• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

PWNU

Grand Syekh Al-Azhar Melacak Pemikiran Orisinal Imam Abu Al-Hasan Al-Asy'ari

Grand Syekh Al-Azhar Melacak Pemikiran Orisinal Imam Abu Al-Hasan Al-Asy'ari
Jilid Nadzhârât fî Fikr al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy'arî
Jilid Nadzhârât fî Fikr al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy'arî

Oleh Hilmi S Fuadi

Dengan tampilannya yang elegan, bersampulkan warna abu-abu kombinasi putih, buku itu sudah lama bertengger di rak saya. Kalau mau ditarik lebih jauh lagi, sebenarnya buku tersebut malah sudah saya miliki sejak lima-enam tahun silam, sebelum saya menginjakkan kaki di Mesir. 

Seorang teman, yang sekaligus merupakan senior dan guru, menghadiahi saya buku tersebut ketika ia sedang pulang ke Indonesia. Judul bukunya, Nadzhârât fî Fikr al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy'arî. Betul. Buku itu merupakan buah karya Maulana Imam Ahmad Ath-Thayyeb, Grand Syekh Al-Azhar saat ini. 

Sayangnya, buku itu belum pernah saya baca secara serius. Pertama kali membukanya pada beberapa tahun silam itu, saya cuma lihat daftar isi dan kata pengantarnya saja. Selebihnya, saya malah sibuk menerka-nerka i'rab dan tarkib kalimat, sambil bolak-balik buka kamus agar mengerti apa yang Grand Syekh ini hendak bicarakan. 

Alhamdulillah. Beberapa waktu yang lalu, akhirnya saya diberi hidayah untuk kembali membuka buku itu. Setelah saya ambil buku tersebut dari rak, lalu saya usap-usap sampulnya yang telah berselimut debu, saya pun duduk manis dan mulai membacanya perlahan-lahan, halaman demi halaman. 

Belum sampai pada pokok pembahasan, saya sudah dikejutkan dengan beberapa hal yang saya 
temukan pada buku tersebut. Meski berbagai informasi pengantar yang disampaikan oleh Grand Syekh itu barangkali sudah menjadi pengetahuan umum bagi para peneliti dan pelajar senior, namun bagi cah rebahan nan pemalas seperti saya ini, informasi yang disuguhkan oleh Grand Syekh itu sungguh baru, menarik, sekaligus mengejutkan. 

Sebetulnya, Grand Syekh pertama kali memublikasikan hasil penelitiannya ini lebih dari 30 tahun yang lalu. Pada 2013, beliau kembali memublikasikan dan menerbitkannya dalam bentuk buku, sebagai buku pertama dari serial buku-buku mantik, kalam dan filsafat yang diterbitkan oleh Al-Azhar Asy-Syarief melalui Majelis Hukama al-Muslimin. Lha, sejak pertama dipublikasikan pada 30 tahun lalu, kemudian diterbitkan kembali pada 2013, saya kok baru baca dan terkejut sekarang ini. Telat banget, kan? 

Nah, beberapa informasi yang disodorkan Grand Syekh pada pengantarnya itu ialah, bahwa kitab-kitab karyanya Imam Asy'ari yang sampai pada kita sekarang ini, sesungguhnya tidak pernah merepresentasikan pemikiran Imam Asy'ari sendiri secara utuh. Sambil mengutip Prof. Daniel Gimaret, seorang sarjana peneliti dari Prancis, Grand Syekh menguraikan bahwa beberapa karya tulis Imam Al-Asy'ari yang beredar saat ini, sulit untuk dikatakan sebagai sumber utama terhadap keutuhan pemikiran dan mazhab akidah Imam Al-Asy'ari. 

Sebagai bocah polos yang nggak tahu apa-apa, tentu saja saya tercengang membaca pemaparan itu. Namun demikian, seandainya saya tahu lebih awal, seharusnya fakta tersebut tidak lagi mengherankan. Sebab, mayoritas karya tulis Imam Al-Asy'ari saat ini memang hilang tak ditemukan. 

Imam Ibn 'Asakir (w. 571 H), dalam kitab monumentalnya yang berjudul Tabyîn Kidzb al-Muftarî fîmâ Nasaba ilâ al-Imâm al-Asy'arî, mendokumentasikan daftar judul buku yang telah ditulis oleh Imam Al-Asy'ari. Terkhusus dalam fan tauhid, Imam Ibn 'Asakir menyebut bahwa Imam Al-Asy'ari memiliki hampir 200 karya tulis. Dari jumlah yang sangat banyak itu, karya Imam Al-Asy'ari yang dapat kita akses hari ini hanya berjumlah enam judul saja. 

Sayangnya lagi, enam karya yang tersisa ini, ternyata bukanlah karya-karya utama. Dilihat dari kontennya, enam karya tersebut mustahil disebut sebagai karya induk Imam Al-Asy'ari. Pasalnya, karya-karya itu tidak cukup merefleksikan kompleksitas dan kedalaman pemikiran mazhab Asya'irah sebagaimana kelak akan tergambar pada berbagai penjelasan, komentar, kritik, koreksi, dan penambahan-penambahan yang marak ditulis oleh murid-murid Imam Al-Asy'ari pada generasi setelahnya. 

Enam karya Imam Al-Asy'ari yang dimaksud di sini ialah: (1) Risâlah al-Îman, (2) al-Ibânah fî Ushûl ad-Diyânah, (3) Risâlah Istihsân al-Khawdl fî 'Ilm al-Kalâm, (4) Risâlah ilâ Ahl ats-Tsaghr, (5) Maqâlât al-Islâmiyyin, dan (6) al-Luma'. Grand Syekh dalam pemaparannya kemudian mengabsen satu persatu alasan konkret mengapa enam kitab tersebut tidak mungkin disebut sebagai karya induknya Imam Al-Asy'ari. 

Pertama, kitab al-Luma'. Kitab ini memang mendapat sambutan yang 'hangat' dari berbagai kalangan, baik dari kalangan Asya'irah sendiri maupun dari kubu Mu'tazilah. Syekh Al-Baqillani (w. 403 H) sebagai perwakilan dari kubu Asy'ari memberikan penjelasan atas kitab tersebut, dengan judul Syarh al-Luma'. Di kubu yang lain, Syekh Al-Qadli 'Abdul Jabbar (w. 415 H) dari pembesar Mu'tazilah menulis kritiknya atas kitab al-Luma', dengan judul Naqdl al-Luma'. 

Namun demikian, betapa pun kitab al-Luma' itu telah melahirkan dialektikanya tersendiri, hanya saja, tetap tak dapat kita sangkal satu fakta bahwa kitab al-Luma' adalah kitab kecil dengan pembahasan yang sangat terbatas. Bahkan, kitab al-Luma' ini hanya membahas perkara Ilahiyyat dalam ilmu kalam, tak menyentuh pasal-pasal yang lain. Oleh karenanya, kitab ini tidak mungkin disebut sebagai kitab induk yang melahirkan mazhab Asy'ari secara utuh dan komprehensif. 

Kedua, Maqâlât al-Islâmiyyîn. Kitab ini disebut Grand Syekh sebagai kitab yang menempati level sekunder dalam hierarki urgensinya. Sebab, kitab ini hanya menyajikan isyarat-isyarat ringkas semata. Pada kitab ini, Imam Al-Asy'ari tidak memberikan penjelasan yang gamblang dan lengkap. Apa yang dimuat pada kitab Maqâlât al-Islâmiyyîn tidak cukup memadai hingga kemudian sanggup membentuk konstruksi mazhab teologi yang komplit--sebagaimana mazhab Asy'ari yang kita kenal saat ini. 

Selanjutnya, empat karangan Imam Al-Asy'ari yang disebutkan terdahulu, yaitu: Risâlat al-Îmân, al-Ibânah, Risâlah Istihsân al-Khawdl fî 'Ilm al-Kalam, dan Risâlah ilâ Ahl ats-Tsaghr. Nah, nasib empat karangan ini lebih parah dari dua karya yang lainnya. Sebab, keempat karya di atas bahkan tak pernah disebutkan dalam daftar judul karangan Imam Al-Asy'ari yang diarsipkan oleh Imam Ibn 'Asakir. 

Dari hal itu saja, posisi empat karangan tersebut sebenarnya sudah jelas. Meski tidak sampai membuat kita meragukan keaslian kitab-kitab itu, tapi setidaknya, fakta bahwa Imam Ibn 'Asakir tidak menyebutkan judul-judul kitab tersebut sudah membuat kita tahu bahwa keempat kitab itu memang tidak termasuk karya-karya penting Imam Al-Asy'ari. Seandainya saja empat kitab itu merupakan karya Imam Al-Asy'ari yang dianggap penting, maka Imam Ibn 'Asakir tak mungkin luput dari penyebutannya. 

*** 
Kondisi langkanya sumber rujukan primer ini menjadi masalah besar bagi para pengkaji dan peneliti pemikiran orisinal Imam Al-Asy'ari. Sebab, kita tak dapat mengetahui secara langsung keutuhan dan kedalaman pemikiran Imam Al-Asy'ari dari tulisannya sendiri. Kecanggihan pendapat-pendapat Imam Al-Asy'ari mengenai banyak pembahasan ilmu kalam yang mendetail, kompleks dan subtil tidak dapat kita temui pada enam karya beliau yang masih bisa kita jumpai sekarang ini. 

Sebagai contoh, teori epistemologi (nadzhariyyat al-ma'rifah/nadzhariyyat al-'ilm) yang orisinal milik Imam Al-Asy'ari. Tema yang akan menjadi salah satu fokus pembahasan pada buku Grand Syekh ini, tidak banyak diketahui oleh orang--bahkan sampai para pengkaji atau peneliti sekalipun. Alasan sederhananya, karena pada enam karya Imam Al-Asy'ari memang tidak terdapat pembahasan yang gamblang mengenai topik itu. 

Malah, tutur Grand Syekh, para peneliti biasanya lebih menguasai diskursus epistemologi mazhab Asy'arian yang telah dikoreksi, disanggah dan dimodifikasi oleh murid-murid Imam Al-Asy'ari pada generasi selanjutnya, daripada mengetahui teori epistemologi yang secara orisinal dicetuskan oleh Imam Al-Asy'ari sendiri. 

Pada satu sisi, ini memang ironis. Namun beruntungnya, kita masih bisa menjumpai salah satu kitab yang berisikan kompilasi penuturan-penuturan Imam Al-Asy'ari, yang ditulis oleh murid generasi kedua beliau, yaitu Imam Ibn Furak (w. 406 H). Berjudul Mujarrad Maqâlât asy-Syaikh Abî Al-Hasan Al-Asy'arî, manuskrip tertua dari kitab ini tersimpan rapi di Perpustakaan Arif Hikmet, kota Madinah. Kitab tersebut telah ditahkik dan diteliti secara ilmiah oleh Prof. Daniel Gimaret, peneliti dan dosen ilmu kalam di Universitas Sorbonne. Hasil tahkik itu kemudian diterbitkan di Beirut, pada tahun 1987.

Praktis, kitab Mujarrad ini menempati posisi yang teramat istimewa. Ia menjadi sumber yang sangat penting. Kitab Mujarrad itu merupakan rujukan terdekat yang masih bisa diakses untuk menjumpai pendapat-pendapat orisinal Imam Al-Asy'ari. Grand Syekh pun melandaskan penelitiannya secara total pada kitab ini, lantaran kitab ini memang lebih lengkap dan komprehensif daripada enam kitab karya Imam Al-Asy'ari sendiri. 

Ah, sepertinya catatan saya ini sudah terlalu panjang. Sementara itu, Grand Syekh Al-Azhar, Maulana Imam Ahmad Ath-Thayyeb, telah menghidangkan sajian lezatnya di atas meja. Begitu pula para peneliti dan ulama yang lain. Sekarang, waktunya saya yang lapar dan kurang gizi ini untuk menyantap hidangan-hidangan tersebut. Semoga Allah memberikan petunjuk.

Penulis adalah seorang Nahdliyyin asal Jawa Barat. Saat ini sedang kuliah di Universitas Al-Azhar, Kairo, berkhidmah sebagai Wakil Ketua PC GP Ansor Mesir


PWNU Terbaru