• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Kuluwung

Puisi: Nggak Cuma Modal Gombal 

Puisi: Nggak Cuma Modal Gombal 
Puisi: Nggak Cuma Modal Gombal (Ilustrasi: AM/freepik)
Puisi: Nggak Cuma Modal Gombal (Ilustrasi: AM/freepik)

Puisi. Ada banyak jenis puisi dan tentu setiap karya puisi punya 'Metode PDKT' atau pendekatan masing-masing. Setiap penyair selalu punya cara untuk melahirkan karya. Setidak-tidaknya minimal penyair memberikan kesan mendalam bagi siapa saja yang membacanya. 


Dengan kata lain, seorang penyair harus intens dengan gerakan sosial dan kesadaran sosial karena jika penyair terlalu jauh jarak dengan realitas sosial, maka sering terjadi kesenjangan pemahaman antara pesan dan kemampuan menangkap pesan dari publik. 


Seharusnya penyair menjadi sentral dari dunia kepenyairan itu bukan malah menjadi termarjinalkan, dibutuhkan pemihakan bahwa puisi dapat membangun kelembutan, rasa, cinta kedamaian. Nilai puisi tidak semata-mata terletak pada apa yang diungkapkan, tapi lebih pada bagaimana cara mengungkapkan. (Hal.22, Puisi, Buku Puisi dan Bulu Kuduk). 


Buku Puisi dan Bulu Kuduk ini menghimpun esai-esai yang berhubungan dengan puisi, terutama yang ada kaitannya dengan apresiasi dan proses kreatif karya penyair Acep Zamzam Noor. Tulisan-tulisan dalam buku ini juga memuat tentang kepenyairannya, teman-teman seangkatannya, serta kesaksian seorang Acep terhadap hubungan diri dan zamannya. 


"Saya selalu kebingungan jika ditanya puisi yang seperti apakah yang baik itu. Saya juga akan kebingungan jika ditanya bagus mana antara puisi cinta dan puisi protes, antara puisi pendek dan puisi panjang, antara puisi yang sulit dan mudah dipahami, atau puisi yang ditulis wanita dan lelaki. Saya selalu menjawab bahwa puisi yang baik adalah puisi yang menggetarkan pembacanya, tak peduli apakah itu puisi cinta atau protes, puisi pendek atau panjang, mudah atau sulit dipahami, ditulis wanita atau lelaki. 


Jadi ukurannya adalah bulu kuduk. Jika saya membaca sebuah puisi dan saya merasa tergetar hingga bulu kuduk saya merinding, apalagi jika tubuh saya sampai menggigil, maka puisi yang saya baca itu adalah puisi yang baik. Puisi yang bisa memberikan pengaruh kepada pembacanya." 


"Saya selalu tergoda untuk mengubah nama-nama penyair muda yang rasanya kurang pas sebagai nama penyair," kutipan ini saya ambil dari beliau dalam buku Puisi dan Bulu Kuduk. 


Sebagai penulis pemula, "saya kok jadi kepingin juga begitu, agar nama saya (Abdul Majid Ramdhani) juga dapat digubah oleh beliau," semoga beliau berkenan menyematkan nama pena atau nama panggung bagi saya dikemudian hari.


Acep Zamzam Noor, dan nama lengkap beliau adalah Muhammad Zamzam Noor Ilyas yang merupakan anak sulung dari Ajengan (KH) Ilyas Ruhiyat. Melalui ketajaman batinnya, Kang Acep memberikan pedoman baru dalam bidang sastra dan bahasa. Membaca karya beliau (Puisi dan Bulu Kuduk), bagaikan membaca kesederhanaan dari pijar sastra pesantren yang justru memperlihatkan perpaduan tradisi tekstual khas santri tradisional. 


Pada buku yang bertajuk "Puisi dan Bulu Kuduk" ; Penerbit, Nuansa Cendekia. Cetakan I, Juni 2011. Tebal: 290 Halaman. Buku yang hampir 300 halaman ini telah memikat saya, di kala itu saya sengaja pergi ke toko buku untuk mencari buku-buku kuliah (Ilmu Komunikasi). Tapi saya menemukan buku ini diantara deretan buku fiksi lainnya. 


Inilah awal mula saya 'berkenalan' dengan Kang Acep Zamzam Noor. Meski saya bukan mahasiswa Sastra Indonesia dan boleh jadi tergolong terlambat menemukan buku ini. Buku yang berhasil bikin bulu kuduk saya berdiri saat membaca bab Pesantren, Santri, Puisi. 


Betapa beruntungnya saya yang juga jebolan pesantren dengan memiliki dan membaca buku karya Kang Acep Zamzam Noor ini. Sebagai santri yang menyukai puisi dan acapkali dianggap teman-teman di asrama hanya "bermodal gombal" untuk menulis puisi. 


Namun kehadiran kumpulan esai Puisi dan Bulu Kuduk telah mematahkan anggapan teman-teman santri saya. Bahwa menulis puisi tidak semata-mata piawai merangkai kata-kata indah yang ditenagai oleh kekuatan rasa atau menulis menggunakan hati. Tetapi memilih kesenian sebagai medan perjuangan. 


Dengan membaca buku Puisi dan Bulu Kuduk, penulis terpulihkan wawasannya bahwa perkembangan kepenyairan bukanlah perkembangan yang linier, melainkan perkembangan yang sulit diprediksi atau ditebak. Banyaknya orang menulis puisi, riuh ramainya penerbitan buku puisi di era digital kini belum tentu menandakan suatu perkembangan yang baik. Namun dalam rangka Hari Puisi Indonesia, 26 Juli tahun 2023, penulis yakin akan lahir penyair-penyair yang baik dari berbagai kalangan muda termasuk kaum santri yang akan memberi corak warna serta gairah pada dunia perpuisian Indonesia dan generasi itu akan mewariskan sesuatu. 


Abdul Majid Ramdhani, salah seorang kontributor dari Cirebon, juga alumni santri Ponpes Al-Hamidiyah Depok


Kuluwung Terbaru