• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Nasional

Makna Filosofis Punakawan pada Wayang Golek: dari Semar, Cepot, Dawala, hingga Gareng

Makna Filosofis Punakawan pada Wayang Golek: dari Semar, Cepot, Dawala, hingga Gareng
Pentas wayang golek Dadan Sunandar Sunarya (Foto: NU Online Jabar/Ayobandung.com)
Pentas wayang golek Dadan Sunandar Sunarya (Foto: NU Online Jabar/Ayobandung.com)

Bandung, NU Online Jabar 
Ki Dalang Dadan Sunandar Sunarya menjelaskan bahwa basis cerita wayang golek bersumber dari kitab Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari India. Dua kisah itu memiliki kepercayaan dan kebudayaan yang berbeda dengan Nusantara. Kemudian Wali Songo memodifikasinya menjadi cerita dengan aqidah Islam. 

Baheula mah, tiket nonton wayang teh ku syahadat,” ungkap putra Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya ini saat menjadi bintang tamu Guar Budaya Jumat (19/3) pekan lalu. Acara itu bisa disaksikan di link di bawah ini:

Dengan tiket syahadat, kata Dadan, secara tidak langsung, Wali Songo sudah mengislamkan para penontonnya. 

Baca: Ki Dalang Dadan Sunandar Sunarya Ungkap Kisah Mahabharata dan Ramayana Jadi Cerita Islam dengan Wayang

Dadan juga menyebutkan bahwa dalam wayang muncul istilah punakawan yang tidak ada dalam kitab Mahabharata dan Ramayana. Pasalnya, pada dua kitab itu bercerita tentang tokoh-tokoh berkasta tinggi.  

Punakawan pada wayang, kata Dadan, adalah perwakilan dari masyarakat kecil. Mereka adalah Semar dan anak-anaknya: Cepot, Dawala, dan Gareng. 

Kemudian Dadan menjelaskan filosofi mereka. Semar, misalnya, bertubuh hitam, tapi bermuka putih, sementara di dahinya ada kukuncungan, kemudian tangan kanan mengacungkan jari telunjuk sisanya terkepal, sementara tangan kiri yang berjari lima terbuka lebar.

Menurut Dadan, Semar yang putih adalah gambaran hatinya yang bersih. Begitu juga untuk melihat kondisi seseorang, kita bisa melihat mukanya. Seseorang dalam keadaan bahagia dan bingung akan tampak dalam wajah. 

Sementara tubuh Semar yang berwarna hitam adalah simbol tanah yang penyabar dan penerima. Tanah yang diinjak dan bahkan dikencingi manusia, ia menerima saja. Hal itu tergambar dalam sifat Semar yang sering dicaci, dimaki, tapi ia menerimanya dengan hati bersih.

Baca: Kisah Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya Nyantri kepada Kiai secara Tersembunyi 

Tah urang ge kitu, dicaci, maki, dihina, jiwa mah kudu tetep angger sabab nu nyaci, nu muji tetep datangna ti Allah keneh hakekatna mah. Kumaha posisi jiwa urang dipuji teh rek sombong atanapi riya? Dihina teh naha rek pundung, rek sedih? Padahal kudu angger posisi mah, kudu manteng, nu mawi Semar aya kukuncungan di tengah, manteng, istiqomah, di tengah-tengah, manteng ka Nu Kagungan."  

Kemudian, Ki Dalang Dadan menjelaskan tangan Semar selalu dengan jari telunjuk teracung, sementara jari kanan kiri terbuka. Jari telunjuk bermakna Zat Yang Satu, berpegang teguh pada la ilaha illallah. Sementara tangan kiri dengan jari terbuka menunjukkan jumlah lim. Artinya melaksanakan kewajiban yang lima waktu, yaitu shalat dalam sehari semalam, 17 rakaat.  

Sementara putra-putra Semar memiliki beberapa versi misalnya jika dibandingkan dengan wayang kulit. Dalam wayang golek disebut Cepot di dalam wayang kulit disebut Bagong. Sementara posisinya, di dalam wayang golek, Cepot sebagai anak cikal, sementara di dalam wayang kulit bungsu. 

Cepot yang bermuka merah, merupakan simbol hawa nafsu atau keberanian tergantung penafsiran. Bendera Indonesia, misalnya, kata Dadan, bersimbol merah putih. Nah, merah pada bendera bukan nafsu, tapi berani. Hal itu sama dengan simbol merah di muka Cepot yang berani. Artinya ia berani demi membela kebenaran takut karena salah. Dawala artinya bijaksana. Sementara Gareng dari goreng, artinya orang yang berkata garihal atau kasar.

Pewarta: Abdullah Alawi  
 


Nasional Terbaru