Oleh Mohammad Haqi
Hari Sabtu malam di tanggal 28 Juli 2024, saya menyaksikan pementasan teater di gedung kesenian Kota Tasikmalaya. Ini menjadi kali pertama saya menyaksikan pementasan teater di kota kelahiran dan masa kecil saya. Di masa-masa pertama saat studi di perguruan tinggi, karena sebagian lingkar pertemanan tergabung dalam kelompok teater, saya terbilang sering menyaksikan pementasan teater baik di tingkat fakultas, maupun universitas.
Pementasan kali ini diselenggarakan oleh kelompok teater Sanggar Harsa: sebuah sanggar seni yang bertempat di kompleks Pesantren Cipasung Kabupaten Tasikmalaya. Pementasan ini berjudul Awal dan Mira, diambil dari naskah drama berbentuk prosa karya Utuy Tatang Sontani.
Sebagai prolog kesan saya menyaksikan pementasan dari awal hingga akhir: ini terbilang cukup berat untuk ukuran wacana yang dipentaskan oleh mahasiswa jenjang pertama di masa perkuliahan mereka. Kendati demikian, pemeran sentral sebagai Awal dan Mira cukup matang dalam menghikmati dan mengaktualkan ketokohannya di atas panggung.
Sebelum masuk pada pembahasan mendetail isi cerita drama dalam satu babak ini, saya ingin mengemukakan (boleh tidak sependapat), bahwa tokoh yang diciptakan dalam seni drama: sebagaimana filsuf, seniman, atau komposer, adalah suatu arketipe yang menjadi cermin dalam memantulkan situasi zaman dengan kondisi dirinya.
Dengan demikian, kita bisa menilai kualitas ketokohan seseorang: bagaimana ia merespons sekaligus melampaui diri dari situasi zamannya. Dengan demikian, tokoh-tokoh arketipe tersebut dapat dibaca secara biografis dengan karya-karya yang diciptakannya.
Di pembuka pementasan drama, kita disuguhkan oleh musik pengantar (atau tancep kayon dalam pementasan wayang) berjudul Nurlela ciptaan Bing Slamet. Secara warna musik dan suasana yang diciptakan, lagu ini sangat representatif dalam menampilkan periode waktu: lagu ini pula yang menjadi salah satu soundtrack dalam film Gie yang memotret periode waktu serupa, dan kita bisa langsung meneroka bahwa periode waktu tersebut adalah era revolusi dan demokrasi terpimpin di bawah pimpinan paduka presiden Sukarno.
Kemudian secara muatan ideologi, kita juga bisa menelisik lagu dengan genre seperti ini banyak digunakan oleh kaum kiri, karena nuansa kerakyatannya yang kental. Kita juga bisa mengafirmasi bahwa seorang penulis naskah drama Awal dan Mira Utuy Tatang Sontani memiliki latar ideologi itu, dan memang benar, sejak tahun 1959 ia merupakan anggota pimpinan pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang terafiliasi langsung pada Partai Komunisme Indonesia (PKI). Dan secara otomatis, partai ini tergabung dalam pusat komando komunisme internasional (komintern) yang berporos di Uni Soviet.
Ketokohan Awal
Tokoh Awal adalah sosok bagian dari kaum muda yang progresif dan revolusioner di zamannya: ia berasal dari keluarga menak sehingga memiliki akses terbuka pada pendidikan, dan membuatnya menjadi seorang terpelajar. Kendati memiliki perbendaharaan menak dan terpelajar, namun Awal justru gelisah pada hal-hal yang sifatnya kerakyatan, yaitu nasib rakyat kecil, dan ketimpangan sosial.
Sementara Mira, merupakan sosok perempuan cantik dan unik. Meski tidak diperlihatkan apakah ia menerima pendidikan modern untuk bisa dikatakan terpelajar sebagaimana Awal, namun bagi saya, Mira cukup representatif dalam menggambarkan perempuan emansipasif di zamannya.
Pertama, Mira adalah perempuan mandiri meski dengan kondisi fisiknya yang terbatas, tetap bisa membersamai sang ibu, dan berpenghasilan sendiri: sebuah potret yang sama sebagaimana Inggit Garnasih saat menemani masa pembuangan Sukarno di Ende.
Kedua, Mira terbilang cukup modern dengan memilih jalan penghidupan dari keringatnya sendiri, sehingga tidak berpangku tangan dan menyerahkan hidup sepenuhnya pada laki-laki. Hal ini terlihat dalam satu dialog: Mira menolak ajakan untuk ikut dengan Awal dan meninggalkan kedai miliknya, Mira bersikukuh tetap tinggal di kedai kopi miliknya, kendati di akhir kisah drama kita melihat bahwa selama ini Mira begitu mencintai Awal dalam sikap diamnya.
Awal dan Mira dalam drama satu babak (Dokumen pribadi)
Kegelisahan Awal bermula dari kerinduannya pada manusia, kita tidak tahu manusia macam apa yang dirindukan atau diidealkan dalam pikiran Awal. Namun yang jelas, periode waktu (1959, sesuai tahun terbitnya naskah drama ini) sedang mengalami krisis yang biasanya menjadi penanda terjadinya perubahan dan akan mengalami zaman peralihan. Dan dari sinilah ketokohan Awal muncul dalam realitas sosial politik yang mulai berkecamuk itu. Realitas sosial politik ini pula yang menjadi latar Awal melihat citra manusia-manusia yang ditemuinya: kering seperti kemarau panjang.
Dengan hal itu, kita menyaksikan sepanjang pementasan berlangsung, pembawaan dari sosok Awal keluar dengan ekspresi marah-marah. Meski dalam pembacaan saya, hal itu sebenarnya bukan karakternya sendiri, itu terjadi seperti di luar kendali Awal karena merespons situasi yang memang sedang terjadi kekeringan sosial politik layaknya kemarau panjang dan mengakibatkan paceklik. Dan musim paceklik itu terlihat dan berimbas pada kedai kopi Mira yang sepi akan pembeli.
Manusia-manusia kering yang selalu terlontar dalam dialog Awal kepada Mira, pada faktanya ia tidak menyadari bahwa hal demikian terjadi pada dirinya. Kita bisa melihatnya saat terjadi dialog lirih di antara keduanya: Awal berujar bahwa Mira terlampau diam pada perasaannya yang butuh jawaban dan membiarkan keadaan rohaninya menjadi kering.
Di samping itu, Awal juga tidak menyadari bahwa tubuhnya sakit karena terlalu sibuk pada kegelisahan yang ada dalam pikirannya. Namun kegelisahan dan kerinduan pada manusia selalu ia proyeksikan pada orang lain (sesuatu yang di luar), sehingga ketika kegelisahan itu tidak menemukan jawaban atau tidak menemukan sosok manusia yang dirindukannya, segera ia dibuat marah, dan serta merta menyalahkan orang lain dengan sebutan badut.
Awal terlampau bertumpu, dan dibuat terpusatkan hanya pada pikirannya sendiri. Lalu ketika ide dalam pikiran itu tidak menemukan realitasnya sendiri dan fakta yang terjadi tidak sesuai dalam ide, ia tetap terus bertumpu dan menyandarkan diri pada akal pikiran yang rasional. Dan situlah kegagalan Awal: ia gagal menemukan dirinya sendiri sebagai realitas pertama, sehingga ia kehilangan kendali yang kemudian meluber pada realitas yang di luar serta terus membuatnya kecewa dan marah-marah.
Lantas apakah Awal salah?, tentu tidak: Awal sudah benar dengan melakukan kritik pada masyarakatnya yang terlalu mengedepankan normativitas semu, percaya begitu saja pada suara-suara penguasa di radio, dan hirau pada fakta krisis yang sedang terjadi. Sementara bagi Awal yang terpelajar, ia bisa membaca bahwa fakta krisis yang terjadi merupakan faktor kebijakan struktural dan implikasi dari kekuasaan. Awal menuntut masyarakat untuk tidak diam saja atas apa yang terjadi, serta menyadarkan masyarakat untuk mencari jalan keluar.
Dan di sini pula, kita melihat kegagalan Awal dalam mengetengahkan persoalan sosial politik zamannya itu: ia terlampau memaksakan kehendak dan bersandar pada gagasan kiri yang dipilihnya. Sehingga, ketika gagasan revolusioner kirinya tidak beriring dengan masyarakat yang diperjuangkannya, ia berada di ambang batas persimpangan jalan.
Mungkin tepat kiranya apa yang telah ditulis oleh Soe Hok Gie yang kemudian menjadi karya skripsinya: tokoh Awal bagi saya adalah potret dari Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan itu. Jalan kiri yang ditempuhnya mentok dan mengalami kebuntuan di zaman yang sedang bergolak dan akan mengalami peralihan menuju zaman baru. Dan di akhir cerita, drama ini sebagaimana kisah-kisah cinta romantik yang kebanyakan jika tidak berujung tragis, maka berujung absurd. Cinta Awal dan Mira menggantung begitu saja tanpa akhir yang jelas.
Melihat Kembali Agama Sebagai Kekuatan: Sebuah Refleksi Atas Pementasan
Dalam pementasan drama, kita melihat tokoh Awal dari sudut pandang mikro: latar keluarga, kepribadian, gejolak psikologis, juga kisah cinta. Selanjutnya, kita akan menelisik tokoh Awal dari segi makro. Sebagaimana yang telah diuraikan, Awal hidup di masa Perang Dingin sedang berlangsung: blok Eropa Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dengan ideologi demokrasi liberal (kapitalisme), dan blok Eropa Timur di bawah komintern Uni Soviet dengan ideologi marxisme-komunis.
Kedua ideologi tersebut sebagaimana kita tahu, merupakan produk abad pencerahan yang melahirkan masyarakat rasional dan berimplikasi pada peradaban sekuler. Gerak geopolitik dan peradaban ini, menjadi serta mengubah landscape sejarah dunia. Di akhir periode perang dingin, Uni Soviet runtuh dan ideologi komunisme mengalami kebangkrutan. Dan hari ini, kita menyaksikan Amerika Serikat menjadi negara paling digdaya dengan demokrasi liberalnya dan menggerakan kapitalisme dunia.
Francis Fukuyama, seorang pemikir politik: pembela sekaligus pengkritik demokrasi, menulis dalam satu karyanya berjudul The End of History and The Last Man, ia berpendapat (kendati tempo tahun telah merevisinya) bahwa kapitalisme dan demokrasi liberal yang diusung oleh Amerika Serikat merupakan akhir dari sejarah peradaban umat manusia. Fukuyama melihat Amerika di samping pemenang dari Perang Dunia dan barometer demokrasi dunia, melihat tidak ada kekuatan besar lain yang bisa mengalahkan itu.
Dan bagaimana pun, demokrasi merupakan kelanjutan dari liberalisme dengan corak asalnya yang sekuler. Namun di balik kemegahan kapitalisme dan kebebasan yang diasaskan pada demokrasi, telah berimplikasi pada disorientasi fitrah dan pencarian makna manusia. Kebebasan dalam demokrasi liberal berpaling dari janji teologis, sehingga bersifat destruktif dan menghancurkan. Karenanya, janji-janji pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang berjalan juga bersifat merusak lingkungan sekitarnya.
Adalah Nurcholis Madjid, seorang cendekia asal Indonesia yang mencoba mengetengahkan persoalan itu semua. Nurcholis tidak menolak demokrasi, baginya demokrasi merupakan asas paling ideal dalam mengatur kehidupan bernegara dan berkebangsaan: ia merujuk pada Piagam Madinah dan terpilihnya Abu Bakar pasca nabi wafat merupakan suksesi keterpilihan yang demokratis. Kemudian Nurcholis menawarkan gagasan sekularisasi: dengan ungkapannya yang menghebohkan “Islam Yes, Partai Islam No”. Sekularisasi yang digagas Nurcholis bukan sekularisasi sebagaimana pengalaman Barat, namun sekularisasi yang justru melawat dari agama sebagai pengubah dan penggerak sejarah.
Lalu bagaimana agama seharusnya dipahami untuk ia bisa mengubah gerak sejarah itu? karena zaman yang diantarkan oleh Nurcholis hingga era reformasi, agama masih menjadi populisme sebagaimana terjadi populisme dalam bentuk lain di Amerika Serikat dengan terpilihnya Donald Trump.
Meski populisme tidak akan terelakkan dari demokrasi, karena ia bersifat arketipe dominasi (dalam istilah Horkheimer): suatu prinsip historis yang akan mewujud bukan karena waktu dan tempat, namun bila sesuai dengan kondisi waktu khusus dari waktu dan tempat tertentu. Terlepas dari itu, demokrasi bisa bersifat religius bila ia ditopang oleh nilai-nilai kebudayaan. Dan Indonesia memiliki potensi itu, untuk menjadi udara segar dunia atas keringnya demokrasi liberal yang sifatnya sekuler dan destruktif selama ini.
Agama, terlebih Islam, telah bersemai di Indonesia. Karena dari permulaan abad persebarannya, Islam mampu berdialog dengan nilai-nilai budaya yang sangat beragam di seluruh kepulauan. Islam sebagaimana doktrinnya sebagai rahmat bagi alam semesta, harus bisa merangkul segala ekspresi budaya yang ada (lokalitas). Juga sebaliknya, budaya (lokalitas) harus membuka diri pada agama yang bersifat universal.
Dengan demikian, agama tidak akan mencerabut fitrah manusia yang terlahir dari akar budaya berbeda-beda, dan budaya tidak kehilangan daya universalitasnya karena mampu berdialog dengan agama. Indonesia memiliki kekuatan yang bersumber dari kekayaan budaya yang sangat beragam, dan di dalamnya sudah terdapat saripati agama yang telah disemaikan. Bila kekayaan itu mampu diejawantahkan ulang dan terkelola dengan baik, agama dengan ekspresi kebudayaannya bisa menjadi kekuatan baru untuk peradaban dunia abad ini dan abad-abad kemudian. Wallahu’alam
Penulis menyelesaikan studi sarjana di ilmu sejarah Universitas Negeri Yogyakarta. Sedang menekuni dunia antropologi dan kesusastraan. Aktif di Komunitas Kuluwung, dan bekerja paruh waktu di Langgar.co
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 1446 H: Menghidupkan Jiwa dalam Keikhlasan dan Kepedulian pada Sesama di Hari Raya
2
Khutbah Idul Adha Basa Sunda: Kurban Janten Wujud Kapatuhan sarta Tarekah Keur Ngadeketkeun Diri ka Alloh
3
Prediksi Posisi Timnas Indonesia Jika Kalah, Seri Maupun Menang Lawan China di Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia
4
Memahami Makna Hari Arafah, Hari Kedua Puncak Ibadah Haji
5
Memahami Makna Hari Tarwiyah, Hari Pertama Puncak Ibadah Haji
6
Gelaran Khatmil Qur'an Jadi Cara SMP Fauzaniyyah Garut Warnai Syukuran Kelulusan Santri dan Siswa
Terkini
Lihat Semua