• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Opini

Ajengan Kampung Lentera Peradaban Masyarakat Desa (2)

Ajengan Kampung Lentera Peradaban Masyarakat Desa (2)
(Foto: NU Online)
(Foto: NU Online)

Tantangan ajengan hari ini

Sekurang-kurangnya, semenjak listrik terkoneksi ke perkampungan, yang diikuti sebaran televisi di tiap rumah, maka perlahan perubahan sosial pun terjadi. Tontonan yang tidak selalu memuat tuntunan, sulit dipisah-pilahkan oleh masyarakat awam pedesaan. Sebagai contoh, betapa hebatnya pengaruh psikologi iklan suatu produk hingga membentuk mental konsumtif masyarakat. Lain dari itu misalnya –tontonan yang dianggap “menarik” disajikan pada waktu-waktu tertentu– seperti ba’da magrib yang notabene anak-anak memulai pengajian atau waktu pagi saat anak sekolah.

Puncaknya adalah era globalisasi yang ditandai dengan percepatan arus informasi. Globalisasi merupakan peluang sekaligus tantangan yang tidak mudah bagi eksistensi tokoh agama di suatu tempat. Selain dibayang-bayangi “kehilangan” jamaah akibat orang lebih disibukkan oleh pekerjaan yang terspesialisasi, juga mereka lebih merasa bangga dan trendy saat mengetahui informasi keagamaan dari gawai-nya. Maka, ajengan mau tidak mau harus menyadari sekaligus memikirkan bagaimana mengemas dan menghadirkan informasi keagamaan sesuai “selera” manusia hari ini.

Penulis juga menganggap bahwa tokoh agama kita di daerah masih gamang dengan perubahan yang ada. Sebagian mereka pasif cenderung apatis. Padahal persoalan dari waktu ke waktu kian kompleks. Jika dahulu kenakalan remaja terbatas pada berkelahi, mencuri, atau tidak mau sekolah, maka sekarang ini sangat beragam, dari kecanduan gadget, informasi palsu (hoaks), penyalahgunaan narkoba, aborsi, dan persoalan asusila lainnya. Alhasil, fungsi sosial kontrol seorang ajengan kian tumpul. Ajengan diberi ruang hanya sebagai “pawang” doa, seperti ketika pindahan rumah, khitanan, selametan, atau mengobati orang yang kesurupan.

Di dusun Ciherang, Desa Sindangjaya, Kabupaten Tasikmalaya, tempat tinggal penulis, dahulu jika ada orang memungut buah kelapa yang jatuh milik orang lain, maka ia diwajibkan mengambil kira-kira satu drum truk batu. Batu tersebut kemudian digunakan untuk perbaikan infrastruktur jalan di kampung. Begitu juga dengan pelanggaran, seperti mencuri ayam, ikan, dan lainnya akan dikenakan sanksi yang sama. Adapun sidang peradilannya berupa majelis pengajian, dengan hakim utama adalah ajengan.

Sanksi dan pranata sosial di atas, pada masanya cukup efektif. Artinya, problem sosial yang menyangkut kemasyarakatan, bahkan program pembangunan daerah dapat dibawa di dalam lingkup keagamaan. Masjid menjadi titik pusat spasial yang menampung problem keumatan dan kemasyarakatan. Namun berbeda, ketika nilai kolektif kian merosot, maka seluruh pelanggaran (kriminal) hari ini dikenakan hukum positif.

Tak sedikit juga, sebagian tokoh agama yang memutuskan terjun dan membangun poros dukungan dalam kontestasi politik. Mereka tak ubahnya sebagai koordinator lapangan (korlap) yang bertarung strategi pada kompetisi perebutan kuasa. Citra politik yang kadung “kotor” di masyarakat, berkelindan pada memudarnya kepercayaan orang terhadap tokoh agama tersebut. 

Selain fenomena yang telah disebutkan, ajengan yang bermukim di perkampungan, notabene tidak memiliki kemapanan ekonomi. Mereka banyak sebagai peternak, peladang, atau petani. Dalam hegemoni kehidupan materialistik seperti sekarang ini, posisi tokoh agama tersebut kurang mendapat pengakuan dari masyarakat luas.

Namun bagaimana pun juga –selain beragam tantangan– ajengan pun memiliki peluang terbuka dalam memaksimalkan vitalitasnya di masyarakat. Kelelahan manusia hari ini akibat ketidakpastian hidup maupun karena “mabok” informasi dan kecemasan karena pandemi, pada akhirnya akan mencari ketenangan sejati. Ketenangan yang hanya akan didapat melalui bimbingan ruhani dari seorang agamawan atau ajengan. 

Ajengan yang berada di perkampungan adalah sosok istimewa. Mereka berpenampilan sederhana, namun dianugerahi kedalaman ilmu yang luar biasa. Sanad keilmuannya tersambung kepada Nabi, namun enggan untuk menonjolkan diri. Adab dan keteladanan menghiasi kesehariannya; jahil dan bakhil diperanginya; dan hati yang gelap diteranginya. Mereka tak hanya anugerah bagi masyarakat desa, tetapi bagi semesta raya.*

Penulis adalah Mahasiswa Magister Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung


Opini Terbaru