• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Kuluwung

Menjumpai Puisi Rumi dalam Relasi Monogami

Menjumpai Puisi Rumi dalam Relasi Monogami
Menjumpai Puisi Rumi dalam Relasi Monogami (Foto: freepik)
Menjumpai Puisi Rumi dalam Relasi Monogami (Foto: freepik)

"Cita-cita Islam dalam pernikahan adalah menciptakan kondisi yang Samawa." Islam moderat mengajarkan bukan hanya mendengarkan perempuan, tapi juga bagaimana menghargai perasaan perempuan. Bermonogami merupakan salah satu cara untuk mendapatkan pernikahan yang menimbulkan kemaslahatan. 


Kita sebagai generasi muda yang sedang mati-matian memperjuangkan hubungan sampai pada tingkatan pernikahan (para calon pasangan), mari bersama mewujudkan pernikahan monogami yang bahagia. Yuk bisa yuk!. 


Dalam salah satu buku yang mengulas perihal monogami; “Sunnah Monogami: Mengaji Al-Qur’an dan Hadis”, karya Dr. Faqihuddin Abdul Qodir, MA. (Monogami merupakan satu cara untuk mendapatkan pernikahan yang menimbulkan kemaslahatan dalam kehidupan. Kemaslahatan itulah yang dapat menegakkan keadilan.


Tujuan perkawinan dalam Islam adalah monogami, menciptakan kehidupan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (Samawa) bagi suami dan istri. Monogami merupakan sistem sekaligus pintu utama untuk mewujudkan tujuan perkawinan yang adil, penuh rahmat, dan penuh ketenangan jiwa bagi pasangan suami istri.


Setidaknya terdapat tiga titik dalam menjalani hidup berumah tangga, yakni Pertama titik terendah. Perkawinan merupakan anugerah yang hanya dapat dirasakan oleh suami. Hal ini memberikan lampu untuk berpoligami tanpa batas dan syarat. Ini sangat sering terjadi sebelum Islam berkembang.


Kedua, titik menengah, merupakan target antara perkawinan yang menjadi anugerah terutama bagi suami. Proses ini menjelaskan poligami maksimal empat dengan syarat adil. Ketiga, titik tertinggi, merupakan tujuan final sebuah perkawinan yang menjadi anugerah bagi suami dan istri, yaitu monogami yang adil. 


Monogami adalah tujuan akhir dalam sebuah kehidupan pernikahan yang adil dan bentuk pengakuan Islam atas keberadaan dan kesetaraan untuk perempuan. Jalaludin Rumi sendiri sampai akhir hayatnya mempraktikan perkawinan monogami. Ia baru menikah lagi setelah istri pertamanya meninggal dunia.


Fakta-fakta dalam catatan sejarah yang merupakan ‘behind the scenes’ pandangan Rumi tentang perempuan dapat menjadi pedoman atau panduan dalam menafsirkan kembali teks-teks puisi Rumi terkait dengan prinsip kesalingan dalam sebuah hubungan. Prinsip yang saat ini, barangkali masih relevan dan dibutuhkan sebagai pilar utama keluarga. 


Perasaan cinta yang tumbuh kepada lawan jenis adalah fitrah dan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT kepada makhluknya yang ada di dunia. 


Hidup ini bukanlah tentang mereka yang berbuat baik di hadapanmu, namun tentang mereka yang tetap setia di belakangmu. Laksana getaran frekuensi kasmaran dua sejoli yang menyalakan sinyal monogami berbentuk tulus cinta dengan satu hati didalam hati. 


Puisi Rumi menunjukkan metafora hubungan kesalingan dalam sebuah hubungan. Ketika Rumi menggambarkan "langit" sebagai laki-laki dan "bumi" sebagai perempuan, tentu bukan sedang menggambarkan keterjarakan antara langit terhadap bumi. 


Tetapi, adanya frekuensi kesalingan hubungan-saling ketergantungan antara unsur-unsur di langit dan bumi. 


Hikmat Tuhan dalam qada dan qadarnya
Ia jadikan kita para pecinta satu sama lainnya


Seluruh bagian alam tercipta karena ketetapannya
Berpasangan dan menjadi para pecinta pasangannya


Seperti langit yang berkata pada bumi
Engkau dan aku ibarat magnet dan besi
Jika langit adalah lelaki maka bumi sebagai perempuan


Setiap butir biji yang jatuh, bumi akan memeluk dan merawatnya

(Rumi, Matsnawi jilid 3, bait 4400-4404)


Abdul Majid Ramdhani, salah seorang kontributor dari Cirebon, juga alumni santri Ponpes Al-Hamidiyah Depok
 


Kuluwung Terbaru