• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 14 Mei 2024

Kota Bandung

Malam Satu Suro dan Tradisi Pesantren

Malam Satu Suro dan Tradisi Pesantren
Apa yang ada dibenak kalian jika mengingat atau mendengar kata malam satu Suro? Bulan yang dianggap sakral dalam kebudayaan orang Jawa. (Foto NU Online Jabar)
Apa yang ada dibenak kalian jika mengingat atau mendengar kata malam satu Suro? Bulan yang dianggap sakral dalam kebudayaan orang Jawa. (Foto NU Online Jabar)

Bandung, NU Online Jabar
Apa yang ada dibenak kalian jika mengingat atau mendengar kata malam satu Suro? Bulan yang dianggap sakral dalam kebudayaan orang Jawa.


Kata ‘Suro’ sendiri berasal dari bahasa Arab yakni ‘asyuro atau ‘asyroh yang berarti hari ke sepuluh. Secara harfiah, Suro merupakan salah satu nama bulan dalam penanggalan Jawa yang bertepatan dengan Muharram dalam kalender Hijriah.


Suronan merupakan tradisi pesantren yang dilakukan untuk menyambut hari ke sepuluh di bulan Muharram. Tradisi ini mempunyai sejarah yang panjang. 


Mengutip Ensiklopedia NU, pada hari tersebut Allah Swt mengampuni dosa Nabi Adam as, menyelamatkan dan mendaratkan Nabi Nuh as dengan kapalnya, menyelamatkan Nabi Musa as dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun bersama bala tentaranya, dan menyelamatkan Nabi Yunus as dari ikan huut (paus).


Masih banyak lagi peristiwa bersejarah yang terjadi pada hari ‘Asyuro. Pada hari itu, Allah Swt memberikan ampunan kepada hamba-hamba-Nya yang berdoa memohon ampunan. Oleh karena itulah seorang mukmin harus memperbanyak ibadah untuk mencari ampunan dari Allah Swt, serta berpuasa dan memperbanyak sedekah kepada anak yatim.


Pada hari Suronan, para santri berpuasa mengikuti Rasulullah Saw, seperti dalam haditsnya: 


“Ketika Nabi Saw diba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi puasa pada hari ‘Asyuro, beliau bertanya, ‘Hari apa ini?’ kemudian mereka mejawab, ‘Hari ini hari yang baik. Pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh-musuh mereka, karena itu Musa mempuasainya.’ Sabda Nabi Saw, ‘Aku lebih berhak dari padamu dengan Musa.’ Karena itu Nabi Saw mempuasainya dan menyuruh mempuasinya.” (HR. Al-Bukhari).


Dalam pelaksanaan tradisi Suronan, kalangan pesantren juga biasanya membuat bubur nasi, yaitu bubur abang (bubur merah) yang rasanya manis karena dibubuhi gula merah, dan bubur putih yang rasanya gurih.


Warna-warna ini merupakan simbol dua hal yang selalu berlawanan di dunia, misalnya laki-laki dan perempuan, siang dan malam, ataupun baik dan buruk.


Bulan Suro adalah bulan terjadinya peperangan antara yang baik dan yang buruk, sebagaimana tampak dalam tragedi pembunuhan Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala.


Sebagian masyarakat Jawa menekankan momentum Suro pada tanggal satu Suro, yaitu malam tahun baru bagi penanggalan Jawa Kuno. Mereka percaya pada malam ini berbagai kekuatan spiritual turun ke bumi untuk mendatangi orang-orang yang berhati bersih dan suci.


Biasanya mereka kemudian melakukan patigeni, yaitu tirakatan selama 24 jam tanpa tidur dan tidak makan untuk mengharap datangnya pesan dari langit. 


Ada juga yang melakukannya dengan merendam diri di sungai dan mandi di tempat-tempat tertentu. Sedangkan orang-orang yang memiliki pusaka (keris, jimat, dan lain-lain) akan memandikan dan membersihkannya pada hari keramat ini.


Kota Bandung Terbaru