Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim (3): Para Sekuleris dan Tokoh Islam
Jumat, 13 September 2024 | 14:47 WIB
Rudi Sirojudin Abas
Kontributor
Kemudian, selain persekutuan antara ulama-negara, faktor yang mempengaruhi otoritarianisme dan ketertinggalan sosial-ekonomi negara-negara di dunia Muslim (khususnya negara Muslim yang merdeka di abad ke-20) dipengaruhi oleh terpinggirnya para intelektual dan borjuasi. Hal itu dipengaruhi oleh keberadaan para pemimpin negaranya yang sekuleris.
Ada tiga alasan mengapa para pemimpin di negara merdeka Muslim kurang menghargai para intelektual dan ekonom.
Pertama, kebanyakan para pemimpin sekuler di negara Muslim seperti Turki, Iran, Mesir, Irak, Suriah, Aljazair, Tunisia, Pakistan, termasuk Indonesia adalah para eks militer. Karena latar kehidupan, pelatihan, dan pergaulannya, mereka tidak sungguh-sungguh menghargai pentingnya para intelektual dan borjuasi dalam pembangunan politik dan ekonomi di negaranya.
Kedua, pemimpin-pemimpin sekuleris umumnya berada di bawah pengaruh sisoalis dan fasis khususnya, dan gagasan otoriter umumnya. Pandangan-pandangan ideologis tersebut dipaksakan kepada masyarakat dan dijadikan kendali dalam pembangunan ekonomi dengan membatasi kelas intelektual dan borjuis.
Ketiga, banyak penguasa sekuleris dengan sewenang-wenang telah mencoba menggunakan Islam untuk mengesahkan dan menjadi tameng kelanggengan rezim mereka. Kooptasi itu, akhirnya mendukung para ulama yang telah mapan dan akhirnya mengorbankan para sarjana dan intelektual Islam yang independen.
Meskipun negara-negara Islam modern didirikan oleh para sekuleris, banyak negaranya yang mengalami Islamisasi dalam berbagai kehidupan sebagai hasil kegagalan dari kebijakan dan konservatisme umum masyarakat Muslim. Kondisi itu menjadikan tiga status kelompok (tokoh) Islam naik ke permukaan yang kemudian meminggirkan kembali kaum intelektual dan ekonomi.
Tiga tokoh Islam itu yakni (1) kelompok ulama yang dididik dan lahir dari pesantren atau pedanannya (seperti departemen teologi di Turki) yang menguasai berbagai disiplin ilmu Islam meliputi ilmu hukum, hadis, tafsir, dlsb; (2) kelompok Islamis pergerakan yang terlibat dalam pemilihan umum atau perpolitikan. Tidak sedikit dari mereka kemudian mendirikan dan bahkan menjadi pemimpin partai (khususnya partai Islam); dan (3) para syekh (Sufi mistikus) yang menjadi pemimpin tarekat Islam.
Realitas di lapangan, ketiga tokoh Islam di atas tidak serta merta mampu menguatkan keberpihakannya kepada para borjuis independen. Bahkan di satu sisi, di antara mereka pun belum sepenuhnya terjalin sebuah harmonisasi yang baik. Mereka terlalu mementingkan negara dan hierarki, dimana menurutnya otoritas keagamaan dan politik merupakan status sosial tertinggi dalam sebuah negara dibanding kaum intelektual dan ekonom.
Mengapa hal itu terjadi? Apa penyebab tokoh Islam hanya mementingkan asfek keagamaan, dalam hal ini ulama, dan politik serta mengesampingkan para intelektual dan borjuasi? Hal itu dipicu dari cara pandang ulama dalam memahami hierarkis empat sumber hukum agama: Qur'an, hadis (catatan ucapan dan tindakan Nabi), kesepakatan para ulama (ijma) dan penalaran analogi (qiyas).
Ada dua cara pandang dalam memahami epistemologi. Pertama, epistemologi membatasi penalaran dalam membuat analogi hanya dalam perkara atau kasus yang dimana makna harfiah Qur'an dan hadis tidak menawarkan keputusan yang jelas. Kedua, epistemologi menjadikan kesepakatan ulama sebagai otoritas yang sangat mapan, sehingga melemahkan pandangan-pandangan yang lain. Para ulama pun memonopoli konsep kesepakatan dengan secara eksklusif menafsirkan sesuatu dengan menggunakan rujukan mereka sendiri, dan mengubahnya menjadi "benteng konservatisme."
Epistemologi Hukum
Epistemologi hukum pada awalnya menempatkan keputusan yang berdasarkan akal dari seorang ahli hukum menjadi sumber terpenting sebagai otoritas yurisprudensi dalam hukum (fikih). Penggagas utama pandangan ini adalah ahli hukum sekaligus pendiri mazhab Sunni awal, Imam Abu Hanifah (699-767).
Namun dua generasi sesudah Imam Hanafi, yakni Imam Syafi'i, mengembangkan metode hukum yang memprioritaskan pemahaman harfiah Qur'an dan hadis, serta kesepakatan ulama dengan membatasi peran akal hanya dalam analogi sebagai unsur terpenting dalam otoritas yurisprudensi sebuah hukum. Epistemologi Syafi'i kemudian mendapatkan pengakuan terbaik dalam dunia hukum Islam setelah para pengikutnya, misalnya Imam Ghazali yang mengadopsi metodologi ke dalam kajian teologi dan sufisme.
Pada awalnya, metode Syafi'i merupakan satu di antara banyak pendekatan hukum alternatif. Namun dengan pendirian persekutuan ulama-negara mulai abad ke-11, metode Syafi'i kemudiaan menjadi tiang utama ortodoksi Sunni. Metodologi ini kemudian diikuti oleh tiga mazhab yang lainnya, Hanafi, Maliki, dan Hambali. Alhasil, metode hukum Syafi'i menjadi epistemologi dominan yang mengatur aspek-aspek pengetahuan lain di dunia Islam.
Realitas tersebut menjadikan metode Imam Syafi'i oleh cendikiawan Muslim Mohammad Abed al-Jabri pada tahun 1980-an disebutnya sebagai 'budaya fikih', hampir sama dengan 'budaya filsafat' untuk Yunani serta 'budaya sains dan teknologi' untuk negara Eropa era kontemporer.
Berawal dari metodologi yang dibangun Imam Syafi'i, kemudian muncullah gagasan lima "maksud" hukum Islam (maqashid syariah) yang kemudian dipertegas oleh ahli hukum Andalusia, Syatibi. Kelima maqashid syariah itu meliputi keamanan atau perlindungan atas agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta.
Di lain pihak, para syekh Sufi menjadikan pengetahuan mistik sebagai upaya pengenduran ketegangan epistemologi di kehidupan intelektual Muslim. Namun, upaya ini tidak signifikan berpengaruh dibanding epistemologi yang dominan dibangun dan dirumuskan Syafi'i yang menetapkan marginal untuk nalar dan tidak ada peran untuk pengalaman empiris. Kemudian epistemologi itu menjadi sumber anti-intelektualisme di antara ulama, Islamis, dan syekh Sufi.
Puncaknya, mulai tahun 1980-an saat banyaknya negara Muslim mengalami Islamisasi kehidupan publik sebagai bagian kebangkitan global gerakan-gerakan keagamaan, tiga tokoh Islam (ulama, Islamis, para Sufi) mendapat lebih banyak pengaruh publik dan memperkuat marginalisasi kelas intelektual dan borjuasi. Para sekuleris juga umumnya juga telah menjadi anti intelektual dan anti borjuis dalam menerapkan ideologi dan kebijakan sekuler otoriter. Imbas situasi ini, kondisi negara-negara Muslim kemudian banyak yang gagal untuk memecahkan masalah-masalah yang berwajah ganda dan berakar historis itu.
Pada akhir sesi bagian penjelasan Para Sekuleris dan Tokoh Islam, Ahmet T Kuru menyadari pesimistik masyarak Muslim yang memandang Islam secara inheren menolak pemisahan agama-negara. Bagi masyarakat Muslim, jika persekutuan negara-ulama merupakan salah satu sumber masalah ketertinggalan umat Muslim, maka tidak ada cara untuk memecahkan masalah tersebut karena persekutuan itu didasari oleh pendekatan Islam yang pada dasarnya tidak memisahkan antara relasi agama dan negara. Analisis Ahmet T Kuru sebenarnya menjelaskan bahwa persekutuan negara-ulama bukanlah bagian esensial dalam Al-Qur'an dan hadis maupun ciri permanen dalam sejarah Islam.
Sejarah awal Islam meliputi contoh-contoh pemisahan agama-negara, dan keliru kiranya memandang Islam secara inheren menolak pemisahan tersebut. Namun apa kiranya yang menjadi penyebab kesalahpahaman yang tersebar luas dan sekarang lazim itu?Bersambung!
Judul Buku: Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim.
Penyunting: Andya Primanda
Penerbit: PT Gramedia Jakarta
Cetakan: (1) Desember 2020 (2) Januari 2021 (3) Juni 2021 (4) Januari 2022 (5) September 2022 (6) November 2023
Tebal: 486 halaman
ISBN: 978-602-481-517-2
Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga pendidik
Terpopuler
1
Bangkitkan Semangat Wirausaha, Talk Show di Cirebon Ajak Perempuan Muda Jadi Pelaku Ekonomi Mandiri
2
Angkatan Pertama Beasiswa Kelas Khusus Ansor Lulus di STAI Al-Masthuriyah, Belasan Kader Resmi Menyandang Gelar Sarjana
3
PBNU Serukan Penghentian Perang Iran-Israel, Dorong Jalur Diplomasi
4
Kuota Haji 2026 Baru Akan Diumumkan pada 10 Juli 2025, Kemenag Masih Tunggu Kepastian
5
Koleksi Manuskrip Warisan Ulama Sunda, KH Enden Ahmad Muhibbuddin Jadi Rujukan Tim Peneliti Naskah Nusantara
6
Pengembangan Karakter Melalui Model Manajemen Manis
Terkini
Lihat Semua