Oleh Imam Mudofar
Sebuah Renungan
Saat anak-anak, saya pernah ikut bermain anyang-anyangan dengan kawan perempuan sebaya dulu. Anyang-anyangan di sini bukanlah istilah medis yang identik dengan rasa sakit saat hendak buang air kecil. Anyang-anyangan di sini adalah bahasa Sunda yang dipakai untuk istilah permainan anak-anak (khususnya anak perempuan).
Dalam permainan anyang-anyangan ini, anak-anak yang bermain membuat semacam peniruan aktifitas orang dewasa yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Semuanya dibuat dalam bentuk yang serba mini. Mulai dari rumah-rumahan, alat masak berukuran kecil, perabot rumah tangga, dan berbagai jenis alat-alat lainnya.
Dan yang paling menarik, bermain masak-masakan dengan menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar. Rerumputan, tumbuhan lainnya, batang ranting dan batu-batuan kecil. Bahkan ada "transaksi jual beli" dengan menggunakan uang dari dedaunan.
Dulu, saat saya ikut bermain anyang-anyangan, media yang digunakan adalah tanah kaolin atau tanah liat. Tanah ini bisa dengan mudah dibentuk sebagai apapun yang menyerupai barang-barang rumah tangga dalam ukuran sangat kecil. Membuat meja, kursi, hawu (tungku api) dan lain sebagainya. Biasanya anak-anak bemain anyang-anyangan saat siang. Sepulang dari sekolah. Dan berakhir sore hari karena harus siap-siap berangkat ngaji.
Saat waktu bermain sudah selesai, berbagai jenis anyang-anyangan yang dibuat dari tanah kaolin itu akan ditinggalkan begitu saja. Kalau besok mau bermain lagi, ya kita buat lagi dalam bentuk yang lain atau dalam bentuk yang sama seperti sebelumnya. Begitu seterusnya.
Rupanya permainan itu bukan sekedar permainan. Ada satu pesan mendalam yang ingin disampaikan lewat permainan sederhana itu. Sampai-sampai ada pepatah Sunda yang menyebutkan "hirup ngan saukur anyang-anyangan."
Saya memasuki fase hidup yang sesungguhnya ketika masuk usia 25 tahun. Menikah, berumah tangga, memiliki anak, dan membangun rumah. Pada saat membangun rumah, saya merasa seperti sedang dalam permainan anyang-anyangan. Meski ditempuh dengan proses yang berbeda, tapi memiliki ujung yang sama.
Apa yang kita tempuh, apa yang kita capai dan apa yang kita bangun hanya akan kita nikmati dalam tempo waktu yang relatif singkat. Jika patokannya usia baginda Nabi yang wafat di usia 63 tahun, waktu yang tersisa hanya sekitar 30 tahun. Kalau masa periode pemerintahan, berarti hanya enam periode. Kalau toh diberi umur panjang sampai di usia 90 tahun, atau 100 tahun, ya hanya tinggal menambahkan saja.
Namun yang pasti, saat waktu (hidup) kita sudah berakhir, apa yang kita bangun dalam kehidupan dunia yang serba singkat ini akan kita tinggalkan. Tidak ada satupun yang kita bawa. Sebagaimana dulu saat kanak-kanak kita bermain anyang-anyangan. Tapi sebagai manusia, tak ada salahnya jika kita sama-sama berdoa, semoga dalam kehidupan yang serba singkat ini, kita benar-benar hidup dengan penuh dengan makna dan keberkahan lainnya. amin.
Penulis: Imam Mudofar. Alumnus Pondok Pesantren Queen Al Falah Ploso-Kediri. Alumnus FIB Unair Surabaya. Saat ini aktif di Banser sebagai Kasatkorcab Banser Kabupaten Tasikmalaya.
Terpopuler
1
Jelang Konfercab Ke-3, Ketua Ranting NU Sidomulyo Sampaikan Harapan untuk NU Pangandaran
2
Perkuat Tata Kelola Organisasi, IPPNU Garut Gelar Pelatihan Administrasi Bersama Sekretaris Umum PP
3
Puncak Ibadah Haji Berakhir, Jamaah Mulai Dipulangkan ke Tanah Air pada 11 Juni 2025
4
Khutbah Jumat Singkat: Hikmah Dibalik Pelaksanaan Ibadah Haji dan Kurban di Bulan Dzulhijjah
5
PBNU Berencana Jadikan Indonesia Pusat Syariah Dunia
6
ARNU RW 22 Taman Cileunyi Laksanakan Pemotongan Hewan Kurban di Hari Tasyrik Kedua
Terkini
Lihat Semua