Bunga Kamasan yang Terlupakan
Ia menenun masa
Di antara jaman kisruh merapuh
Ia menyulam waktu
Di antara rindu memburu haru
Tinta terlanjur kering
Di balik catatan kehidupan
Benang-benang merakit sejarah
Luka lumpuh beribu peluh
Ia ibu sang waktu
Menemani di balik jeruji
Terlempar jauh dari tanah kelahiran
Menunggu di balik layar kesepian
Malam menelan gundahnya
Siang menepi doa-doa nya
Bunga kamasan di persimpangan
Membaca doa di selasar gedung merdeka
Menyapu luka sang proklamator
Mengusap pilu di ujung kilometer
Kebaya tanpa renda di lipatnya
Di lemari usang tanpa ukiran
Hatinya berbisik pada sunyi
Tanpa penghormatan pun tak apa
Tanpa ucapan pun tak apa
Demi bumi pertiwi
Selendang malam di lepas sunyi
Tanpa alas kaki dan lencana
Buku tua tanpa catatan
Apalagi kartu ucapan
Ibu...
Doa mu tercatat di ribuan daun
Di rintik hujan kota kembang
Di sepanjang jalan kenangan
Ia menatap sayu membisu
Di balik jendela peristirahatan
Menitip rindu pada merpati
Pada musim yang berganti
Tanah air tumpah darah
Sulaman kain merah putih
Benang panjang kemerdekaan
Bendera tanah pusaka
Negeriku...
Saatnya aku merebahkan badan
Di tanah akhir peristirahatan
Tanpa sambutan dan penghormatan
Cintanya mengantarkan kemerdekaan
Cintanya adalah kebebasan
Terbawa ke langit-langit tanpa tiang
Cintanya mengalir hening tanpa suara
Sulaman itu masih ada
Di hati kami dan ujung flores
Wangi perjuangan itu masih ada
Di tanah bengkulu dan kota kembang
Bunga kamasan yang terlupakan
Perjuangan dalam keheningan
Ibu...
Tanahmu wangi bumi pertiwi
Puisi ini untuk Ibu Inggit Garnasih (1888-1984)
Beliau lahir di Kamasan Banjaran, Kabupaten Bandung 17 Februari 1888. Ibu Inggit adalah istri kedua Soekarno (1923-1943), Presiden pertama Republik Indonesia, beliaulah yang menemani Soekarno ketika masa-masa sulit sebelum kemerdekaan.
Menemani, menyemangati dan membantu setiap kebutuhan Soekarno ketika di penjara Banceuy, Sukamiskin, Flores dan Bengkulu sebelum akhirnya mereka bercerai dikarenakan Soekarno ingin menikah kembali dengan Fatmawati
"Tidak usah meminta maaf Kus. Pimpinlah negara dengan baik, seperti cita-cita kita dahulu di rumah ini."
"Negara kita ini, untuk kita semua, untuk seluruh rakyat dan untuk seluruh keturunan bangsa kita," Ucapan Inggit Garnasih kepada Soekarno tahun 1960, ketika Sang Proklamator mendatangi Inggit di Bandung untuk meminta maaf karena telah menyakiti hatinya.
Inggit tak pernah membenci apalagi dendam kepada Soekarno, begitupun kepada Fatmawati. Sekitar tahun 80an atas mediasi Ali Sadikin Fatmawati bertemu Inggit untuk minta maaf di Bandung, beberapa tahun setelah pertemuan itu tepatnya 13 april 1984, ibu Inggit meninggal, membawa semangat juang, cinta dan keteladanan.
Nasihin, Pengurus Lesbumi Kabupaten Bandung