• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Opini

KOLOM KANG IQBAL

Konflik Israel-Palestina Tidak Bisa Direduksi Sebagai Konflik Agama

Konflik Israel-Palestina Tidak Bisa Direduksi Sebagai Konflik Agama
Konflik Israel-Palestina Tidak Bisa Direduksi Sebagai Konflik Agama
Konflik Israel-Palestina Tidak Bisa Direduksi Sebagai Konflik Agama

Korban semakin banyak berjatuhan dalam konflik Israel-Hamas dalam dua minggu ini. Terakhir, sekitar 500 orang Palestina di Gaza dilaporkan meninggal akibat serangan roket Israel atas rumah sakit Al Ahli Al Arabi, yang dikelola oleh Gereja Episcopal Yerusalem (https://www.reuters.com/world/middle-east/snapshot-israel-hamas-war-latest-news-2023-10-18/). Sebelumnya, dilaporkan sebanyak 1400 orang meninggal dari pihak Israel dan sekitar 3000 orang tewas dari pihak Palestina di Gaza (https://edition.cnn.com/2023/10/16/middleeast/israel-hamas-gaza-war-explained-week-2-mime-intl/index.html).


Merespon konflik Israel-Palestina ini, banyak orang yang melihatnya sebagai konflik agama, yakni Islam vs Yahudi. Bagaimana seharusnya kita memandang konflik berkepanjangan sejak 1947 ini?


Konflik Israel-Palestina adalah masalah yang kompleks dan beragam yang tidak dapat secara sederhana direduksi menjadi konflik agama, meskipun agama memainkan peran penting dalam konteks keseluruhan. Penting untuk memahami bahwa konflik berakar dalam faktor-faktor historis, politik, sosial, dan teritorial, menjadikannya kontroversi nuansa dan berkelanjutan.


Agama tidak diragukan lagi berperan dalam konflik Israel-Palestina, terutama melalui identitas agama dari dua kelompok utama yang terlibat: Yahudi dan Muslim. Kedua kelompok memiliki ikatan sejarah dan agama dengan tanah, yang telah berkontribusi pada intensitas konflik. Yerusalem, khususnya, adalah kota dengan signifikansi agama yang besar bagi orang Yahudi, Muslim, dan Kristen, dan kendali atas situs-situs agama di dalam kota telah menjadi sumber kontroversi.


Namun, penting untuk menekankan bahwa konflik tidak semata-mata agama. Ini pada dasarnya adalah perselisihan teritorial tentang tanah, sumber daya, dan kemerdekaan. Konflik ini memiliki akarnya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika imigran Yahudi mulai kembali ke wilayah itu, kemudian bagian dari Kekaisaran Ottoman, dan kemudian di bawah mandat Inggris, dengan tujuan membangun tanah air Yahudi. Gerakan ini, yang dikenal sebagai Zionisme, didorong oleh ikatan bersejarah Yahudi dengan daerah itu dan keinginan untuk tempat yang aman setelah berabad-abad mengalami penganiayaan dan diaspora di berbagai negara.


Pada sisi Palestina, konflik juga berakar dalam konteks historis dan politik. Populasi Arab Palestina yang tinggal di wilayah ini selama beberapa generasi telah berusaha untuk menentukan diri dan kemerdekaan di hadapan penjajah Yahudi yang datang. Perjuangan mereka untuk kewarganegaraan telah ditandai dengan perlawanan dan konflik.


Dimensi geopolitik konflik lebih mempersulit situasi. Ini telah menarik negara-negara tetangga, kekuatan regional dan internasional, dan berbagai aktor non-pemerintah untuk terlibat dalam konflik Israel-Palestina. Aktor-aktor ini memiliki kepentingan strategis, politik, dan ekonomi mereka sendiri di wilayah ini, yang telah berkontribusi pada semakin rumitnya konflik ini.


Selain itu, konflik Israel-Palestina telah berevolusi dari waktu ke waktu, dengan perubahan keadaan dan perubahan dinamika. Pertikaian politik, perbatasan, kekhawatiran keamanan, dan faktor-faktor lain telah mengambil alih atas isu-isu semata-mata agama. Konflik ini ditandai dengan negosiasi politik, masalah ekonomi, dan identitas nasional yang bersaing sama seperti perbedaan agama.


Ide membingkai konflik Israel-Palestina sebagai konflik semata-mata agama terlalu menyederhanakan masalah yang dipertaruhkan dan menghalangi pencarian penyelesaian damai bagi kedua pihak. Mereduksi konflik ini menjadi konflik agama mengabaikan pentingnya memahami dan menangani aspek-aspek politik, sosial, dan sejarah yang mendalam dari perselisihan. 


Sangat penting untuk mengakui sifat beragam konflik ini dan bekerja menuju penyelesaian komprehensif yang memberikan dan menjaga hak-hak dan kewajiban yang sah dari kedua bangsa, Israel dan Palestina. Mengakui kompleksitas situasi adalah langkah pertama menuju menemukan solusi yang berkelanjutan dan adil yang dapat membawa perdamaian dan stabilitas ke wilayah ini.


Asep Muhamad Iqbal, Direktur Centre for Asian Social Science Research (CASSR)


Opini Terbaru