• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Opini

Krisis Udara

Krisis Udara
Krisis Udara
Krisis Udara

Udara itu anugerah ilahi. gratis, tidak bayar. Kualitas hidup kita ditentukan oleh kualitas udara yang kita hirup dan hembuskan.


Begitu banyak anak dan lansia yang kini sakit akibat kualitas udara yang buruk di Jakarta. Bagaikan kota padat lainnya seperti Beijing, Lahore dan New Delhi, polusi di Jakarta belakangan ini sudah masuk kategori tidak sehat. Seolah yang dihirup dan masuk ke paru-paru kita adalah racun.


Berbeda dengan Covid yang bisa dilakukan lockdown per area atau pembatasan sosial berskala besar, polusi udara ini sulit diisolir. Arah angin bisa menentukan kemana “racun” bergerak, dan seolah kebijakan pemerintah menjadi tumpul. Bahkan saat weekend pun (dimana asumsinya orang tidak banyak bekerja di luar rumah) kualitas udara tetap memburuk.


Kita sedang meracuni anak bangsa sendiri dalam jangka panjang dengan kualitas udara sejelek ini. Seolah negara tidak hadir untuk menangani masalah akut ini dengan cepat dan konkrit. Atau memang gak ada solusi instan dari akumulasi ketidakbecusan pemerintah selama ini menangani kualitas udara kita?


Repotnya lagi, urusan polusi ini kalah ramai dari urusan makan kerupuk Babi atau selebgram dengan aksi makan es krim “joroknya” itu.


Ormas Islam bagai mati gaya. Gak ada fatwa yang keluar soal polusi. Kehadiran seorang Wali dari Tarim baru-baru ini juga tidak dimanfaatkan bicara soal polusi ini, kita masih sibuk bicara ritual & kesalehan individual.


Tidak ada mahasiswa yang berdemonstrasi soal polusi udara. Kampus sibuk menyiapkan diri buat debat kandidat Capres.


Padahal nasib anak bangsa tengah dipertaruhkan. Tolong para ekonom hitung kerugian bangsa ini akibat kualitas udara yang buruk. Tolong ahli kesehatan masyarakat juga hitung dampak jangka pendek dan panjangnya untuk bangsa kita. Kasihan para ibu yg harus bergadang menjaga anak-anak yang sakit akibat polusi ini.


Dan percayalah, kalau kalian kini selfie dengan latar belakang langit biru, itu pasti bukan di Jakarta. Para pejabat negara yang sering studi banding ke luar negeri juga tahu kok. Tapi ya gitu deh.


Menyedihkan. Intoleransi pada sesama heboh, tapi intoleransi pada semesta, diam semua.


Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCINU Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School


Opini Terbaru