• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Ngalogat

Kisah Romantis Kiai Ali Yafie dan Istrinya

Kisah Romantis Kiai Ali Yafie dan Istrinya
Kiai Ali Yafie Muda. (Koleksi foto Firmasyah Djibran)
Kiai Ali Yafie Muda. (Koleksi foto Firmasyah Djibran)

Suatu waktu, di sekitar akhir tahun 80-an atau mungkin awal tahun 90-an, Mas Ekie Syachrudin menelpon saya (di rumah) meminta untuk datang ke kantor Pan Asia di Patal Senayan. Kantor Pan Asia Research, yang dipimpin Mas Ekie, pada zaman Orde Baru, merupakan salah satu tempat yang paling  banyak di datangi oleh para aktifis dan tokoh-tokoh progresive, para pembaharu pada zamannya. 


Gus Dur, Nurcholis Madjid (Cak Nur), Utomo Dananjaya, Sucipto Wirosardjono, Fahmi Idris, para tokoh dan aktivis 66 lainnya sering berkumpul di situ. Ada banyak peristiwa penting pada zaman itu yang dimulai dari kantor itu. Majelis Reboan (majelis yang mempertemukan tokoh-tokoh modernis dan tradisionalis) misalnya, lahir dan memulai aktivitasnya di situ. 


Gagasan tentang Paramadina juga kayaknya lahir di situ. Bahkan Fordemnya Gus Dur juga lahir di situ. Paling tidak tokoh-tokohnya (Tolleng, Natsir, dll) biasa kumpul di situ. Mas Ekie, pemimpin Pan Asia, tampaknya punya daya rekat cukup kuat. 


Saya dulu (ketika baru memulai) bekerja di situ; sebagai peneliti (sosial budaya) dan trainer. Pan Asia ini kerjanya melakukan penelitian (sosial budaya) dan menyelenggarakan pendidikan (membangun kemandirian) bagi masyarakat dan komunitas lapis bawah. Saya aktif disitu dari awal tahun 1980-an (mungkin 1983) sampai akhir 1980-an. 


Bagi saya Mas Ekie adalah Bos sekaligus adalah sahabat. Orangnya memang temperamental, tetapi sangat bersahabat, hangat dan setia kawan. Dia spontan. Maka meskipun sudah tidak bekerja di Pan Asia, sudah aktif di tempat lain, hubungan saya dengan Mas Ekie tetap terjaga. Saya tetap datang dan membantu Pan Asia jika diminta. 


Maka begitu ditelpon, meskipun tidak aktif lagi di sana (waktu itu saya aktif di P3M dan PHT-FAO) saya begegas datang. Biasanya kalau mas Ekie menelpon ada sesuatu yang penting yang dia mau bicarakan. Saya tiba di sana sekitar jam 09.00 pagi. Mas Ekie sudah menunggu di teras depan.   


Begitu saya datang dia langsung mengajak dan menggandeng tangan saya masuk ke ruangannya. Di situ sudah ada teh dan kue-kue kecil. Itu membuat saya agak heran. Biasanya kalau urusan kantor atau kerjaan ngobrol di ruang tengah atau di ruang rapat. Biasa juga sih di ruang dia; tetapi jarang. Ini tidak seperti biasa. Seperti ada sesuatu yang penting (apalagi ketika mendengar suaranya waktu menelpon tadi) tetapi sikapnya rileks. Kantor juga ketika itu masih sepi.


Setelah kami duduk, berdua saja, berbasa-basi, menanyakan kabar keluarga, dia bertanya. "Bagaimana kabarnya bapak?" (maksudnya Kiai Ali Yafie). Saya menjawab baik, sehat, dan bertanya "Ada mas, kok pakai nanya Pak Ali Yafie". Sambil senyum-senyum dia berkata "Hel, apakah Bapak dan Ibu  sebelum menikah dulu itu pacaran?".  


Saya kaget dengan pertanyaan itu. "Bagaimana sih mas, Bapak dan Ibu saya itu orang zaman dulu ..  santri .. menikah pada awal tahun  1940-an .. di kampung .. jadi mana ada yang namanya pacaran". 


Dia mencecar lagi denga pertanyaan ".. Tetapi sebelumnya apakah sudah pernah bertemu". "Tidak pernah mas .. jarak kampung ibu dan kampung ayah itu cukup jauh untuk zaman itu .. mereka bertemu saat akad nikah". Saya jadi penasaran. "Ada apa sih mas .. kok pertanyaannya aneh".  


Sambil senyum-senyum, dia bilang "Tetapi kenapa kok romantis banget". "Romantis bagaimana mas .. dari mana Mas Ekie tau ?".  Kata saya nyengir. "Cak Nur (Nurcholis Madjid)  bilang ke saya .. kiai Ali Yafie itu romantis banget pada istrinya". "Loh .. dari mana Cak Nur tau ?". "Mereka kan baru-baru ini ber-sama-sama naik haji". 


Waktu itu Ayah dan Ibu saya memang baru pulang haji, bersama rombongan Tiga Utama (travel Haji, yang paling kondang pada zaman itu). Cak Nur dan Ayah saya memang bergabung menjadi pembimbing haji di Tiga Utama. "Bagaimana Cak Nur bisa sampai kepada kesimpulan Ayah dan Ibu saya (hubungannya) sangat romantis".  Tanya saya, penuh minat. 


Mas Ekie pun kemudian bercerita, kemarin dia ke rumah Cak Nur (yang baru pulang haji). Ada banyak cerita, tetapi yang paling menarik dan mengesankan, kata Mas Ekie, adalah kisah tentang Kiai Ali Yafie dan istrinya, Aisyah Umar. 


Konon pada satu waktu para pembimbing haji melakukan inspeksi ke Jedda. Karena sesuatu yang mendesak, tiba-tiba rombongan pembimbing saat itu juga harus segera ke Madinah. Tetapi sebelum berangkat Kiai Ali Yafie, meminta kertas dan amlop kepada staf Tiga Utama. Lalu menulis surat, pendek, dan meminta agar surat itu segera diantar ke istrinya, Ibu Aisyah Umar, di Makkah. 


Rombongan itu pada hari itu juga balik dan mereka tiba di hotel tempat mereka menginap di Makkah setelah magrib. Anehnya setelah sampai di hotel, tidak seperti biasanya, kebanyakan dari para istri dari rombongan itu menyambut suaminya dengan dingin. Karena sudah waktunya mereka pun langsung makan malam.  


Suasannya agak kikuk, karena banyak di antara para istri bergelombol makan dan bersikap cuek terhadap pasangannya dan ketika bicara lebih banyak memuji betapa baiknya Kiai Ali Yafie pada istrinya. Seharusnyalah dicontoh. Itu membuat Kiai Ali dan (terutama) Ibu Aisyah juga jadi salah tingkah; Ibu Aisyah seringkali tersipu malu. Entah karena ada Kiai Ali Yafie dan istrinya disitu para suami, meskipun heran dengan sikap istrinya, tidak komplain. Mereka juga ikut menimpali bhw;  Ibu Aisyah juga sangat baik kpd Kiai Ali Yafie. Tetapi suasana tetap kikuk. 


Setelah Kiai Ali Yafie dan istrinya masuk kamar, barulah ada di antara suami itu yang mempertanyakan sikap istrinya, "kenapa sih pada bersikap seperti itu .. sampai Ibu Aisyah jadi malu2 .. ada apa sebenarnya ..".  Setelah didesak  seorang di antara para istri itu mengatakan "... Apakah kalian memperhatikan tadi (waktu mau berangkat ke Madinah) Kiai Ali Yafie menyempatkan diri menulis surat ..?". Seseorang menjawab, "Iya .. saya melihat Kiai menulis surat .. tetapi apa hubungannya dengan kami", kata orang yang tadi pagi itu di dekat kiai Ali Yafie dan melihatnya menulis surat itu. "Itu surat untuk Istrinya".  Tetap saja para suami itu tdk faham apa yang sebenarnya yang terjadi, sampai Cak Nur meminta istrinya menceritakan apa yang terjadi. 


Istri Cak Nur kemudian menceritakan bahwa ibu Aisyah setelah menerima itu membawa dan membaca surat itu di kamarnya. Surat itu, setelah dibaca, diletakkan di atas meja dalam keadaan terbuka, dan terjatuh ke lantai ketika seseorang, dari istri rombongan pembimbing, untuk suatu keperluan masuk ke kamar menemui ibu Aisyah. 


Dia memungut dan meletakkan kembali di meja. Tetapi, karena tulisannya rapi dan singkat, maka sekilas, dengan sekali lihat, isinya sempat terbaca. Isinya  kurang lebih : "Saaya minta maaf, mendadak harus ke Madina bersama rombongan, untuk urusan jama'ah, dan tidak sempat lagi kembali ke hotel memberitahukan. Tetapi  insya Allah maghrib sudah kembali". Itu saja. 


Setelah keluar kamar ibu Aisyah, dia tidak tahan untuk tidak bercerita kepada kawan-kawannya tentang apa yang ditemuinya di kamar Ibu Aisyah. Lalu itu menjadi pembicaraan di antara mereka. 


Bagi ibu-ibu itu surat singkat dan sederhana itu dalam artinya. Ada banyak makna yang terkandung di dalamnya. Rasa sayang, penghargaan, kesetiaan, dsb. Paling tidak Kiai Ali tidak mau istrinya khawatir, tidak mengetahui ada di mana suaminya, bagaimana keadaan, kemana dia pergi, urusannya apa dan kepan kembali. 


Begitulah seharusnya suami terhadap istrinya. Kata para istrinya. Itu bentuk perhatian dan penghargaan. "Kiai Ali Yafie saja, yang sudah berusia, bisa begitu romantis .. sementara kalian yang lebih muda, yang sudah mengenal masa pacaran .. justru mengabaikan hal seperti itu". Kata yang lain. "kalau menghormati, sayang istri, seharusnya seperti kiai Ali Yafie itu".  Salah seorang suami berkilah, "Tetapi Ibu Aisyah sendiri kan sangat perhatian kepada Kiai Kiai Ali Yafie". Jadi heboh deh. 


Bagi para suami itu, itu hal mungkin sepele. Mungkin mereka menganggap bahwa karena kesibukan mereka, istrinya bisa memaklumi segala tingkah lakunya, di luar sana. Sudah faham apa yang mereka kerjaan. Ternyata berbeda cara pandangnya berbeda. Hal yang sepele bagi suami bisa begitu punya arti yang sangat dalam bagi istri. 


Itu bisa merupakan simbol, menunjukkan perhatian, tidak menyepelekan, dan rasa sayang. Mereka (kelompok istri dan kelompok suami) berdebat cukup lama. Tentu akhirnya berdamai sebelum beristurahat. Tetapi terus saja menjadi perbincangan. Dan mendatang respek. 


Peristiwa yang kelihatan sederhana, tanpaknya membekas bagi Cak Nur,  sehingga dia menceritakan peristiwa kepada sahabatnya, Ekie Syachrudin. "Luar biasa .. Kiai Ali Yafie itu Ek?". Begitu mas Ekie menutup ceritanya. Sejenak kemudian Mas Ekie dengan mata berbinar, sambil senyum-senyum kembali berkata kepada saya, "Luar biasa bapak itu ya Hel". Senyum Mas Eke itu khas jika menggumi sesuatu atau bercerita ttg sesuatu yang menyenangkan baginya.


Tetapi memang sepanjang  yang saya tau, Ibu dan Ayah saya itu mempunyai hubungan yang sangat baik, sampai akhir hayat keduanya. Mereka saling mendahulukan dan saling menunggu. Ibu saya sudah tahu kemana dan dimana ayah saya; begitu juga sebaliknya. Karena keduanya saling berbicara, saling memberitahukan apapun yang mereka lakukan dan alami. Di luar urusan pekerjaan mereka selalu pergi, datang dan pulang bersama. 


​​​​​​​Iibu saya tidak pernah makan sebelum Ayah saya tiba, kecuali Ayah saya sudah memberitahukan bhw dia tidak pulang atau harus nginap karena urusan pekerjaan atau organisasi. Begitu juga sebaliknya. Di luar urusan kantor atau urusan pekerjaan, mereka menghabisksn waktu bersama. Waktu2 tertentu mereka pergi berbelanja bersama, ke dokter bersama. 


Orang-orang di kampung menyebutnya "lamari sigandeng" (bhs bugis), artinya lemari terkait bergandengan. Jika Ayah saya sakit, ibu  kelihatan tegar mengurusnya. Dia tidak cengeng. Dia memang adalah ibu rumah tangga, tetapi dia kuat. Hampir tidak foto yang tidak menampilkan keduanya. Tentu ada beberapa. Tetapi lebih karena urusan pekerjaan. 


Bahasa yang mereka gunakan juga biasa2 saja. Begitu perlaku keduanya. Baik di dlm maupun di luar rumah. Bahkan mungkin kelihatan kolot. Tak ada yang berlebihan. Keduanya saling menyebut nama dengan tambahan kata (tradisi bugis) "puang" didepan nama nya (Puang Ali dan Puang Isa), ketika saling memanggil. Bahkan mungkin cenderung kedengaran datar, karena mereka tidak bersuara keras. Tetapi selalu kedengaran penuh kegembiraan. Saya tidak pernah mendengar keduanya berdebat atau beradu argumen. Mungkin pernah, tetapi tidak pernah di depan kami, anak2nya, apalagi dihadapan orang lain.


​​​​​​​Helmi Ali, Ketua Badan Pengawas Yayasan Rahima


Ngalogat Terbaru