan

Menigkatkan Aspek Substansial dalam Pemahaman Keagamaan
Orang sedang sholat. (Foto: Istimewa)
Orang sedang sholat. (Foto: Istimewa)

Oleh KH Cep Herry Syarifuddin

Sebuah kritik sosial terhadap orang yang keislamannya baru sebatas "kulitnya" saja (formalistik), kurang memperhatikan hal-hal yang lebih penting dan inti (substansial). Hal ini tentunya sangat memprihatinkan. Idealnya setiap Muslim dapat menyandingkan kedua aspek tersebut, terutama pada penekanan aspek substansialnya tadi. 


Al-Qur'an menyatakan bahwa kebaikan (al-birr) tidak cuma diwujudkan dengan (secara formalitas) menghadapkan wajah menghadap ke Timur (masjid al-Aqsho) dan Barat (masjid al-Haram), melainkan kebaikan itu diwujudkan dengan keimanan yang mantap, kepedulian sosial, anti perbudakan, istiqomah beribadah, tepat janji, dan penerapan kesabaran (Q.S.al-Baqarah: 177). Bahkan hadits shahih menyatakan bahwa Allah tidak melihat tampilan fisiknya, tapi lebih menilai niat dan hatinya (esensialnya).


Akhir-akhir ini sebagaimana prediksi Rasulullah Saw banyak umat Islam yang puas dan bangga dengan masjid yang indah dan megah, namun lupa memperhatikan kemakmuran masjid dan kesejahteraan jemaah masjidnya. Memang membangun masjid megah itu penting, namun membantu kesejahteraan jemaah masjid jauh lebih penting. 


Bagaimana pun jemaah itu punya perut dan keluarga yang harus terpenuhi kebutuhan pangannya. Maka jika dana masjid yang berlebih dipergunakan untuk memberi modal bergulir kepada jemaah aktifnya yang masih menganggur atau tergolong dhu'afa (ekonomi lemah) sungguh suatu langkah strategis yang tepat. 


Ironisnya, umat Islam di Indonesia itu terkadang "latah". Jika sedang musim bermegah-megahan dalam pembangunan atau renovasi masjid, maka ikut-ikutan trend tersebut. Padahal perluasan dan renovasi belum tentu benar-benar diperlukan. 


Sangat disayangkan lagi, kebanyakan sekarang masjid megah itu kosong dari dzikrullah. Di antara sebabnya ialah setelah sholat mereka langsung bubar, karena menganggap dzikir ba'da sholat itu bid'ah. Tidak ada sholawatan dikumandangkan dalam rangka menunggu waktu sholat fardhu karena dianggap bising/berisik dan bid'ah. 


Tidak ada pula pembacaan kitab-kitab maulid (al-Barjanzy, ad-Diba', Burdah, Syaroful Anam, Simtud Dhuror, Dhiya'ul Laami' dll) yang berisi biografi Nabi Muhammad Saw berikut sholawat dan do'a, karena lagi-lagi dituduh bid'ah.


Mereka lebih senang membangun menara dengan biaya puluhan juta sekalipun itu kurang dibutuhkan, di sisi lain kesejahteraan ustadznya kurang diperhatikan. Padahal menara itu dahulu dibutuhkan untuk memanggil shalat di zaman belum ada speaker.


Menjelang 'Idul qurban juga seringkali pengurus masjid-masjid di perkotaan saling membanggakan banyaknya hewan kurban yang dititipkan pada mereka, tanpa ingat membagi hewan kurban ke pelosok daerah yang miskin yang penduduknya jarang makan daging.


Tentunya fenomena sosial tadi mesti diperbaiki sedikit demi sedikit  agar bisa mengaplikasikan ajaran Islam rahmatan lil 'alamin yang sesuai dengan tuntunan dan contoh dari Rasulullah, para sahabat dan para pengikutnya.


Penulis adalah pengasuh Pondok Pesantren Sabilurrahim Mekarsari, Bogor


Editor:

Opini Terbaru