• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Ngalogat

Jejak dan Kedekatan Orang-orang Pesantren dengan Sastra

Jejak dan Kedekatan Orang-orang Pesantren dengan Sastra
Ilustrasi: Tebuireng Online
Ilustrasi: Tebuireng Online

Oleh KH Ahmad Zuhri Adnan

Pesantren bukanlah melulu sebagai tempat yang dihuni santri dengan bimbingan kyai yang hanya konsen menekuni ilmu agama.  Lebih dari itu pesantren juga sebagai lembaga penyemai kebudayaan dan kesusasteraan. Di pesantren sastra adalah salah satu  mainstream yang tumbuh subur mengiringi keberlangsungan rutinitas kegiatan pesantren.  Tokoh-tokoh sastrawan pun bermunculan dari pesantren sebut saja KH Mustofa Bisri (Gus Mus), D. Zawawi Imron, Emha Ainun Najib,  Acep Zamzam Noor dll. 

Lalu sejak kapan dan sejauh mana hubungan pesantren dan sastra? Menurut Ahmad Baso, pada abad 17 dan 18 pesantren menjadi tempat para pujangga dan sastrawan menghasilkan karya-karya sastra, termasuk pujangga-pujangga kraton seperti Yasadipura I. Nama aslinya adalah Bagus Banjar, putra Tumenggung Padmanegara bupati Pekalongan. Ayahnya ini masih keturunan Sultan Hadiwijaya raja Pajang. Sewaktu kecil Yasadipura I pernah berguru pada Kyai Honggomoyo, seorang ulama dari padepokan Magelang, dan wafat 1801.

Yasadipura I saat itu dikenal mengajarkan kesastraan Jawa maupun Arab. Dalam satu karya, Serat Cabolek, Yasadipura menggambarkan seorang ulama dari Kudus, pesisir Jawa Tengah, yang menunjukkan keahliannya dalam membaca dan menafsirkan naskah-naskah Jawa kuno di hadapan para priyayi Kraton Surakarta. Selain Yasadipura I, ada  Yasadipura II, dan Ranggawarsita, adalah santri-santri pesantren yang tekun mengembangkan karya-karya sastra dalam berbagai bentuk seperti kakawin, serat dan babad.

Sebelum itu Wali Songo (abad 15-16) yang notabenenya penyebar agama Islam di Indonesia sesungguhnya telah mengawali babakan sastra di Indonesia. Sebut saja Sunan Ampel (Raden rahmat, Lahir 1401) melahirkan produk sastra fenomenal berupa puji-pujian yang berisi ajaran tauhid berbasis akhlak yang sampai saat ini masih bisa kita dengar lewat musik kontemporer (dengan berbagai genrenya) yaitu teks lir ilir.

Demikian pula karya-karya Penghulu Haji Hassan Musthafa (1852-1930). Dari sekitar 49 buah karyanya, kebanyakan diperoleh dari tradisi kesastraan pesantren. Ciri khas kesastraan pengulu-kepala ini ada pada bentuk-bentuk bahasa yang berbentuk puisi, tapi penuh lelucon, plastis tapi orisinil. Selain itu, ia juga mengintegrasikan khazanah fiqih dan sufisme pesantren ke dalam adat kebiasaan orang Sunda dalam bentuk simbol-simbol pemaknaan yang akrab. 

Pada karya modern yang sudah menggunakan huruf Latin, ada Pahlawan ti Pesantren (Pahlawan dari Pesantren). Ini adalah sebuah roman dalam bahasa Sunda, yang menceritakan perjuangan para santri menghadapi kolonialisme Belanda karya Ki Umbara (Wiredja Ranusulaksana) (1914-2004) dan S.A. Hikmat (Soeboer Abdoerrachman) (1918-1971). 

Dalam bahasa Jawa, Serat Jatiswara, Serat Centhini, dan Serat Cabolek adalah contoh-contoh karya-karya pesantren dari wilayah pesisir utara Jawa. Ini adalah teks-teks sastra kaum santri sejak abad 17 dan 18, yang diproduksi di lingkungan kaum santri dan beredar di kalangan kaum santri, terutama di lingkungan masyarakat pesisir, yang kemudian dibakukan menjadi “milik kraton” oleh Yasadipura II pada pertengahan abad 19. Kisah perjalanan kaum santri pengembara (santri lelana) menuntut ilmu di berbagai pondok dan tempat keramat mendominasi karya-karya ini. Kekayaan tradisi keilmuan pesantren juga ditunjukkan dalam Hikayat Pocut Muhammad dan Hikayat Indrapura dalam beberapa versi lokalnya.

Demikian pula cerita epos I La Galigo, dengan tokoh protagonisnya, Sawerigading. Karya sastra berbahasa Bugis ini sepenuhnya berasal dari masa sebelum Islam. Namun, disisipkan satu versi cerita --lisan dan tertulis-- dimana Sawerigading nyantri ke Makkah, naik haji, bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, dan kembali ke kampungnya mendirikan “masigi”, mesjid plus pondok. Versi “Sawerigading santri” baik lisan maupun tulisan ini masih terpelihara di beberapa pesantren Bugis-Makassar. 

Sastra pesantren juga mengungkapkan diri dalam karya-karya etnografis-kesejarahan atau kisah-kisah perjalanan yang merekam tradisi-tradisi masyarakat setempat dalam bentuk sastra. Seperti dalam Poerwa Tjarita Bali, ditulis pada 1875 dalam bahasa Jawa, oleh seorang santri di Pondok Sepanjang, Malang, bernama Raden Sasrawijaya, asal Yogyakarta. Pengetahuan tentang “kota-kota, adat-istiadat pembesar dan orang kebanyakan yang tinggal di desa-desa” ini kemudian dituangkan sebagai bagian dari kegiatan bersastra (maguru ing sastra) orang-orang pesantren.

Pada 1960-an muncul nama Syu’bah Asa, Fudoli Zaini dan beberapa nama yang bisa dianggap mewakili kaum santri. Pada tahun 1970-an muncul Emha Ainun Nadjib (alumni Pesantren Gontor) dengan sajak-sajak religiusnya yang kental. Tahun 1980-an muncul KH Mustofa Bisri (Gus Mus, Pengasuh Ponpes Raudlatut Tholibin, Rembang), Jamal D Rahman, Acep Zamzam Noor (putra mantan Rais Aam Syuriyah PBNU KH Ilyas Rukyat Tasikmalaya), Ahmad Syubbanuddin Alwy (putra kiai dari Cirebon Timur), Abidah El-Khaleiqy, Ahmad Tohari (muballig pengasuh pesantren) dan lain-lain.

Kemudian pada tahun 1990-an tampil Mathori A Elwa, Hamdi Salad, Nasruddin Anshory, Kuswaidi Syafi’ie dan lain-lain. Dan di era 2000 muncul novelis (boleh juga dibilang sastrawan?) Habiburrahman Elsirazy. Meraka adalah sastrawan yang pernah belajar di pesantren, dan karya-karya mereka pada umumnya diwarnai napas Islam. 

Di pesantren, santri membaca atau menyanyikan puisi setiap hari. Tak ada hari tanpa santri membaca puisi, sendiri-sendiri atau bersama-sama. Utamanya adalah ‘diba’, sebuah antologi puisi karya Imam Abdurrahman Ad-Dayba’i ini dilakukan seminggu sekali oleh masyarakat pesantren. Dan khusus untuk genre puisi bahkan pesantren memasukkan sebuah ‘teori puisi’ berupa ilmu ‘arudl’ karya Al-Khalil bin Ahmad. Ilmu ‘arudl, adalah sebuah disiplin ilmu yang membahasa perihal penciptaan rima dan matra dalam puisi. Selain itu mereka membaca atau menyanyikan puisi Abu Nuwas, Sayyida Ali r.a., Imam Syafi’i, al-Bushiri (puisi burdah), prosa al-Barzanji (prosa karya Syekh Jakfar Albarzanji), dan lain-lain. Mereka membaca doa-doa, yang hampir semuanya berbentuk puisi. Bahkan tauhid dan tata bahasa Arab pun mereka pelajari melalui puisi, sambil menyanyikannya. Gambaran tersebut (dan fakta jejak orang pesantren di atas) cukup signifikan untuk dijadikan sebagai bukti kedekatan orang-orang pesantren/santri dengan tradisi sastra, khususnya puisi. 

Kemampuan yang ditunjukkan oleh civitas pesantren dalam bentuk kompetensi di bidang karang-mengarang, sastra maupun non-sastra. Puisi (syi’ir) menjadi ruh bagi hampir seluruh aktivitas keilmuannya. Berbagai macam disiplin ilmu keagamaan diajarkan melalui bait-bait puisi (nadham). Syi’ir-syi’ir ini tidak saja dipelajari, melainkan juga dihafalkan. Tradisi nadham dan hafalan menjadi dua serangkai yang nyaris tidak dapat dipisahkan. Yang paling masyhur bagi kita antara lain adalah buku kumpulan puisi Alfiyah karya Ibnu Malik. Kitab ini berisi 1000 larik puisi tentang ilmu tata bahasa Arab (gramatika), dan ada pula Nadham Maqshud, puisi yang mempelajari ilmu konjugasi/perubahan bentuk kata. Sehingga, jika dikatakan seseorang belajar Alfiyah atau ‘Amrithi dan Nadham Maqhsud, maka sejatinya dia sedang belajar ilmu nahwu melalaui puisi-puisi itu dengan cara menghafalkannya sekaligus. Selain itu situasi jiwa yang jauh dari rantau, orang tua dan sahabat, mengantarakan ‘proses kreatif’ para santri untuk berkarya membuat puisi (dan cerpen). Proses it uterus mengalir seiring ‘nyanyian jiwanya’ yang membuncah- yang sengaja atau tidak sengaja- menghasilkan karya sastra yang eksotis.

Sementara di bidang prosa (natsar: dan karya ilmiah) banyak kiai yang menulis kitab dan diterbitkan untuk umum, bahkan masyhur tidak saja di tanah air (Nusantara), melainkan hingga ke luar negeri, bahkan hingga jauh di tanah Arab. Terutama karya-karya ulama zaman dahulu. Sebut saja misalnya Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani, Syekh Nawawi al-Bantani (Nihayat az-Zain, Marahu Labid/Tafsir Munir), Syekh Yasin al-Fadani (Fawaidul Janiyyah, Hasyiyah Faraidul Bahiyyah), Kiai Ihsan Jampes (Siraj at-Thalibin), Kiai Ma’shum Ali (Amtsilat at-Thashrif), Kiai Hasyim Asy'ari (At-Tanbihat al-Wajibat) dan juga, yang muncul belakangan, Shohib Khaironi El Jawy yang menulis kitab panduan tata bahasa Arab dengan metode skema dan diagram yang memudahkan pembaca yang ingin mendalami ilmu nahwu-sharaf. Kitab karangannya ini, Audhlahul Manahij, bahkan telah “diakui” kompetensinya di negara-negara Arab (Em Syuhada’: 2008).

Demikianlah, pesantren, santri, dan kyai sebagai entitas yang menggeluti ilmu agama kerap menghasilkan produk sastra yang khas. 

Sikap inklusif dan moderat, serta menjaga kearifan lokal yang diajarkan kyai mengantarkan santri menjadi pribadi yang dekat dengan semua elemen dan dapat menyentuh  realitas sosial-budaya, sehingga secara pragmatis hasil sentuhan itu dijadikan sebagai mimesis dalam mengantarkan proses kreatif dalam menciptakan karya sastra

Dan pada akhirnya  santri  dapat menyumbangkan kecerdasan spiritual masyarakat melalui sarana sastra secara natural, eksotis dan nyentrik.

Penulis adalah Ketua LDNU Kabupaten Cirebon, Ketua MGMP Bahasa Indonesia Kabupaten Cirebon


Ngalogat Terbaru