Ngalogat

Ngalap Berkah dari Para Jemaah Haji

Senin, 27 Mei 2024 | 18:55 WIB

Ngalap Berkah dari Para Jemaah Haji

(Foto: NU Online Jabar/ Rudi Sirojudin A).

Sabtu (25/5/2024) lalu, kebetulan saya mengantar tiga orang kerabat dekat yang akan menunaikan ibadah Haji. Sebanyak 1 kloter jemaah haji yang tergabung pada kloter 31 asal Kabupaten Garut dilepas dan diberangkatkan dari Pendopo Garut menuju Embarkasi Haji Bekasi pada pukul 06.00 WIB. 


Setelah tiba dan istirahat di Embarkasi, keesokan harinya jemaah haji kloter 31  kemungkinan besar akan diberangkatkan menuju bandara Jedah Arab Saudi, dan kemudian menuju ke kota Makah untuk melaksanakan Umrah sebagai bagian ibadah Haji kategori Tamatu. Haji Tamatu merupakan ibadah Haji yang rangkaian kegiatannya di dahului dengan Umrah di bulan Haji. 


Seperti biasa, saat pemberangkatan jemaah, ribuan orang tumpah ruah memadati areal Pendopo yang satu komplek dengan Masjid Agung Garut. Isak tangis, sedih dan haru bercampur suka pun tampak terpancar dari mereka: sanak keluarga, saudara, handai taulan serta tentangga jauh maupun dekat yang setia menunggu proses pemberangkatan.


Selama berjam-jam mereka rela mengantri, berdesakan hanya untuk bisa melepas rindu mengantarkan keberangkatan para jemaah haji, mengingat selam 40 hari kedepan mereka tidak akan bisa bertemu seperti biasanya. Wajar jika haru dan tangis membuncah menghiasi pemberangkatan para jemaah haji.


Tak sedikit pula dari masyarakat yang kebetulan mengetahui keberangkatan jemaah haji dengan rasa haru melambaikan tangan bak lambaian perpisahan di sepanjang jalan yang dilewati bus pengangkut jemaah haji. Maksud mereka sama yakni ingin ditakdirkan Tuhan menjadi orang yang mampu untuk menunaikan ibadah haji seperti halnya para jemaah haji yang sedang mereka saksikan keberangkatannya. 


Lalu mengapa setiap kegiatan yang ada kaitannya dengan ritual Islam-termasuk yang sedang dibicarakan-selalu dipandang berharga, penting, bahkan sakral?


Saya rasa, suasana seperti ini, berduyun-duyunnya ribuan orang melepas keberangkatan jemaah haji tampaknya hanya dapat ditemukan di tanah air, di Indonesia saja. Jika kita tengok di negara lain mungkin akan sulit ditemukan. Dan perlu diingat peristiwa semacam ini akan terus berulang setiap tahunnya. 


Alasan pertama, mengapa fenomena semacan ini begitu menggejala? Masyarakat muslim Indonesia paham, sadar dan yakin betul akan hadirnya barokah, yakni suatu kebaikan dari setiap perayaan ritual ibadah. Mereka tidak akan melewatkan begitu saja sesuatu yang dapat mendatangkan manfaat bagi dirinya. Apalagi terkait dengan ibadah haji sebagai suatu ibadah penyempurna keislaman seseorang, maka mengagungkan hal-hal semacam itu menjadi sesuatu yang diutamakan. Mereka yakin dengan mengagungkan orang berhaji, manfaat dan keutamaan Haji dengan segala identitasnya  akan memberkahi mereka. 


Bagi mereka yang mengagungkan, meskipun sadar betul bahwa mereka secara finansial belum memadai untuk bisa berangkat Haji, namun harapan dalam hati untuk bisa berangkat ke tanah suci masih tetap ada. Jika pun belum kesampaian, penghormatan terhadap para jemaah Haji, rasanya menjadi  sebuah pelipur lara bagi orang yang merindukan ibadah Haji. Oleh karena itu, antusias masyarakat Islam Indonesia dalam menghantar keberangkatan dan menyambut kedatangan para jemaah haji selalu meriah. 


Alasan kedua, mengapa fenomena semacam ini juga begitu mengakar di hati masyarakat muslim Indonesia? Kita tahu, Islam bukan agama nenek moyang bangsa Indonesia. Islam datang sebagai agama pendatang. Meskipun sebagai agama pendatang, namun Islam mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Apalagi dengan  banyaknya tradisi masyarakat lokal yang mengandung nilai esensial Islam, meskipun formalitasnya tetap lokal namun mengandung nilai-nilai Islami, maka apapun bentuk dan wujud ritualnya tetap penting untuk terus diperingati dan dirayakan. 


Ketiga, mengapa fenomena semacam ini juga sulit dihilangkan dari masyarakat Indonesia? Tipe masyarakat Indonesia adalah komunal, selalu bersama-sama. Mereka tak biasa hidup sendirian, berjauhan bersama sanak keluarga, handai taulan maupun tetangga. Oleh karenanya jika ada suatu peristiwa yang mengindikasikan sebuah perpisahan, maka akan dirayakan seserius mungkin. 


Bagi mereka, ibadah Haji kadang dipandang sebagai sebuah perpisahan, meskipun bersifat sementara. Mereka menganggap bahwa orang yang berangkat ibadah Haji belum sepenuhnya bisa kembali ke tanah air, mengingat perjalanannya yang menguras biaya, fisik dan tenaga. Oleh karena itulah kadang orang yang berangkat ibadah Haji dilepas dengan kesedihan.


Apalagi jika jemaah Haji ditakdirkan wafat di Makah atau di Madinah, kesempatan untuk bertemu sudah tidak mungkin lagi. 


Dengan demikian, bagi masyarakat Islam Indonesia, perjalanan ibadah Haji bukan sebuah perjalanan biasa. Bukan juga sebagai ritual ibadah tanda kesempurnaan Islam seseorang. Melainkan juga sebagai perjalanan dari negeri tercinta ke negeri tercinta dalam konteks keagamaan sehingga kepergian dan kepulangannya dinantikan dengan harap-harap cemas. 


اِنَّ الَّذِيْ فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لَرَاۤدُّكَ اِلٰى مَعَادٍ ۗ


Artinya: "Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Muhammad) untuk (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur'an, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali." (QS al-Qasas [28]: 85). 


Ayat di atas sering ditulis atau dibaca di rumah masing-masing oleh jemaah Haji sebelum pemberangkatan. Begitu pula sering ditulis atau dibaca jika hendak pulang ke tanah air. Ditulis di rumah agar bisa kembali ke tanah kelahiran. Adapun ditulis di tanah suci dengan harapan bisa kembali ke tanah suci, Makkah al-Mukaramah dan Madinah al-Munawarah.Semoga.


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga pendidik