• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Ngalogat

KH Badruzzaman, Kiai Tandur dari Kaplongan Indramayu

KH Badruzzaman, Kiai Tandur dari Kaplongan Indramayu
KH Badruzzaman, Pengasuh Pesantren Roudlotul Hidayah Kaplongan Indramayu.
KH Badruzzaman, Pengasuh Pesantren Roudlotul Hidayah Kaplongan Indramayu.

Oleh Yahya Ansori
Pagi ini (29/12), saya tertarik membaca artikel jabar.nu.or.id yang memuat empat tipe kiai yang disampaikan oleh Gus Dur kepada KH Manarul Hidayat. Kiai tandur, sembur, tutur, dan catur. Saya punya guru yang masuk dalam tipe pertama, kiai tandur. Kiai yang mengabdikan hidupnya untuk mengajar dan mendidik santri di pesantrennya, serta membimbing masyarakat di musala atau majelis taklim. Itulah gambaran yang tepat untuk guru saya, KH Badruzzaman.
Perkenalan saya dengan Kiai Badruzzaman berawal dari obrolan dengan bapak, saat saya masih berusia 10 tahun. Tak seperti biasanya, saat itu bapak ngobrol dengan saya agak serius. Biasanya hanya ngobrol sesuatu yang lucu, yang membuat kami sekeluarga tertawa lepas terbahak-bahak. 
“Nak, nanti ada kawan bapak namanya Kang Bad, akan pulang ke Kaplongan. Beliau teman bapak waktu di Pesantren Roudlotut Tholibin Babakan Ciwaringin. Nanti kalau beliau sudah di sini, kamu ngaji ke Kang Bad, ya?” ujar bapak. 

Saat itu saya berumur 10 tahun. Kelas 4 SD. Setamat ngaji Qur’an, saya menghafal kitab Al-Barzanji di surau peninggalan kakek di depan rumah.

Saya lalu bertanya kepada bapak, “Apa hebatnya beliau, Pak? Kenapa saya harus pindah ngaji?” 

“Kang Bad itu mondoknya lama. Bapak sudah punya anak empat, tapi dia baru pulang dari pesantren. Padahal dulu kami berangkat bareng di tahun 1971 ke Babakan Ciwaringin. Jadi ilmunya tentu sangat banyak. Belajarlah kepada beliau, ya?” 

Kang Bad atau KH Badruzaaman adalah kiai kebanggaan warga Indramayu Timur. Ia tinggal di desa Kaplongan Lor, Karangampel, Indramayu. Keseharian beliau adalah mengaji, mengajar para santri. Beliau bukan hanya mengaji di pesantren yang disasuhnya, tapi juga mengaji dari masjid ke masjid, dari surau ke surau. Kesibukannya luar biasa karena makin banyak yang memintanya ngaji rutin di masjid-masjid sekitar Karangampel. Bahkan terkadang ia pulang larut malam karena mengisi pengajian rutin di dua masjid sekaligus. Di masjid dan musala itu beliau biasa membacakan kitab-kitab masyhur seperti Taqrib, Sullamut Taufiq, Nashoihul Ibad, dan lain-lain.

Kang Bad biasa saya memanggilnya, adalah putra Kiai Nahrawi bin Kiai Arsyad bin Kiai Muslim. Kiai Arsyad adalah tokoh pejuang yang memimpin pertempuran melawan Jepang di Eretan Indramayu. 

Baca juga: KH Arsyad, Ulama NU Indramayu yang Melawan Kolonial Jepang

Saya mendengar banyak cerita perjuangan kemerdekaan saat itu dari bapak. Waktu kecil, bapak ngaji ke Kiai Arsyad. Sambil memijat kakinya, ia bercerita tentang perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan Jepang. Di kemudian hari saya diberi penjelasan, karena bapak dulu ngaji ke Kiai Arsyad, maka saya harus lanjut mengaji ke cucunya, yang mewarisi ilmu kakeknya dalam hal kedalaman ilmunya. 

Kiai Arsyad adalah adik dari kakek bapak, yaitu Kiai Mushonif bin Kiai Muslim. Pesan bapak ke saya,

“Perhatikan cara beliau mengaji, jangan sekedar fokus pada apa yang dibaca.”

Lalu saya laksanakan pesan itu. Saya lihat dari cara Kang Bad mengajar adalah akhlak. Sikap dan perilakunya ramah dan rendah hati. Belum pernah saya lihat ia membantah pendapat orang secara langsung. Sambil tersenyum, ia akan mencoba membaca literatur yang dihapalnya, membacanya, kemudian mengambil kesimpulan.

Keren sekali caranya dalam menjelaskan suatu masalah. Terlihat sederhana, khas kiai-kiai Nahdlatul Ulama. Tidak ada istilah yang sulit-sulit atau kata-kata modern. Kiai Badruzzaman adalah ulama yang mengamalkan ilmu tasawuf di era digital ini.

Beliau ngaji soal-soal tasawuf di pesantren Raudlotut Tholibin Tanggir Tuban, di bawah asuhan KH Muslih. Kiai Muslih adalah rujukan di masa itu di bidang tasawuf. Banyak ulama dari Indramayu dan Cirebon yang mengaji kepadanya. Di antara yang satu angkatan dengan Kang Bad adalah Kiai Ibnu Ubaidillah Syatori dari Arjawinangun dan Kiai Amin Mubarok (pernah menjadi Rais Syuriah PCNU Indramayu). 

Di bawah asuhan Kiai Muslih, Kang Bad belajar cukup lama, hjampir 10 tahun. Pada 1983, Kiai Muslih wafat. Sebagai santri senior, Kang Bad tidak diizinkan pulang. Ia diminta tetap tinggal dan mengajar santri sampai 1986.

Sementara itu kondisi desa Kaplongan sudah menantikan kepulangannya. Ayahnya, Kiai Nahrawi, merasa perlu memintanya segera pulang. Masjid Al-Hidayah Kaplongan yang baru saja dibangun saat itu, terasa hambar karena tidak ada yang serius mengisi pengajian saat itu. Atas permohonan ayahnya itu, akhirnya pulanglah Kang Bad ke kampung halaman. Masjid mulai terasa semarak dengan kehadirannya. Pada saat itulah saya mulai mengaji kepadanya, Saya kembali belajar Al-Qur’an dengan cara pesantren Kempek. Selesai mengaji, saya senang mendengarkan tuturan ceritanya, sambil memijat kakinya.

Di tahun 1988, saat saya masuk SMP, didirikanlah Pondok Pesantren Raudlotul Hidayah. Santri-santri mulai berdatangan dari berbagai daerah. Bahkan ada pula santri dari Tanggir. Para santri itu bukan hanya mengaji kitab-kitab khas pesantren, tapi ada juga yang kuliah berbagai kampus. 

Setelah 32 tahun berdiri, bekerja sama dengan Bazma (Badan Amil Zakat Pertamina Balongan), pesantren menyediakan beasiswa bagi santri yang menekuni tahfidz Al-Qur’an.

Baca juga: KH Syarif Tahmid Lakukan Tirakat Khusus Demi Kemajuan NU Indramayu

Pernah saya bertanya, apakah Kang Bad menekuni salah satu tarekat? Ia tak menjawabnya secara langsung. Mungkin saya belum waktunya mendapat jawaban dari pertanyaan semacam itu. Yang pasti kelihatan, laku tarekatnya adalah mengaji. 

Kang Bad menjalankan pesan gurunya, Kiai Muslih. Pesan yang selalu ditularkan ke semua murid dan jamaahnya. 

“Rajinlah ngaji supaya pinter, rajinlah jamaah supaya benar. Kalau sudah pinter dan benar, nanti Allah akan mengasihi kamu hingga tujuh turunan”. 

Konsistensi beliau mengaji di musala dan masjid selama lebih dari 35 tahun, itu merupakan laku yang luar biasa. Awalnya ia mendatangi semua lokasi pengajian itu dengan naik becak. Setelah ekonomi semakin berkembang, para jamaah menjemputnya dengan kendaraan bermotor saat pengajian tiba. Satu per satu jamaah yang mengantar-jemputnya wafat, dan Kiai Bad tetap istikomah mengajar. 

Bagi saya, Kiai Bad adalah monumen hidup kesederhanaan. Sosok yang saya teladani dalam menjalani kehidupan ini. Mencium tangannya, memandang wajahnya yang teduh, mendengar petuah-petuahnya, merupakan kebahagiaan yang tak terlukiskan. 
Semoga selalu sehat dan panjang umur, Kiai.

Penulis adalah alumni Pesantren Roudlotul Hidayah, Kaplongan, Indramayu.
 


Editor:

Ngalogat Terbaru