• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Rabu, 8 Mei 2024

Opini

Menggapai Derajat Puasa Ruhani

Menggapai Derajat Puasa Ruhani
Ilustrasi (NU Online)
Ilustrasi (NU Online)

Oleh KH Sa’dulloh

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yg didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjukbagi manusia dan penjelasan2 mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan ygbathil), karena itu, Barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) dibulkan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari2  lain. Allah SWT menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petungjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Baqarah: 185)
    
Menurut para ulama, puasa Ramadhan itu dibagi tiga jenjang yang mengikuti pembagian persepuluh hari. Sepuluh hari pertama, adalah jenjang fisik (jasmani). Dimana kita masih terlibat dalam usaha menyesuaikan diri secara jasmani  kepada kebiasan baru, menyangkut makan, minum dll. Disinilah shiyam dalam arti menahan diri itu diwujudkan dalam tindakan2 lahiriah yang menjadi bidang kajian fiqih yang meliputi persoalan batal atau tidak batalnya puasa. 

Jenjang kedua, disebut sebagai jenjang nafsani (psikologis kejiwaan). Kalau pada jenjang pertama bersifat keragaan, maka disini shiyam menahan diri itu sudah sampai pada sesuatu yang bersifat nafsani, yakni menahan diri dari hawa nafsu. Secara fiqih memang tidak membatalkan puasa, misalnya membicarakan kejelekan  orang lain, marah-marah atau bermusuhan. Tetapi dalam berpuasa batinnya perbuatan itu bisa membatalkan  puasa. Di sinilah kita diingatkan oleh hadits Nabi 

“ Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan kotor dan tidak bisa meninggalkan perbuatan kotor, maka Allah tidak punya kepentingan apa apa meski orang orang itu meninggalkan makan minum” (HR. Bukhari)

Pada konteks lahiriah, melakukan perbuatan tersebut puasanya tetap dianggap sah. Tetapi dalam konteks nafsani, orang yang berpuasa seperti itu tidak mendapat hikmah apa-apa. Hal ini juga diingatkan oleh shabat Umar RA :

“Banyak sekali orang berpuasa namun tidak mendapatkan dari puasanya kecuali lapar”.

Jenjang ketiga adalah sepuluh hari terakhir Ramadhan. Jenjang ketiga ini disebut sebagai jenjang ruhani. Dalam ranah ini kita sudah memasuki sesuatu yang susah sekali diterangkan, karena memang masalah ruhani tidak ada ilmunya. Kita mengetahuinya hanya dari berita atau yang dalam bahasa Arab disebut naba’un. Dan pembawa berita itu adalah Nabi SAW. Dari Nabi kita mengetahui apa yang bisa kita peroleh dari puasa jenjang ketiga ini. Karena memang tidak bisa diterangkan. Oleh karena itu kemudian diungkapkan melalui simbol-simbol, metofor-metafor, termasuk masalah lailatul qadar. Hal itu sebenarnya adalah sebuah perlambang dari suatu capaian ruhani yang tidak bisa diterangkan. 

Lailatul Qadar (malam ketetapan) adalah suatu malam penting yang terjadi pada bulan Ramadhan, yang dalam Al-Qur’an digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Dan juga diperingati sebagai malam diturunkannya Al-Qur’an. Sebagaimana firman Nya : 

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan” (QS. Al-Qadr: 1).

Disebutkan dalam tafsir At-Thabari bahwa Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia secara utuh dalam satu kesatuan pada malam Lailatul Qadr. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oeh Ibnu Abbas bahwa Al-Qur’an diturunkan dari Lauhul Mahfudz ke langit dunia secara utuh dalam sekali waktu pada bulan Ramadhan, tepatnya pada malam Lailatul Qadr. Kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara terperinci pada saat itu selama kurang lebih 22 tahun. 

Ayat surat Al-Qadr menyatakan bahwa turunnya Al-Qur’an jelas pada malam Lailatul Qadr. Ayat surat Ad-Dukhan menguatkan turunnya AL-Qur’an pada malam yang diberkati. Dan ayat surat Al-Baqarah menunjukkan turunnya Al-Qur’an pada bulan Ramadhan. 

Sedangkan mengenai waktu terjadinya Lailatul Qadr sendiri, terdapat beberapa riwayat hadits yang menjelaskannya, diantaranya:

1.    Lailatul Qadr itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana hadits Nabi SAW:

“Carilah Lailatul Qadr pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan”(HR. Bukhari-Muslim).

2.    Kemungkinan terjadinya Lailatul Qadr dimalam-malam ganjil itu lebih besar daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi SAW dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda :

“Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya” (HR. Bukhari-Muslim).

Suatu saat, ketika Nabi SAW bersabda kepada umatnya yang tengah berkumpul di masjid menunggu-nunggu Lailatul Qadr, karena memang Nabi tidak pernah menerangkan apa yang dimaksud Lailatul Qadr dan kapan terjadinya, maka beliau hanya mengatakan” Apa yang kamu tunggu-tunggu Insya Allah malam ini datang, karena aku telah melihat dalam visi (rukyat) bahwa akan terjadi hujan lebat kemudian aku belepotan lumpur dan basah kuyup oleh air”. Kemudian umat yang berkumpul itu pun membubarkan diri. 

Pada malam itu memang terjadi hujan lebat. Karena bangunan Masjid Madinah pada zaman Nabi sangat sederhana, atapnya terbuat dari daun kurma, maka dengan sendirinya air hujan pun masuk ke lantai masjid yang terbuat dari tanah. Umat yang pada saat kejadian tersebut melihat apa yang dikatakan Nabi itu benar. Karena beliau sembahyang dalam keadaan basah kuyup. Sementara muka dan sekujur badannya berlumur tanah liat. 

Lalu apa yang dimaksud dengan Lailatul Qadar itu oleh Nabi? Karena Nabi hanya mengatakan “Itulah yang kau tunggu-tunggu”. Sekali lagi, karena memang persoalan ini adalah persoalan ruhani maka tidak ada kata-kata yang cukup untuk bisa menjelaskannya. Hal itu adalah simbol atau perlambang. Kemudian di sinilah terkandung hikmah, bahwa belepotannya Nabi dengan lumpur dan basahnya Nabi dengan air sebenarnya adalah suatu peringatan kepada kita bahwa jenjang paling tinggi dari pengalaman ruhani itu adalah kalau kita sudah kembali ke asal kita.  Dari mana kita berasal? Dari tanah dan air, sebagaimana firman-Nya:

“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani)” (QS. As-Sajdah: 7-8)

Maka dengan belepotannya Nabi oleh lumpur dan basah oleh air itu, sebenarnya merupakan simbolisme bahwa kita harus kembali menyadari siapa diri kita. Maka kita haruslah menjadi orang-orang yang rendah hati. Karena itu, sifat pertama yang disebutkan dalam Al-Qur’an tentang hamba-hamba Allah Yang Maha Kasih adalah :

“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengatakan kata-kata yang baik” (QS. Al-Furqan: 63).

Sikap menyadari siapa diri kita, akan melahirkan sikap-sikap terpuji lainnya, diantaranya:

1.    Tidak sombong (takabbur). Karena pintu surge akan tertutup rapat bagi orang-orang yang takabbur. Sebagaimana Sabda Nabi SAW :

“Tidak akan masuk Surga orang yang dalam hatinya ada seberat atom dari perasaan sombong” (HR. Muslim)

2.    Sikap Thuma’ninah (ketenangan hati). Sebagaimana firman Allah :

“Ketahuilah bahwa dengan ingat kepada Allah, maka hati akan mengalami ketenangan” (QS. Ar-Ra’du: 28)

3.    Pasrah dan berserah diri kepada Allah (salaam). Salaamah adalah ketentraman, karena kita diajari untuk pasrah kepada Allah. Dengan pasrah kepada-Nya kita menjadi aman (salam). Maka orang yang iman kepada Allah adalah orang-orang yang bakal mendapatkan ketenangan dan keamanan.

Dengan demikian apa yang dikatakan Nabi dengan simbolisme belepotan lumpur dan basah kuyup oleh air adalah bahwa kita harus kembali ke asal. Mengapa ada dorongan kita kembali ke asal? Hal ini karena memang sebenarnya kita sudah terikat perjanjian primordial dengan Allah Swt bahwa kita akan mengakui bahwa Dia adalah sebagai Rabbun(Tuhan kita).

“Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, kami bersaksi” (QS.Al-‘Araf: 172).

Karena kita mengakui bahwa Allah Rabbun, maka konsekwensinya adalah kita kemudian  harus menyembah-Nya. Pada waktu kita dalam alam ruhani, dalam perjanjian tersebut, kta menjawab” Ya, kami bersaksi”. 

Karena itu kenapa kemudian kita rindu kepada Allah Swt dan ingin kembali pulang kepada-Nya. Pulang kepada Allah itu kemudian dimulai dengan pulang ke tanah. Oleh karena itu, ketika Nabi Saw menguburkan seseorang, maka beliau bersabda. Allah berfirman :

“Dari tanah Kami ciptakan engkau, kepada tanah Kami kembalikan engkau dan dari tanah pula nanti Kami akan keluarkan engkau pada waktu lain(hari kiamat)” (HR. Ahmad)

Itulah yang harus kita cari dalam tahap ruhani puasa ini, yang kita alami melalui suatu simbolisme dari lailatul qadar. Tetapi semuanya memang harus dimulai dengan tanah dan air. Dengan kata lain, kesadaran tentang diri kita yang sesungguhnya. Sebab dengan rendah hati kita akan mencapai keikhlasan, dalam arti tidak hanya melihat diri kita sendiri sebagai orang yang selalu berbuat baik, tetapi karena perbuatan baik itu juga digerakkan oleh Allah Swt.


Opini Terbaru