• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

Koreksi Mispersepsi Kemiskinan dalam Islam

Koreksi Mispersepsi Kemiskinan dalam Islam
Koreksi Mispersepsi Kemiskinan dalam Islam. (Ilustrasi/NU Online)
Koreksi Mispersepsi Kemiskinan dalam Islam. (Ilustrasi/NU Online)

Oleh Cep Herry Syarifudin

Ada sebagian akademisi mempertanyakan mengapa banyak umat Islam yang miskin? Sebenarnya Islam tidak memandang kemiskinan sebagai suatu hal yang negatif. Sejatinya kemiskinan itu sunnatullah yang harus ada untuk keseimbangan. Diciptakan kaya dan miskin adalah untuk saling mendukung, bantu membantu (Q.S.az-Zukhruf : 32); bukan untuk memperlebar jurang kesenjangan sosial. Tidak akan ada yang disebut kaya kalau tidak ada yang miskin.

 

Dalam sejarah Islam klasik, kendati sebagian sahabat Nabi hidup miskin, tapi mereka tidak mencontohkan hidup malas dan meminta-minta. Mereka termotivasi untuk menjaga harga dirinya dengan bekerja keras, jujur dan mencari rezeki halal walaupun dengan mencari kayu bakar, mereka jalani dengan ikhlas, qonaah (menerima apa adanya) serta memiliki jiwa sosial dan kebersamaan yang tinggi. Tidak jarang mereka mensedekahkan sebagian hasil usaha mereka untuk menolong sesama yang menderita. 

 

Bahkan saat ada yang menawari masakan sop daging, mereka tidak rakus, seraya menyarankan untuk memberikannya kepada seorang shohabiyah (sahabat wanita) yang menyantuni beberapa anak yatim. Dan ternyata ia pun menolak saat ditawari masakan tersebut karena anak-anak asuhnya, karena sudah makan pula. Ketika disuruh disimpan saja untuk besok, ia balik bertanya: "Apakah Anda berani menjamin bahwa mereka masih hidup semua esok hari?".

 

Paradigma berpikir generasi awal Islam (sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in) tentang kemiskinan adalah bukan terfokus pada kekurangan harta, tapi kepada faqr ilallah (butuh kepada ALLAH), butuh rahmat, ampunan dan ridho Tuhan. Prinsip ketawakkalan mereka itu sungguh luar biasa, meniru ketawakkalan burung yang tidak pernah menyimpan makanan berlebih untuk keesokan hari. Di mana setiap ada kesempatan keesok harinya, mereka berjuang mencari karunia Allah dengan penuh antusias seperti singa lapar, sedangkan di malam harinya mereka curahkan untuk beribadah (ruhbaniyyatun fil lail wa asadun fin nahar).

 

Bagi mereka, kemiskinan itu bukanlah dianggap takdir buruk, atau suatu kehinaan. Justru kemiskinan itu dinikmati sebagai sebuah keringanan beban saat hari pertanggungjawaban kelak di hari kiamat. Di mana mereka nanti tidak banyak ditanya tentang dari mana suatu kekayaan itu didapat dan kemana penyalurannya. Mereka boleh miskin harta, tapi tidak boleh miskin ilmu, miskin amal dan miskin akhlaq. Mati dalam kemiskinan pun tidak mereka sesali, asalkan bukan mati dalam kemaksiatan (su'ul khotimah). Disitulah baru dianggap sebagai suatu kehinaan dan kerugian sebesar-besarnya.

 

Fenomena lain yang bisa dipetik dari kehidupan para sahabat yang miskin adalah tidak sedikit di antara mereka menjadi orang yang kaya karena semangat bersedekah, menebar kepedulian sosial yang begitu besar. Sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw bahwa sedekah itu tidak akan mengurangi harta seseorang bahkan akan semakin melipatgandakan bahkan akan semakin melipatgandakan harta dan memberkahkan rezekinya.

 

Sudah sepantasnya dan seharusnya umat Islam masa kini yang hidup dalam garis kemiskinan mewarisi paradigma dan etos kerja para generasi awal Islam yang sangat indah dan luarbiasa dalam memaknai kemiskinan. Berawal dari titik kesadaran inilah maka umat Islam pasti bisa melangkah lebih maju, bermartabat serta harmonisasi kehidupan sosial akan terwujud secara nyata.

 

Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Sabilurrahim Mekarsari Cileungsi Bogor


Editor:

Opini Terbaru