• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Opini

Mengapa Pelajaran Sejarah Tidak Menarik?

Mengapa Pelajaran Sejarah Tidak Menarik?
Ilustrasi materi sejarah Indonesia masa depan yang lebih memenuhi kebutuhan kekinian, seperti makanan, pakaian, pertanian. (Desain: M Iqbal)
Ilustrasi materi sejarah Indonesia masa depan yang lebih memenuhi kebutuhan kekinian, seperti makanan, pakaian, pertanian. (Desain: M Iqbal)

Oleh Amin Mudzakkir

Mungkin sekarang kita saatnya berbicara lebih terbuka mengenai soal ini. Mengapa pelajaran sejarah di Indonesia terasa tidak menarik? Apakah karena gurunya kurang menguasai materi yang diajarkan atau karena hal lain? 

Menurut saya persoalannya bukan sekadar guru. Lebih dari itu, pelajaran sejarah tidak menarik karena sejak awal ia diposisikan sebagai pelayan nasionalisme. Pelajaran sejarah Indonesia berarti pelajaran nasionalisme Indonesia. 

Lalu apa salahnya dengan nasionalisme Indonesia? Pada dasarnya tidak salah. Namun karena pemahamannya sangat sempit, nasionalisme menjadi moralistik. Makanya pelajaran sejarah di Indonesia hampir tidak ada bedanya dengan pelajaran moral Pancasila atau bahkan agama. 

Masalahnya lagi, moral yang dijadikan dasar adalah moralnya penguasa, yaitu para priayi yang pada dasarnya pro-kemapanan. Mereka tidak suka dengan gagasan yang bisa mengganggu itu. Makanya, komunisme dan Islam politik tidak pernah masuk dalam buku resmi pelajaran sejarah Indonesia. Anak-anak kita tidak tahu apa itu apa PKI, tetapi juga tidak paham apa itu Masyumi dan Darul Islam. Mereka bahkan juga tidak mengerti apa dan bagaimana pesantren di masa lalu. 

Ketika kemarin muncul berita yang menyebutkan pemerintah konon akan menjadikan sejarah sebagai pelajaran pilihan, reaksi yang muncul pun sangat moralistik: bagaimana nanti karakter anak muda kita? Apakah nanti mereka masih mempunyai rasa kebangsaan atau tidak? Dan seterusnya, dan semacamnya.

Jadi, pertanyaannya bukan apakah pelajaran sejarah harus tetap dipertahankan atau tidak, tetapi harus diubah! Sejarah tidak harus melulu tentang kapan Boedi Oetomo didirikan atau Sumpah Pemuda diucapkan, tetapi bisa juga hal-hal lain yang lebih relevan bagi kebutuhan kita sekarang. Misalnya sejarah makanan atau sejarah pakaian. Mengapa topik-topik seperti ini tidak pernah diberi kesempatan untuk diperbincangkan di ruang-ruang kelas sekolah kita?

Penulis adalah Sejarawan dan Peneliti LIPI.
 


Editor:

Opini Terbaru