• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 30 April 2024

Opini

Mengapa Mudik Begitu Mentradisi? Simak Penjelasan Prof Jakob Sumardjo 

Mengapa Mudik Begitu Mentradisi? Simak Penjelasan Prof Jakob Sumardjo 
Mengapa Mudik Begitu Mentradisi? Simak Penjelasan Prof Jakob Sumardjo 
Mengapa Mudik Begitu Mentradisi? Simak Penjelasan Prof Jakob Sumardjo 

Di zaman purba Indonesia ada upacara setiap tahun yang bermakna manunggal dengan nenek moyang sebuah komunitas. Sisa upacara demikian masih lestari pada masyarakat yang masih memegang teguh prinsip primordial. Upacara itu misalnya tertuang dalam bentuk ritual seperti bersih desa, ngalaksa, seren tahun, ngarot, dan banyak lagi.


Dalam upacara-upacara semacam itu dilakukan penyatuan manusia sebagai mikrokosmos dengan alam sebagai makrokosmos dan arwah nenek moyang berupa mitos-mitos metakosmos. 


Rangkaian upacaranya dimulai dari mandi bersama (bersih badan), pantang dan puasa, ziarah kubur, menyaksikan seni pertunjukan yang mementaskan kisah mitologi nenek moyang pendiri wilayah atau kampung, dan diakhiri dengan makan bersama atau kenduri. Tempatnya bisa di tanah Iapang, di balai desa, di leuwi, di mata air, atau di kuburan desa. Dalam upacara-upacara tahunan semacam itulah seluruh penduduk kampung kumpul bersama, tidak mengenal usia, tua atau muda begitupun anak-anak. 


Upacara menyatukan diri dari seluruh penduduk kampung antara makrokosmos dan metakosmos ini dapat bermakna sangkan paraning dumadi, mulih ka jati mulang ka asal, atau kembali menyatu dengan yang asal. Kembali ke Indung asal kehidupan ini. Kembali ke Sang Pencipta dengan seluruh warga yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Dan memikirkan akan kemana hidup ini setelah mati.


Ketika agama Islam dipeluk oleh bangsa Indonesia, sisa ritual primordial itu tidak dilenyapkan dan masih lestari karena sudah merupakan bagian dari arketip budayanya. Kalau tidak dilakukan, mereka menganggap ada yang hilang dari bagian dirinya sebagai manusia berkelompok. Pedanan (kelanjutan) dari itu adalah bulan Puasa bagi umat Islam, atau puncaknya pada hari lebaran. 


Tradisi manusia Indonesia untuk nyekar atau menebar bunga di kuburan nenek moyang, mandi bersama di pantai atau  di sungai desa, saling mengirim makanan di antara sanak keluarga, tetangga dan handai taulan yang semua itu dilakukan sebelum bulan Puasa dan setelahnya (lebaran) adalah inkulturasi Islam terhadap budaya Indonesia sebelumnya. 


Prof Jakob Sumardjo dalam buku “Sunda Pola Rasionalitas Budaya” (Kelir, 2015) menyebutkan inti mudik adalah bersih desa itu sendiri yang merupakan peristiwa metafisik melalui perbuatan- perbuatan fisikal nyata. Kalau dalam upacara bersih desa selalu ada pertunjukan yang mementaskan cerita mitologi nenek moyang, maka dalam Islam di bulan puasa yakni adanya tarawih yang intinya tetap sama, yaitu mengkaji Kitab Suci dan Sabda Nabi.


Tradisi mudik amat menggejala pada masyarakat yang dulunya hidup bersawah. Orang sawah selalu merupakan kumpulan manusia masal. Makin luas daerah sawah, maka semakin banyak manusia yang harus dibutuhkan. Semboyannya yaitu ‘banyak anak banyak rezeki’. Tidak  mengherankan jika upacara semacam bersih desa itu banyak mengundang penduduk desa yang sudah tersebar sebagai kaum urban yang setiap tahun harus mudik kembali ke desanya, berkumpul kembali bersama dengan seluruh penduduk desa dan seluruh arwah nenek moyang. Oleh karena itulah ziarah kubur menjelang puasa atau lebaran selalu dilakukan.


Pada waktu mudik lebaran, semua kendaraan darat maupun laut penuh dengan para pemudik. Mereka inilah kaum menengah ke bawah yang masih kuat naluri tradisionalnya. Mereka inilah yang tak mau kehilangan momen penting dalam seluruh hidupnya selama setahun untuk berkumpul dengan penduduk desa yang lain, sanak saudara, orang-orang tua, bersama kuburan keramat dan kuburan kakek nenek atau ayah ibu. 


Ibaratnya, gaji satu tahun habis digunakan buat mudik tidak apa, asal bisa kembali ke kampung halaman, ke indung ke asal muasal kehadiran dirinya di dunia ini. Berdesak-desakan dalam kereta atau bus tidak menjadi masalah, mereka tetap gembira ria saja. Sesampai di kampung halaman seandainya harus tidur berjubel dalam kamar yang sempit juga tidak masalah, malah merupakan suatu kegembiraan tersendiri. 


Kaum menengah-atas yang sudah terlalu berbudaya global tentu tak akan memperoleh dan merasakan apa-apa dari peristiwa mudik. Menurut mereka, untuk apa? Sehingga harus berdesak-desakan bersama para pembantu dan pegawai-pegawai kecil dengan armada keluarganya naik bus atau kereta untuk pulang kampung. Bagi mereka, pulang menengok orang tua dapat dilakuk kapan saja, tidak usah di waktu menjelang puasa dan lebaran, apalagi harus membagi-bagikan uang di kampung kepada sanak saudara atau kerabat-kerabat di desa.


Padahal tidak demikian. Sejatinya ada arketip budaya dalam peristiwa mudik. Mudik adalah peristiwa metafisik, peristiwa spiritual. Nilainya tidak dapat diukur dengan keluarnya banyak uang meskipun terkadang harus mengutang ke sana ke mari. Bagi yang melakukan mudik, harta dapat dicari, tetapi berkah rohani spiritual mudik tidak bisa dibeli. 


Demikianlah inti mudik, sehingga menjadi sebuah tradisi yang begitu mengakar di kehidupan masyarakat Indonesia. Wallahu’alam.


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut. (Ditulis berdasarkan artikel dari Prof. Jakob Sumardjo dengan penambahan beberapa redaksi)


Opini Terbaru