Saepuloh
Kolomnis
Oleh Saepuloh
Dalam beberapa waktu terakhir, saya menyampaikan sejumlah kritik terhadap kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan dan tata kelola anggaran daerah.
Kritik ini bukan didasarkan pada sentimen pribadi, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan sosial saya sebagai Ketua Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Jawa Barat, serta bagian dari masyarakat sipil yang memiliki kewajiban untuk mengontrol jalannya pemerintahan.
Salah satu sorotan utama adalah terbitnya Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Gubernur Nomor 30 Tahun 2024 tentang Penjabaran APBD Tahun Anggaran 2025.
Perubahan ini dilakukan tanpa melalui pembahasan dan persetujuan DPRD Jawa Barat. Ini adalah preseden buruk bagi prinsip demokrasi dan tata kelola keuangan daerah yang seharusnya transparan dan akuntabel. Legislasi anggaran tanpa keterlibatan legislatif adalah bentuk pengabaian terhadap konstitusi dan mandat rakyat.
Baca Juga
Memahami Tujuan Nahdlatul Ulama
Dalam sektor pendidikan, kebijakan pelarangan penahanan ijazah oleh sekolah swasta tanpa solusi konkret juga menjadi masalah besar. Pemerintah memaksa sekolah tidak menahan ijazah bagi siswa yang memiliki tunggakan, tetapi tidak memberikan skema bantuan atau subsidi yang memadai.
Sekolah swasta, yang selama ini menopang sistem pendidikan nasional, justru menjadi korban kebijakan populis yang tak disertai keberpihakan anggaran.
Lebih memprihatinkan lagi, anggaran pendidikan pada tahun 2025 mengalami penurunan, sementara anggaran kesenian justru meningkat drastis hampir 100 persen, dari Rp 4,4 miliar menjadi Rp 8,2 miliar sebagaimana tercatat dalam kode rekening 5.1.02.02.01.0025 pada Pergub Jabar No. 14/2025.
Kenaikan ini dilakukan tanpa persetujuan DPRD dan tanpa penjelasan komprehensif kepada publik. Sebagaimana dikemukakan Anggota DPRD Jabar, H. Maulana Yusuf, publik berhak tahu siapa penerima dana ini, kegiatan apa yang mendasarinya, dan bagaimana dasar perhitungannya.
Di tengah ketimpangan ini, Pemprov justru memunculkan program kontroversial: pengiriman siswa bermasalah ke barak militer. Program ini menuai kritik tajam dari akademisi dan lembaga negara seperti KPAI dan Komnas HAM karena tidak memiliki dasar regulasi yang jelas, tidak ada juklak dan juknis, serta tidak ada kriteria objektif siapa yang dimaksud siswa bermasalah. Bahkan, anggaran sebesar Rp 6,6 juta per siswa disebut-sebut tanpa pernah dibahas atau disepakati dengan DPRD.
Alih-alih menjawab kritik dengan dialog dan perbaikan, pemerintah malah menanggapinya dengan tantangan terbuka. Ini mencerminkan resistensi terhadap pengawasan publik dan lemahnya penghargaan terhadap mekanisme check and balances dalam demokrasi.
Tak berhenti di situ, publik kembali dibuat resah dengan wacana absurd bahwa penerima Bansos harus menjalani vasektomi. Pernyataan ini melampaui kewenangan daerah karena pengaturan terkait pengendalian kelahiran adalah urusan pemerintah pusat. Selain tidak manusiawi, wacana ini melukai hak-hak dasar warga negara dan melanggar prinsip konstitusional perlindungan sosial.
Ketika saya mulai menyuarakan kritik, seorang sahabat dari Indramayu mengingatkan: “Hati-hati, jangan menerjang ombak yang terlalu besar.” Saya paham, gelombang dukungan terhadap Kang Dedi Mulyadi (KDM) sangat besar di media sosial. Figur beliau memang populer secara elektoral dan kultural. Namun, demokrasi bukan soal popularitas, tetapi soal akuntabilitas.
Saya tetap yakin, masyarakat sipil tidak boleh bungkam. Kita harus tetap menjadi “karang” yang menghadang ombak bukan untuk menghancurkan kapal, tetapi untuk menjaga agar kapal pemerintahan tidak melenceng dari jalur konstitusi dan akal sehat. Kini, saya melihat ombak itu mulai mereda. Banyak “karang-karang kecil” bermunculan: akademisi, aktivis, tokoh masyarakat, jurnalis, hingga para guru—mereka bersuara demi keadilan dan kepentingan rakyat.
Seorang pengurus LTN NU Kabupaten Bandung bahkan mengibaratkan kritik terhadap KDM seperti Hanoman membakar Alengka dalam kisah Ramayana—bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk menyadarkan.
Akhirnya, saya ingin menegaskan: kontrol publik adalah ruh demokrasi. Ombak boleh besar, tapi negeri ini akan tetap kokoh jika masih ada karang-karang kecil yang setia menjaga nurani, akal sehat, dan arah perubahan.
Karena perubahan besar dalam sejarah selalu dimulai dari suara-suara kecil yang berani melawan arus demi kebenaran.
Penulis adalah Ketua Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Jawa Barat
Terpopuler
1
Angkatan Pertama Beasiswa Kelas Khusus Ansor Lulus di STAI Al-Masthuriyah, Belasan Kader Resmi Menyandang Gelar Sarjana
2
PBNU Serukan Penghentian Perang Iran-Israel, Dorong Jalur Diplomasi
3
Isi Kuliah Umum di Uniga, Iip D Yahya Sebut Media Harus Sajikan Informasi ‘Halal’ dan Tetap Diminati
4
Pengembangan Karakter Melalui Model Manajemen Manis
5
LD-PWNU Jawa Barat Gelar Madrasah Du'at ke-IV, Fokus Pengkaderan Da'i di Era Digital
6
Perkuat Sinergi untuk Umat, PCNU Depok Audiensi dengan Wali Kota Supian Suri
Terkini
Lihat Semua