• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 30 April 2024

Opini

Lebaran, antara Sakral dan Profan

Lebaran, antara Sakral dan Profan
(Ilustrasi: NU Online Jabar).
(Ilustrasi: NU Online Jabar).

Nurcholish Madjid dalam buku Pintu-Pintu Menuju Tuhan (1995: 146) mengatakan bahwa Lebaran seperti siklus yang setiap masa tertentu datang. Justru karena ada sifat siklus itulah maka hari raya disebut Id, yang artinya "berulang" atau "putaran". Sama dengan adat ('adatun) yang dinamakan begitu karena dilakukan berulang-ulang. Oleh karena itu maka Lebaran disebut Id karena ia selalu datang dan kembali secara berulang-ulang. 


Jika Lebaran atau Id dimaknai sebagai sesuatu yang berulang-ulang, maka tentu ia menjadi sesuatu yang sakral. Waktu sakral adalah waktu yang bersifat religius, suci, kudus, suatu kondisional yang disertai dengan ritus-ritus yang baku, tidak bisa dirubah, tektualis dan qath'i. 


Karena sakral, maka Lebaran atau Id sama halnya seperti ritual, sesuatu yang memberikan pengalaman atau pengetahuan yang berulang-ulang yang telah dan harus dilakukan secara terus menerus dan ditandai dengan sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dan agung.  


Sesuatu yang sakral tidak berdiri sendiri, yakni dibangun melalui struktur-struktur penyangganya. Lebaran atau Id tidak akan terjadi kecuali didahului dengan puasa (QS al-Baqarah [2]: 183), pengamatan bulan baru (al-Hadis ), pengagungan kepada Allah SWT (QS al-Baqarah [2]: 185), dan disertai dengan shalat Id. 


Oleh karena itulah Lebaran atau Id merupakan sebuah ritual yang sakral sebagaimana halnya shalat. Sesuatu disebut ritual yang sakral harus memenuhi syarat-syarat tertentu, baik secara waktu maupun tata pelaksanaannya. 


Hal demikian mengingatkan saya pada Mircea Eliade (2002:18;14) terkait sakral. Pintu sakral-profan merupakan ambang pintu yang memisahkan dua ruang yang mengindikasikan jarak antara dua lapis realitas yang profan dan yang sakral (religius).


Ambang pintu itu adalah batas. Pemisah serta sekat yang membedakan dan mempertentangkan dua dunia yang bersifat paradoksal tempat kedua dunia tersebut berkomunikasi yang memungkinkan membangun lorong dari yang profan menuju yang sakral. Ruang sakral itu memiliki nilai entitas bagi manusia religius karena tidak ada yang dapat memulai dan tidak ada yang dapat melakukan tanpa adanya orientasi atau tujuan. 


Karena menjadi sesuatu ritual yang sakral, seseorang yang melewati Lebaran atau Id setidaknya akan mendapatkan pengalaman yang berdampak baginya. Terlebih bagi mereka yang mampu merayakannya dengan disertai persiapan-persiapan yang matang sebelumnya dan sesudahnya, maka ia akan lahir sebagai insan yang bersih dari dosa dan kesalahan. 


Namun bagi mereka yang melewati Lebaran atau Id tanpa memperdulikan kesakralannya, mencampakannya, menjalaninya dengan berlalu begitu saja, berarti ia hanya mampu merayakan sebatas lahiriahnya saja. Mereka yang demikian itu hanya mengalami Lebaran atau Id sebatas formalitas fisik yang hampa akan nilai, sehingga dalam menjalani waktu-waktu berikutnya belum memiliki amunisi yang berarti untuk dijalankan. 


Alhasil kita berharap Lebaran atau Id yang telah kita jalani, kita lewati, memberikan dampak terbaik. Bukan hanya bagi diri kita sendiri, melainkan juga bagi orang-orang disekitar kita. Kita tidak ingin, apa yang pernah kita lakukan di bulan Ramadhan hanya berlalu begitu saja tanpa membekas dikemudian hari.


"Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali..." (QS an-Nahl [16]: 92). 


Semoga!


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga pendidik


Opini Terbaru