• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 7 Mei 2024

Opini

Keistimewan  Puasa Ramadhan

Keistimewan  Puasa Ramadhan
Ilustrasi: NU Online
Ilustrasi: NU Online

Oleh KH Sa’dulloh 

Rukun Islam ada lima perkara. Membaca syahadat, mengerjakan shalat, membayar zakat, berpuasa dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu. Bila diperhatikan dengan seksama kelima rukun Islam tersebut bersifat positif (syatrul iktisab), kecuali puasa. Karena sesungguhnya perintah puasa adalah bersifat negatif (syatrul ijtinab), yaitu perintah untuk meninggalkan sesuatu (makan, minum, menahan nafsu dan lain-lain). Artinya, apabila syahadat harus diucapkan, shalat harus dikerjakan, zakat harus ditunaikan, haji harus dilaksanakan, maka  puasa harus menahan segala hal yang membatalkannya. Inilah satu keistimewaan ibadah puasa dibandingkan dengan ibadah lainnya.

Sesungguhnya ibadah dalam konteks pencegahan jauh lebih berat dibandingkan dengan ibadah yang bersifat melaksanakan. Menjadi pedagang adalah hal yang gampang, tetapi berdagang tanpa unsure tipu dan bohong bukan pekerjaan yang gampang. Menjadi pejabat adalah hal yang sulit, tetapi lebih sulit lagi menjadi pejabat yang tidak korup. Berkumpul di majlis ta’lim untuk mengaji bukanlah hal yang berat, tetapi berkumpul tanpa menggunjing adalah sesuatu yang berat.

Bagaimana bahagianya kita ketika melihat anak kita berhasil berjalan sendiri, setelah beberapa bulan belajar merangkak titah-titah. Tetapi setelah ia lancar berjalan, alangkah susahnya memperingatkan ia agar tidak lari-larian di rumah dan di jalanan.

Semua itu menunjukkan betapa sulitnya menghindar dari larangan dibandingkan dengan melaksanakan perintah. Oleh karena itu dalam kitabnya Minhajul Abidin, Imam Ghazali mengatakan bahwa:

Ada dua sisi dalam ibadah puasa.  Pertama sisi pelaksanaan (syatrul iktisab), dan kedua sisi larangan (syatrul ijtinab).  Sisi pelaksanaan adalah melaksanakan berbagai perintah Allah inilah makna tha’at. Sedangkan sisi larangan  adalah mencegah berbuat maksiat dan keburukan inilah arti taqwa. Sisi larangan ini jauh lebih mulia, lebih utama, lebih baik dibandingkan dengan sisi pelaksanaan.

Puasa sebagai bentuk ibadah yang mengandung syatrul ijtinab memiliki kemuliaan dan keistimewaan dibandingkan dengan ibadah lain. Karena ibadah puasa didominasi dengan berbagai larangan. Larangan makan, minum, nafsu dan lain sebagainya. Malah dengan bahasa Imam al-Ghazali puasa dapat digolongkan sebagai ibadah tingkat tinggi. Hal ini wajar, karena sesungguhnya puasa melatih seorang hamba mengendalikan musuh bebuyutan yaitu nafsu.

Jika puasa hanya menahan makan, minum dan tidak bersetubuh dengan lain jenis, maka itu seperti puasanya burung dara. Burung dara yang kita masukkan ke dalam sangkar sendirian tanpa makan dan minum dari fajar sampai menjelang malam, maka burung dara itupun telah berpuasa. Apakah kita ingin kwalitas puasa kita seperti burung darang, atau kambing misalkan. Tentu tidak.

Latihan mengendalikan nafsu adalah latihan membersihkan hati dari berbagai penyakit. Mulai dari iri, dengki, hasud, thoma’, ujub, riya’ dan sum’ah. Semua itu adanya dalam hati, dan kita sebagai seorang hamba harus membiasakan diri mengendalikan mereka. Dengan bantuan perut lapar, haus, badan lemas dan mata terkekang. Sungguh berat latihan ini akan tetapi jika berhasil, Allah telah menjanjikan hadiah besar yang belum pernah terbayangkan.

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan: "Setiap amal perbuatan anak Adam - yakni manusia itu, yang berupa kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya dengan sepuluh kalinya sehingga tujuh ratus kali lipatnya. "Allah Ta'ala berfirman: "Melainkan puasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku akan memberikan balasannya. Orang yang berpuasa itu meninggalkan kesyahwatannya, juga makanannya semata-mata karena ketaatannya pada perintah-Ku. Seseorang yang berpuasa itu mempunyai dua macam kegembiraan, sekali kegembiraan di waktu berbukanya dan sekali lagi kegembiraan di waktu menemui Tuhannya. Niscayalah bau bacin mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi"

Dengan kata lain Allah ingin menegaskan bahwa pahala puasa adalah urusan-Ku, jadi tidak perlu mengkhawatirkannya. Pahala puasa tidak dapat dibayangkan besarnya, jika shalat jama’ah dilipatkan 27 kali, jika amal lain dilipatkan sekian ratus kali, khusus untuk puasa Allah hanya akan memberikan sesuatu yang lain, yang jauh lebih besar dari hitung-hitungan semcam itu.

Barang siapa yang ingin bertaqwa kepada Allah swt, maka ia harus merasa takut akan neraka yang disediakan oleh-Nya untuk para pendosa. Dan barang siapa yang takut kepada ancaman siksa-Nya, secara otomatis ia akan menjauhi hal-hal yang dapat menariknya ke neraka. Karena setiap mereka yang takut pasti akan lari menjauh, dan siapa yang cinta pasti akan datang mendekat. Sebagai mana seorang yang takut akan ular, pasti akan menghindari ular. Siapa yang takut dengan singa pasti menjauh dari singa. Dan begitulah sebaliknya barang siapa yang mencintai keluarganya, ia pasti ingin selalu dekat dengan keluarganya. Barang siapa mencintai kekasihnya, tak mau ia jauh sedikitpun darinya. 

Penulis adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikamussalafiyah Sumedang, Ketua PCNU Sumedang


Opini Terbaru