• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 18 Mei 2024

Opini

Integrasi Ilmu di Pondok Pesantren

Integrasi Ilmu di Pondok Pesantren
Santri asal Indonesia yang belajar di Tiongkok, membentuk PCINU (Foto: FB PCINU Tiongkok).
Santri asal Indonesia yang belajar di Tiongkok, membentuk PCINU (Foto: FB PCINU Tiongkok).

Oleh Riki Baehaki

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pendidikan berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pondok pesantren telah menerapkannya sejak dulu. Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pondok pesantren mendidik para santrinya untuk hidup mandiri, prihatin dan sederhana. Bukan hanya cara hidup yang dididik, namun juga perbaiki sikap sesuai dengan yang diajarkan oleh baginda Nabi Muhammad Saw.

Nasaruddin Umar dalam bukunya Islam Fungsional mengatakan, bahwa sistem pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tradisional yang memberikan pengaruh penting di dalam masyarakat. Dengan sosiologi pesantren yang begitu penting perannya, membuat umat Islam terutama di pulau Jawa, bisa menyatukan paradigma agama dan paradigma budaya. Ibarat sebuah mata uang yang memiliki dua sisi, dengan tetap secara kritis melakukan langkah-langkah pembinaan.

Meski kerap dikenal sebagai lembaga yang menerapkan sistem pendidikan  ‘klasik’, masyarakat tidak sedikit yang menganggap bahwa pondok pesantren terlalu kuno untuk mendidik murid di zaman yang serba modern. Anggapan itu tentu dapat ditepis dengan banyaknya pondok pesantren yang memadukan ilmu dunia dan akhirat dalam mengajar para santrinya. Dewasa ini, banyak ditemui pondok pesantren yang berupaya mengintegrasikan semua ilmu. Menyadari bahwa ilmu yang mesti dituntut bukan hanya ilmu agama, namun juga ilmu dunia yang mesti dipelajari.

Faisal Ismail dalam Islam yang Produktif menjelaskan, bahwa pendidikan dalam konstruksi ajaran Islam bersifat ideologis, inovatif dan terbuka. Artinya, Islam dapat menerima khazanah ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga pendidikan mana pun, baik dari Timur maupun dari Barat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad Saw memerintahkan umatnya untuk menuntut ilmu pengetahuan walaupun ke negeri China. Ungkapan Nabi tersebut merupakan implementasi bahwa seorang muslim pun perlu mempelajari ilmu dunia, dari negeri mana pun sumber ilmu tersebut berasal.

Pendidikan Islam di masa dinasti Abbasiyah, begitu banyak para ilmuan muslim yang cakap dalam berbagai aspek. Ibnu Sina adalah seorang muslim yang ahli dalam bidang kedokteran, salah satu karyanya menjadi rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad yang berjudul al-Qanun fi at-Tibb. Al-khawarizmi adalah seorang muslim yang ahli di bidang matematika, melahirkan buku pertama yang membahas solusi sistematik dari linear dan notasi kuadrat berjudul al-Jabar. 

Tamim Ansari dalam Sejarah Dunia versi Islam memaparkan, bahwa peradaban Arab mencapai masa keemasanya, saat dunia Barat masih belajar membaca. Baghdad waktu itu merupakan sentral pendidikan dan penelitian. Bangsa arab dapat berkembang dengan mempelajari buku-buku yunani kuno yang kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Tidak ada dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler, semua ilmu dianggap mulia karena sejatinya semua ilmu pengetahuan merupakan ilmu dari Allah Swt.

Terlalu acuh rasanya bila kita terus nyaman dalam sistem pendidikan yang itu-itu saja, sedangkan kita semakin tertinggal dengan perkembangan dunia yang semakin pesat. Integritas ilmu merupakan salah satu solusi dalam mengejar ketertinggalan, bahkan mendobrak dan melakukan pembaharuan.
Sebagai seorang muslim, menjadi kewajiban untuk mempelajari ajaran agama, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk mempelajari ilmu dunia. Salah rasanya bila hanya mementingkan salah satu dari dua ilmu tadi. Pendidikan Islam menyatupadukan dan menyelaraskan antara kepentingan dunia serta kepentingan akhirat (surat al-Qashash: 77). Dalam mencapai tujuan pendidikan, perlu adanya keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat.

Sejumlah pondok pesantren sudah mulai melakukan integrasi dua jenis keilmuan itu. Begitu pula sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia saat ini, memungkinkan adanya lompatan lintas keilmuan. Seorang mahasantri alumni Ma’had Aly, bisa saja melanjutkan S2 di bidang astronomi sebagai pendalaman atas ilmu falak yang dikajinya di pesantren. Begitu pula sebaliknya, sarjana S1 eksakta bisa mendalami ilmu keislaman di pesantren tradisional. Perkembangan pesantren saat ini semakin membuka peluang terjadinya integrasi ilmu pengetahuan.

Penulis adalah Mahasiswa Jurnalistik UIN Bandung
 


Editor:

Opini Terbaru