• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 3 Mei 2024

Opini

Dinamika Sastra Kaum Muda

Dinamika Sastra Kaum Muda
Dinamika Sastra Kaum Muda, (Foto: freepik)
Dinamika Sastra Kaum Muda, (Foto: freepik)

Tak disangka, aku jatuh cinta dengan dunia sastra dan politik. Cinta adalah komitmen, bukan semata serangkaian momen. Sedangkan politik yang dikenalkan kepadaku, politik merupakan alat untuk mengabdi pada kemanusiaan, bukan menghamba pada kekuasaan.


Ada sekian pembelajaran dari para guru yang ditandai dengan kesediaan untuk menerima perbedaan sambil menjaga dan memperkuat keharmonisan di antara elemen masyarakat yang beragam. 


Meminjam pendapatnya Aristoteles bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, bukan malah memperkeruh suasana. Bahwa politik tidak sepenuhnya kotor, politik tidak sepenuhnya jahat, dan politik juga dapat memanusiakan manusia. 


Ilmu memang harus diburu. Bukan untuk memamerkan pengetahuan, tapi lebih kepada kesadaran bahwa seluruh aktivitas yang berkaitan dengan ilmu adalah hal yang positif dan memiliki keutamaan yang besar. 


Dalam kitab Adabul Alim Wa Muta’allim Fima Yahtaju Ilaihi Al-Muta’allimu Fi Ahwalit Ta’limihi Wama Yatawaqqofu ‘Alaihi Al-Mu’allimu Fi Maqoomati Ta’limihi atau disingkat dengan nama Adabul Alim Wal Muta’allim. 


Terdapat pesan yang sangat menyentuh jiwa untuk santri khususnya dan generasi muda Islam pada umumnya, juga generasi muda nahdliyin. Termaktub pada bab 2, tentang bagaimana akhlak pribadi seorang murid. 


"Hendaknya segera mempergunakan masa muda dan umurnya untuk memperoleh ilmu, tanpa terperdaya oleh rayuan ‘menunda-nunda dan berangan-angan panjang’, sebab setiap detik yang terlewatkan dari umur tidak akan tergantikan." 


Setidaknya sebagai murid/santri kita perlu memiliki kesadaran dan kesungguhan yang menghasilkan prestasi yang bermanfaat. Termasuk merawat sastra pesantren. Mentalitas budaya santri dan peradaban sastra pesantren perlu diperkuat dengan peran para sastrawan, ulama, dan para aktivis kebudayaan. 


Sesuatu yang di-upload di sosial media telah mengalami abstraksi. Kemudian istilah "literasi digital" yang kian dikenal adalah suatu bentuk kemampuan untuk mendapatkan dan menggunakan informasi yang berasal dari berbagai sumber dalam bentuk digital. 


Misalnya, menulis fiksi itu bukan semata aktivitas melamun, tetapi ada disiplin ilmunya juga. Semua penulis itu serius di dalam aktivitas menulis, meskipun yang ditulisnya adalah karya fiksi. Karena menulis fiksi juga melibatkan perasaan dan pikiran. 


Diam-diam sebagai penulis saya merasa bermanfaat juga bagi orang lain. Dengan menulis saya merasa lebih sehat dan lebih hidup. 


Dengan adanya acara Simposium Sastra Pesantren, dengan tema "Merumuskan Ulang Sastra Pesantren", yang diselenggarakan pada bulan Desember Tahun 2022 yang lalu, dan acara tersebut berlangsung di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang Jawa Timur. 


Acara ini sangat-sangat penting bagi para santri yang ingin mengenal dunia sastra, tentu diharapkan akan menumbuhkan ekosistem gerakan Sastra Pesantren di kalangan orang-orang Pesantren. 


Karya sastra yang baik adalah mereka yang tetap berusaha mengikuti tren perkembangan zaman. Secara global karya-karya sastra pesantren yang ditulis oleh para santri dapat dikelompokkan menjadi dua jenis (genre) utama, yaitu prosa, puisi, dan drama. 


Kehadiran gerakan menulis santri di era kemudahan literasi digital atau kegiatan yang meliputi dunia kepenulisan bagi orang-orang pesantren telah menjadi sangat penting, bukan semata untuk membantu pencerahan bagi santri, namun juga sebagai bentuk perlawanan terhadap kezaliman dari sebuah kekuasaan. 


Jika menarik sejarah, pergolakan dunia tulis-menulis pada era "Angkatan-65" dan seterusnya. Tentu memiliki pertalian sejarah kebudayaan atau sastra yang sangat kuat dengan warisan khazanah sastra pesantren, sebagaimana peran dan kiprahnya para penulis dan sastrawan yang berlatar belakang orang-orang pesantren, serta andil besar dari ulama-ulama kita di bumi nusantara yang telah melahirkan begitu banyak karya manaqib-manaqib, syair-syair, bahkan kitab kuning dan buku. 


Buah-buah karya dari para ulama-ulama nusantara itu merupakan bagian dari proses penanaman benih-benih permenungan mendalam untuk menciptakan kesegaran gagasan, keragaman perspektif, dan melestarikan kekayaan khazanah tradisi bahasa dalam berbagai bidang keilmuan, yang tentu itu demi mencerdaskan generasi tunas bangsa berikutnya melalui peradaban sastra. Berkaryalah dengan banyak membaca. Kemudian menulislah. Karena menulis itu gratis. 


Posisi dan potensi sastra pesantren perlu dikembangkan dan ditindaklanjuti sesuai dinamika zaman hari ini. Sastra pesantren, menurut KH. D Zawawi Imron, sudah ada sejak pertama kali Islam masuk ke Indonesia, sekitar abad ke-12 M. 


Kemudian kita akan dipertemukan tema-tema kesufian yang berbalut bahasa figuratif dengan fungsi sosial-keagamaan, seperti karya-karya yang dilahirkan KH Mustofa Bisri (Gus Mus), Acep Zamzam Noor, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), dan masih banyak lainnya. 


Sastra pesantren terbagi menjadi beberapa jenis ; Puisi, Syair, Nadzom, Cerpen Novel, Humor, Hikayat, dan Serat.


Genre sastra pesantren yang menarik ialah karena seiring dengan kedudukan dan fungsi pesantren itu sendiri sebagai subkultur dalam universum kebudayaan Indonesia. Akan tetapi, pesantren sebagai institusi kultural, yang turut melahirkan karya sastra pesantren sepatutnya terus-menerus melahirkan sastrawan-sastrawan muda. Maka dari itu bila berbicara soal "sastra pesantren" bukan sekedar soal kehadiran suara komunitas pesantren dalam memproduksi sastra. Tapi juga sebuah perbincangan tentang subyektifitas kreatif kalangan pesantren dalam berkebudayaan. 


Anak-anak pesantren atau santri tentu telah mengenal bidang ilmu sastra, yaitu Balaghah ; pelajaran nada dan irama syair, Arudh ; dan pelajaran logika dan argumentasi, yaitu Mantiq.


Secara tidak langsung kaum santri berpotensi besar untuk menulis karya sastra. Dimana hasil karya-karya itu berpotensi besar dan berpengaruh luas bagi dunia kesusasteraan. Sastra pesantren juga mengungkapkan diri dalam karya-karya etnografis-kesejarahan atau kisah-kisah perjalanan yang merekam tradisi-tradisi masyarakat setempat dalam bentuk sastra. 


Katakanlah, kaum muda santri adalah 'wakil zaman', semoga karya-karya sastra pesantren memberikan warna lain pada sastra dan seni budaya di Indonesia. Karena pesantren bukan hanya tempat belajar ilmu agama saja, tapi juga lembaga kehidupan dan kebudayaan. Dialog agama dan kebudayaan acapkali lahir dari pemikiran orang-orang pesantren, termasuk di dunia kesusasteraan.


Abdul Majid Ramdhani, salah seorang kontributor dari Cirebon, juga alumni santri Ponpes Al-Hamidiyah Depok


Opini Terbaru