• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 7 Mei 2024

Ngalogat

Yahya Waloni Perlu Belajar dari Sangkuriang

Yahya Waloni Perlu Belajar dari Sangkuriang
(Foto: ppid.bandung.go.id)
(Foto: ppid.bandung.go.id)

Oleh Agung Purnama

Viral di media sosial, seorang mualaf yang menjadi penceramah, bernama Yahya Waloni, mengaku dengan sengaja menabrak seekor anjing ketika sedang berkendara. Apa yang ia lakukan itu, lalu dengan nada bangga, ia sampaikan kepada jamaahnya, seraya mengatakan bahwa dulu ketika ia masih non-Muslim, ia tidak berani melukai anjing. Sepertinya, dari sini Yahya Waloni ingin membuat penegasan bahwa melukai anjing adalah seolah merupakan bagian dari kewajiban keberislaman. Dan mungkin, bagi orang-orang semacam Yahya Waloni, membenci, menghinakan, mencederai, atau bahkan membunuh secara sengaja hewan yang dinajiskan oleh ajaran agama, dianggap sebuah perilaku yang mendatangkan pahala, dan Tuhan senang atas tindakannya itu.

Anggapan seperti itu, rasanya hanya sebuah delusi beragama, saja. Islam sebagai agama yang memiliki tag line utama rahmatan lil alamin, tidak mungkin membenarkan perilaku yang justru merusak salah satu komponen alam, berupa binatang, sekalipun itu seekor Anjing. Meskipun dihukumi najis secara fiqh, anjing tidak lah lantas boleh dibunuh tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syara. Bukankah ada juga seekor anjing yang begitu dimuliakan dalam Al-Qur’an, yang dikisahkan mengiringi para pemuda Ashabul Kahfi dalam misi menjaga ketauhidan?

Juga masyhur dalam kisah keteladanan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, bahwa suatu ketika dalam perjalanan menuju Makkah, beliau pernah melihat anjing betina sedang menyusui anak-anaknya. Dari apa yang dilihat, kemudian beliau memerintahkan seorang sahabat bernama Jamil bin Suraqah untuk berdiri menjaga anjing dan anak-anaknya agar tidak diganggu oleh pasukan. Ada pula kisah lain dalam Hadits, diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Ada wanita pelacur yang melihat ada anjing berputar di dekat sumur saat hari yang panas, anjing tersebut menjulurkan lidahnya karena kehausan. Lalu wanita tersebut melepas sepatunya untuk mengambil air di sumur, maka ia mendapat ampunan” (HR Muslim).

Sebenarnya, tidak hanya dalil-dalil teologis yang menekankan pentingnya menghargai alam, lebih jauh dapat hidup selaras dengan alam (termasuk binatang di dalamnya). Misalnya, dalam konteks kebudayaan masyarakat Sunda, ajaran penghormatan kepada alam diwariskan oleh para karuhun (leluhur) melalui narasi cerita rakyat, yang sarat akan siloka (perlambang). Pada cerita rakyat Legenda Gunung Tangkuban Parahu, diceritakan adanya perkawinan seorang raja dengan babi hutan yang melahirkan dayang Sumbi, serta perkawinan Dayang Sumbi dengan anjing yang bernama Si Tumang untuk kemudian melahirkan Sang Kuriang. Barangkali, hanya pandangan kita sekarang lah yang melihat hal tersebut sebagai ketidakpatutan, tidak senonoh, juga sebuah kemustahilan. Akan tetapi sejatinya, cerita itu bukanlah ajaran untuk menikahi binatang secara biologis, melainkan sebuah dinding kelir sindang siloka dari ajaran tentang hak eksistensial.

Alam pikiran karuhun urang Sunda melalui cerita tersebut, hendak mencontohkan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, termasuk hewan, berhak untuk hidup dan disejajarkan (dikasihi dan diperlakukan secara baik) dengan dunia manusia. Dalam Legenda Tangkuban Parahu, ketika Si Tumang dibunuh, dari situlah Sang Kuriang harus terusir dari kampung halaman, dan berpisah dengan ibunya, Dayang Sumbi. Barangkali, kita bisa merenungi, saat ini ada banyak bencana yang telah mengusir manusia dari kampung halamannya, oleh karena alam sudah tidak lagi diperlakukan secara baik.

Jika kepada hewan saja harus berlaku baik, tentu demikian halnya dalam memperlakukan hutan, sungai, gunung, laut, dan bumi seisinya. Singkatnya, perlu ada kesadaran bahwa manusia dengan alam adalah unsur-unsur yang tidak berjarak, melainkan berada dalam satu kesatuan kosmologis. Rusaknya alam, adalah kerusakan pula bagi manusia. Sebuah hal yang miris dan memprihatinkan, manakala alam menjadi tumbal pembangunan yang lebih mengedepankan materialisme dan monumentalisme.

Di sisi lain, tak kalah memprihatinkan, ketika alam dirusak dengan dalih pemurnian agama. Tidak sedikit tradisi pelestarian alam, juga cerita-cerita rakyat yang mengiringinya, oleh kalangan tertentu dituduh bid’ah, syirik, sesat, dan kafir. Bahkan sekedar seekor anjing, hendak mereka musnahkan. Padahal, kebencian, kedengkian, dan merasa diri paling suci, itulah najis yang sejatinya. Harus dibersihkan dari hati, agar manusia mampu menyebarkan rahman-rahim Tuhan, untuk seluruh alam.

Wallahu a’lam.

Penulis adalah alumnus Pendidikan Sejarah UPI dan Ilmu Sejarah UNPAD. Aktif mengajar di Jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung.


Ngalogat Terbaru