Opini

Amany Burhanuddin Umar Lubis: Peran Nawaning Nusantara Dalam Ketahanan Keluarga Sebagai Upaya Sehat Fisik Dan Sehat Mental

Senin, 13 Januari 2025 | 15:48 WIB

Amany Burhanuddin Umar Lubis: Peran Nawaning Nusantara Dalam Ketahanan Keluarga Sebagai Upaya Sehat Fisik Dan Sehat Mental

Amany Burhanuddin Umar Lubis. (Tim Media PP. Manba'ul Hikam, Sidoarjo)

Dalam era modern yang penuh dengan tantangan dan dinamika kehidupan, ketahanan keluarga menjadi aspek penting dalam menciptakan kesejahteraan dan keharmonisan Masyarakat. Pondok Pesantren, sebagai institusi pendidikan tradisional di Indonesia, tidak hanya berperan dalam mendidik santri secara spiritual dan intelektual, tetapi juga memegang peranan penting dalam pembentukan ketahanan keluarga.


Sebagai bagian dari dzurriyyah Pesantren, Nawaning Nusantara memiliki peran strategis dalam memperkuat Ketahanan Keluarga, khususnya di lingkungan Pondok Pesantren. Ketahanan Keluarga menjadi kunci dalam menciptakan generasi yang sehat secara fisik dan mental, terutama di tengah berbagai tantangan kehidupan modern yang turut dirasakan oleh komunitas Pesantren.


Dengan latar belakang yang kuat dalam tradisi Pesantren, diharapkan Nawaning Nusantara dapat mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dengan pendekatan holistik terhadap kesehatan fisik dan mental. Inisiatif ini bertujuan untuk mendukung santri dan keluarganya dalam menghadapi tekanan kehidupan, baik dari segi adaptasi sosial, beban akademik, maupun tuntutan spiritual, sehingga terciptalah santri yang sehat fisik dan mental di lingkungan Pesantren.


Amany Burhanuddin Umar Lubis, sebagai Keynote Speaker pada perhelatan Halaqoh Nasional II Nawaning Nusantara yang bertajuk Nawaning: Madrasah Ula untuk Santri Sadar Pendidikan Seksual dan Sehat Mental, di HARRIS Hotel & Conventions pada hari Sabtu, 11 Januari 2025, memaparkan bahwa kondisi keluarga Nawaning dan Gawagis harus memiliki keuletan, ketangguhan, dan memiliki kemampuan fisik materiil guna hidup mandiri serta mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan serta kebahagiaan lahir dan batin berdasarkan iman, ilmu, dan adab.


Amany Burhanuddin Umar Lubisjuga memaparkan terkait Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga di Pondok Pesantren meliputi enam hal, yaitu:


1.    Keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Konsep ini diambil dari Al-Qur'an, khususnya dalam Surah Ar-Rum ayat 21, yang menyebutkan bahwa Allah Swt. menciptakan pasangan dari jenis yang sama untuk menciptakan ketenangan, kasih sayang, dan rahmat di antara mereka. Keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah dianggap sebagai tujuan ideal dalam membangun rumah tangga yang bahagia dan harmonis.


2.    Pemahaman tentang Fiqih Keluarga (hak dan kewajiban anggota keluarga, tunangan, mahar akad nikah, pendidikan anak, harta pribadi dan bersama)

Fiqih Keluarga dalam Islam mengajarkan bahwa keluarga adalah institusi yang sangat penting dalam membangun masyarakat yang sejahtera. Dengan mengatur hak dan kewajiban anggota keluarga, Fiqih Keluarga bertujuan menciptakan kehidupan rumah tangga yang harmonis dan penuh dengan ketenangan (sakinah), cinta kasih (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah).


Setiap anggota keluarga memiliki peran yang saling melengkapi, sehingga ketika semua hak dan kewajiban dijalankan dengan baik, keluarga akan menjadi tempat yang nyaman dan penuh berkah. Prinsip-prinsip ini, jika diterapkan dengan baik, akan memberikan landasan yang kuat untuk membangun generasi yang taat kepada Allah Swt. dan memberikan kontribusi positif kepada masyarakat.


3.    Relasi seimbang antara perempuan dan laki-laki.

Relasi seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam Islam menekankan bahwa meskipun ada perbedaan peran dan tanggung jawab, keduanya memiliki hak dan kewajiban yang saling melengkapi dan mendukung. Kesetaraan dalam nilai kemanusiaan, komplementaritas peran, keadilan dalam hak dan kewajiban, serta kerjasama yang harmonis menjadi dasar bagi relasi yang sehat dan seimbang. Prinsip-prinsip ini memastikan bahwa laki-laki dan perempuan dapat hidup bersama dengan saling menghormati dan mendukung dalam menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.


4.    Pembagian tugas rumah tangga.

Pembagian tugas rumah tangga didasarkan pada prinsip kerjasama, keadilan, dan fleksibilitas. Meskipun ada peran tradisional yang biasanya dipegang oleh suami dan istri, tidak ada larangan bagi suami untuk membantu istri dalam pekerjaan rumah tangga atau sebaliknya. Islam menekankan pentingnya musyawarah dan saling pengertian dalam membagi tugas, dengan tujuan menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis, seimbang, dan penuh kasih sayang.


5.    Hubungan kekerabatan yang saling peduli.

Pentingnya menjaga dan mempererat tali silaturahmi, berbuat baik kepada orang tua, membantu kerabat yang membutuhkan, serta menjaga komunikasi yang baik dengan keluarga besar. Islam mengajarkan bahwa hubungan yang harmonis di antara kerabat akan membawa keberkahan, memperkuat fondasi sosial, dan menciptakan masyarakat yang lebih peduli dan saling mendukung. Sikap saling peduli dalam keluarga besar adalah cerminan dari nilai-nilai kasih sayang, pengertian, dan solidaritas yang diajarkan dalam Islam.


6.    Tradisi Pesantren yang luhur.

Pondok Pesantren seyogyanya terus mengukuhkan dirinya sebagai lembaga yang tidak hanya melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi juga membentuk insan yang memiliki akhlak mulia, rasa sosial yang tinggi, serta kedisiplinan yang kuat. Di tengah kemajuan zaman yang serba modern, tradisi pesantren tetap menjadi penjaga warisan budaya dan spiritual yang penting dalam membangun bangsa. Maka Pondok Pesantren tidak hanya menjadi lembaga pendidikan, tetapi juga menjadi simbol kehidupan yang harmonis antara ilmu, moralitas, dan keberagaman budaya.


Amany Burhanuddin Umar Lubis, menyampaikan Ketahanan Keluarga ini bisa dimulai dari Pendewasaan Usia Pernikahan— mengingat kondisi Perkawinan Anak di Indonesia cukup tinggi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memberikan perhatian yang serius pada ikhtiar Pendewasaan Usia Perkawinan.


Dalam keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia III tahun 2009, Pernikahan Usia Dini sudah dibahas sebagai salah satu dari delapan sub tema Masail Fiqhiyah Mu’ashirah (Masalah Fiqih Kontemporer). Dalam Ketentuan Umum Keputusan Ijtima’ tersebut dinyatakan bahwa usia kelayakan pernikahan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyyatul ada’ wal wujub), sebagai ketentuan sinnur-rusydi. Kedewasaan usia merupakan salah satu indikator bagi tercapainya tujuan pernikahan, yaitu kemaslahatan hidup berumah tangga dan bermasyarakat serta jaminan keamanan bagi kehamilan.  


Guna merealisasikan kemaslahatan, ketentuan perkawinan dikembalikan pada standarisasi usia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ijtima’ Ulama juga menegaskan bahwa pernikahan hukumnya sah sepanjang telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika mengakibatkan mudharat.


Pendewasaan Usia Perkawinan sangat penting karena perkawinan anak berpotensi menjauhkan umat, baik secara pribadi, keluarga, maupun masyarakat dari tujuan syari'at. Hal ini terlihat dalam Maqāshid al-Syarī’ah terutama Hifzhun-Nasl (perkawinan anak berpotensi menjauhkan terwujudnya keluarga sakinah dan mashlahah, bahagia dan kekal, rentan menghasilkan generasi lemah dalam berbagai sisi, serta berisiko lebih tinggi terhadap perceraian).


Hal ini juga berdampak pada prinsip Hifzhun-Nafs (perkawinan anak meningkatkan angka kematian Ibu dan anak), Hifzhul-’Aql (perkawinan anak berpotensi menghilangkan kesempatan meraih pendidikan tinggi), Hifdzul-Māl (perkawinan anak berpotensi melanggengkan kemiskinan, pemiskinan, dan penelantaran), serta Hifzhul-Irdh (perkawinan anak berpotensi menimbulkan ketidakcakapan pengasuhan yang menjadikan anak sebagai korban dan KDRT yang pada umumnya menjadikan perempuan sebagai korban).


Ketahanan Keluarga merupakan fondasi penting dalam membangun masyarakat yang sejahtera dan harmonis, terlebih dalam menghadapi tantangan era modern. Pondok Pesantren, sebagai institusi pendidikan berbasis tradisi Islam, memiliki peran strategis dalam memperkuat ketahanan keluarga melalui integrasi nilai keislaman dan pendekatan holistik terhadap kesehatan fisik dan mental. Nawaning Nusantara, sebagai bagian dari dzurriyyah Pesantren, menonjol sebagai entitas yang aktif dalam membangun keluarga yang tangguh, khususnya di kalangan santri.


Dalam Halaqoh Nasional II Nawaning Nusantara yang bertajuk “Nawaning: Madrasah Ula untuk Santri Sadar Pendidikan Seksual dan Sehat Mental,” Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A., menekankan pentingnya membangun keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah, yang dicapai melalui penerapan Fiqih Keluarga, keseimbangan relasi gender, pembagian tugas rumah tangga, hubungan kekerabatan yang harmonis, dan pelestarian tradisi luhur Pesantren.


Ketahanan Keluarga juga didukung oleh kebijakan Pendewasaan Usia Pernikahan, sebagaimana telah disepakati dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI, yang menilai usia dewasa sebagai syarat tercapainya tujuan syari’at, seperti kesejahteraan keluarga dan keamanan kehamilan. Langkah ini diharapkan mampu mengurangi risiko negatif seperti kemiskinan, perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga.


Pendekatan komprehensif dalam membangun Ketahanan Keluarga melalui integrasi nilai-nilai agama, pendidikan, dan tradisi Pesantren adalah kunci menciptakan generasi yang sehat fisik dan mental. Upaya ini membutuhkan kolaborasi antara individu, keluarga, dan komunitas Pesantren, serta kebijakan strategis seperti Pendewasaan Usia Pernikahan. Dengan demikian, Ketahanan Keluarga tidak hanya menjadi pilar kesejahteraan individu, tetapi juga pondasi bagi kemajuan masyarakat dan bangsa secara keseluruhan.


Naila Rumaisha Aqra Nawwal, Peserta dari Nawaning Nusantara Jawa Barat, Pondok Pesantren Al Islamiyyah – Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat.