• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 19 Maret 2024

Profil

Mengenal Lebih Dekat Sastrawan Acep Zamzam Noor

Mengenal Lebih Dekat Sastrawan Acep Zamzam Noor
Acep Zamzam Noor (foto: NU Online)
Acep Zamzam Noor (foto: NU Online)

Acep Zamzam Noor nama lengkapnya Muhammad Zamzam Noor Ilyas adalah anak sulung KH Ilyas. Lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 Februari 1960. Seorang penyair yang berasal dari etnis Sunda yang dibesarkan dalam lingkungan kehidupan pesantren.
 
Kang Acep sapaan akrabnya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup beragam. Pendidikan yang pernah dilaluinya, antara lain Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya, SMA di Jakarta (tamat 1980), Santri di Pondok Pesantren As-Syafi'iyah Jakarta, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (tamat 1987), serta Universitas Italiana per Stranieri Perugia, Italia (1991—1993). Sebelum kuliah di ITB, ia pernah tercatat sebagai mahasiswa STSRI "ASRI" Yogyakarta. 


Melalui ketajaman batinnya, Kang Acep memberikan pedoman baru dalam bidang sastra dan bahasa. Membaca karya beliau (Puisi dan Bulu Kuduk), bagaikan membaca kesederhanaan dari pijar sastra pesantren yang justru memperlihatkan perpaduan tradisi tekstual khas santri tradisional. 


Kepiawaiannya dalam menulis, Kang Acep pernah bekerja di berbagai media massa cetak, antara lain harian Pikiran Rakyat. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media massa cetak, antara lain Pikiran Rakyat, Horison, Kalam, Dewan Sastra, Republika, Kompas, dan Media Indonesia. Selain menulis sajak, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda, ia juga suka menulis esai sastra. 


Kiprahnya dalam menulis sajak dimulai sejak tahun 1976, dan mengembangkan dunia kepenyairannya sejak tinggal di Bandung. Sejumlah sajak karyanya sendiri telah terbit dalam bentuk kumpulan sajak, yaitu Tamparlah Mukaku! (1982), Aku Kini Doa (1986), Kasidah Sunyi (1989), Dari Kota Hujan (1996), Di Luar Kata (1996), Di Atas Umbira (1999), serta Dayeuh Matapoe (1993, kumpulan sajak dalam bahasa Sunda). Selain itu, beberapa sajaknya hadir dalam antologi bersama penyair lain, seperti Tonggak 4 (1987), Dari Negeri Poci (1994), dan Ketika Kata Ketika Warna (1995). 


Sementara itu beberapa esai yang telah ditulisnya, antara lain "Pesantren, Santri, dan Puisi" yang dimuat dalam Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Buku Sastra yang pernah terbit salah satunya bertajuk "Puisi dan Bulu Kuduk," Penerbit: Nuansa Cendekia. Cetakan I, Juni 2011.Tebal: 290 Halaman. 


Dalam kariernya sebagai penyair, Acep Zamzam Noor telah memperoleh beberapa penghargaan dari berbagai pihak, salah satunya dari Lembaga Basa jeung Sastra Sunda, sebuah lembaga kesastraan di Bandung. Ia memperoleh hadiah sastra dua kali, yakni tahun 1991 dan tahun 1993 untuk jenis puisi Sunda yang dikarangnya. Pada tahun 2001 dengan kumpulan puisinya "Di Luar Kata," ia memperoleh Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 


"Santri itu ibarat tabi' yang mengikuti matbu'. Termasuk tirakatnya santri itu mengikuti (perintah) Kiai/Guru dan Kedua Orang Tuanya. Dan menulis adalah "tirakat" dalam bentuk lain" tandas saat diwawancara secara Online.


Secara garis besar, Acep Zamzam Noor merupakan keturunan dari Pimpinan Pondok Pesantren Cipasung yaitu KH Ruhiat dari ayahnya Kiai Ilyas. Kiai Ilyas banyak mendapat pendidikan di Pesantren Cipasung yang di didik langsung oleh ayahnya. Selebihnya, Kiai Ilyas hanya mengenyam pendidikan formal selama 3 tahun di Sekolah Rakyat. Kiai Ilyas kecil tidak lelah berhenti belajar, karena kegigihannya dan keinginannya yang kuat dalam mempelajari semua hal, ia mengambil dua kursus bahasa asing secara bersamaan, yaitu bahasa Arab dan Inggris.


Selaon itu Kiai Ilyas juga sangat menguasai bidang ilmu agama Islam, karena penguasaan bahasa Arabnya yang bagus. Para ulama di kalangan NU dan Non NU banyak yang mengakui Kiai Ilyas sebagai ulama yang cerdas.


Kecerdasannya dapat dilihat dari kemampuannya menguasai kitab jurumiyah pada usia 9 tahun. Ia juga menguasai kitab Alfiyah Ibnu Malik (Ilmu Sharaf yang rangkai dalam seribu bait syair) pada usia 15 tahun. 


Secara sanad keilmuan dalam bidang menulis tentulah kepiawaian Acep Zamzam Noor tidak perlu diragukan lagi, sebagaimana kutipannya berikut ;


"Saya selalu tergoda untuk mengubah nama-nama penyair muda yang rasanya kurang pas sebagai nama penyair,” begitu pengakuannya dalam Buku Puisi dan Bulu Kuduk. 


Abdul Majid Ramdhani, lulusan Pondok Pesantren Al-Hamidiyah dan kini aktif menulis di portal media jabar.nu.online, banten.nu.online dan LTN Depok.


Profil Terbaru