Khaibar adalah suatu daerah pertanian yang berada sekitar 160 km sebelah utara Madinah. Daerah ini terkenal subur dan memiliki banyak sumber air sehingga menghasilkan perkebunan buah-buahan yang melimpah ruah, khususnya buah kurma. Daerah ini, banyak dihuni oleh orang Yahudi dan sebagian kecil orang Arab.
Saat pertama kali Nabi Muhamad menginjakkan kaki di kota Madinah, hubungan antara pengikut Nabi dengan masyarakat Khaibar memang tidak selamanya berjalan mulus dan untuk menjaga stabilitas kota Madinah, maka dibuatlah berbagai kesepakatan.
Suatu waktu terjadi banyak pengkhianatan masyarakat Khaibar dan cenderung menghasut masyarakat Madinah untuk melakukan perlawanan kepada Nabi Muhammad.
Pada awal tahun 7 Hijrah, di pertengahan bulan Muharram, Nabi Muhammad memutuskan untuk menguasai Khaibar demi menjaga keamanan dan kestabilan Madinah, setelah didapatkan informasi bahwa para petinggi penduduk Khaibar, bersekongkol dengan musyrik Mekah dan menghasut masyarakat untuk memusuhi Nabi.
Kemenangan pasukan Nabi sendiri diraih pada bulan Safar. Peperangan terjadi setelah terbangun Perjanjian Hudaibiyah antara Nabi Muhammad saw dan musyrikin Makkah.
Baca Juga
Etika dalam Program Makan Bergizi Gratis
Setelah pasukan Nabi menguasai Khaibar, penduduk kota Khaibar-pun mengakui kekalahan dan mengajukan kesepakatan damai dengan meminta Nabi Muhammad tidak mengusir mereka.
Lalu Nabi Muhamad menyetujui upaya damai dengan tidak mengusir penduduk Khaibar tersebut. Kemudian dibuat sebuah kesepakatan khusus yaitu menyerahkan pengelolaan tanah khaibar oleh penduduknya agar bisa dirawat dan dihijaukan menjadi perkebunan kurma. Apa yang dilakukan Nabi pada peristiwa khaibar diatas, tentunya selaras dengan ucapan beliau sebagai berikut :
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api. Harga (menjual-belikan nya) adalah haram." (HR Abu Dawud).
Dalam ungkapan Nabi tersebut, Muslim dianjurkan berserikat dengan siapapun dalam tiga hal yaitu air, rumput, dan api. Rumput adalah simbol penghijauan untuk keterjaminan oksigen/udara yang bersih , dan api adalah simbol ketersediaan energi. Ketiga hal tersebut (air jernih, udara bersih, kecukupan energi) adalah kebutuhan utama semua umat manusia apapun latar belakang identitasnya.
Pemahaman kita selama ini, terkait peristiwa khaibar hanya sekedar pertempuran Nabi Muhammad menakklukan Khaibar yang didominasi oleh kaum Yahudi. Kita jarang mengkaji kesepakatan damai Nabi Muhammad dengan penduduk Khaibar dalam melestarikan alam, dalam hal ini upaya menghidupkan tanah kosong untuk dijadikan lahan perkebunan kurma
Rasulullah bukan hanya menyerahkan pengelolaan lahan, tetapi juga memberikan benih kurma untuk dirawat dan dikelola secara baik. Dalam isi kesepakatan antara Nabi dan penduduk Khaibar, bahwa keuntungan dari hasil pengelolaan lahan dibagi dua, yang mana sebagian diberikan kepada kaum muslimin sebagai pemilik lahan, dan separuhnya lagi untuk penduduk setempat, asalkan mereka yang memodali sendiri dalam biaya pengelolaan dan peralatan lahan.
Kesepakatan dan transaksi tersebut, dikenal dengan nama transaksi musaqah. Arti dari musaqah sendiri adalah menyirami, yang mana Nabi memberikan tanggung jawab kepada kaum Yahudi Khaibar untuk menyirami benih kurma, sebagai upaya pemeliharaan.
Sungguh menarik, untuk memahami lebih jauh peristiwa kesepakatan musaqah tersebut. Pada saat kaum Yahudi Khaibar menyerah dan menginginkan diplomasi damai, Nabi menyepakatinya dengan kerja-sama memelihara lingkungan yang memberikan kebaikan dan kemaslahatan kedua belah pihak, baik secara lingkungan maupun ekonomi.
Hal lain yang perlu kita pahami secara baik pada akad musaqah tersebut, bahwa Nabi telah berhasil menghilangkan perbudakan. Nabi memperlakukan penduduk Khaibar dalam mengelola perkebunan kurma, bukan dengan pola buruh dan majikan, walaupun hal tersebut sangat mungkin dilakukan Nabi sebagai penguasa kala itu.
Akan tetapi dengan kemulian pribadinya, Nabi menerapkan sebuah pola kerja sama bagi hasil yang mana keuntungan maupun kerugian adalah tanggung jawab bersama. Sebuah bentuk kerja sama yang adil, setara dan saling membantu (ta'awun) satu sama lain, baik dalam keadaan lapang, maupun jika mengalami resiko kegagalan.
Baca Juga
Apa yang Mau Kita Bandingkan?
Hal ini sesuai dengan kutipan Al Quran, Surat Al Maidah ayat 2 sebagai berikut:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
wa ta‘âwanû ‘alal-birri wat-taqwâ wa lâ ta‘âwanû ‘alal-itsmi wal-‘udwâni wattaqullâh, innallâha syadîdul-‘iqâb.
"Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya."
Para Ahli Tafsir menjelaskan ayat tersebut, bahwa ta'awun (tolong menolong) dalam kebaikan dan takwa dibedakan berdasarkan tujuannya. Al Birr bertujuan untuk mendapat kerelaan sesama manusia, adapun At Taqwa untuk mendapat ridho Tuhan.
Walaupun memiliki tujuan yang berbeda, tetapi antara berbuat baik kepada sesama manusia dengan upaya mencapai ridho Tuhan tentunya saling berkaitan. Bukankah ada keterangan bahwa siapa yang tidak berterima kasih kepada sesama manusia, maka ia belum bisa dikatakan ber-terima kasih kepada Tuhan.
Perintah tolong menolong (ta'awun) kepada sesama manusia, tentu saja tidak dibatasi dengan siapapun, selama masih dalam konteks kebaikan (Al-Birr) dan dalam upaya menciptakan kemaslahatan bersama. Selanjutnya dalam ayat tersebut dikatakan bahwa upaya berserikat dalam permusuhan kepada sesama manusia dikaitkan dengan perbuatan dosa.
Korelasi petikan ayat ini, menegaskan bahwa dalam menghapuskan permusuhan, tentu saja harus dibangun dan diwujudkan melalui sebuah komitmen bersama untuk bekerja sama dan saling tolong- menolong.
Adapun Nabi Muhamad dalam penggalan sejarah peristiwa Khaibar telah memberikan contoh kepada kita semua, bahwa Beliau berhasil membangun kesepakatan damai dan menghapus permusuhan melalui aksi lingkungan, penghijauan bumi serta pelestarian alam.
Bagi Nabi Muhamad, akad Musaqah bukan sekedar menyirami benih pohon kurma tetap berbuah dan bersemi, namun lebih dari itu, yakni sebuah upaya menyirami benih kehidupan yang damai agar senantiasa lestari...Orang suci datang ke suatu tempat, bukan untuk mengambil sesuatu darinya, tapi ia hadir untuk mendistribusikan kasih sayang-Nya.
Arief A, Ketua LPBI NU Kota Bandung
Terpopuler
1
Khutbah Jumat Terbaru: Bulan Rajab, Momentum untuk Tingkatkan Kualitas Spiritual Diri
2
Gus Yahya Respons Wacana Pendanaan MBG Melalui Zakat: Perlu Kajian Lebih Lanjut Karena Kategori Penerima Zakat Sudah Ditentukan
3
Profil Alex Pastoor dan Dany Landzaat, Dua Asisten Pelatih yang Dampingi Kluivert di Timnas Indonesia
4
Refleksi Harlah ke-102 NU: Membangun Sinergitas Harokah dalam Ber-NU
5
Pentingnya Menggerakkan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama di Kota Bogor Menjelang Harlah ke-102
6
Kapolres Depok Serahkan Bibit Tanaman kepada PCNU Kota Depok
Terkini
Lihat Semua