• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Hikmah

Puasa di Ruang Mu'rob untuk Bekal di Ruang Mabni

Puasa di Ruang Mu'rob untuk Bekal di Ruang Mabni
(NU Online Jabar/Ilustrasi: inforeligi.com)
(NU Online Jabar/Ilustrasi: inforeligi.com)

Oleh: Ajengan Ahmad Anwar Nasihin

Saya akan mengawali tulisan ini dengan bait Alfiyyah:


وَكُلُّ حَرْفٍ مُسْتَحِقُّ لِلْبِنَا # وَاْلأَصْلُ فِى الْـمَبْنِى أَنْ يُسَكَّنَ

“Setiap individu hendaklah memiliki jiwa yang kokoh, berpegang teguh pada kebenaran dan pada hakikatnya keteguhan seseorang tergantung pada keistiqomahan hati,”

Nadhom di atas menjelaskan setiap kalimat huruf itu pasti mabni, tidak ada yang mu'rob, karena ia tidak butuh terhadap I'rob, dan yang pasti, kalimat yang mabni itu adalah mabni sukun,

Dalam teori ilmu Nahwu ada dua istilah yaitu mu’rob dan mabni. Mu’rob adalah Perubahan dan mabni adalah penetapan. Mu’rob secara Istilah dalam Ilmu nahwu adalah kata atau lafad bahasa arab yang dapat mengalami perubahan harkat dan huruf pada akhirnya. Sedangkan mabni adalah lafad yang tetap dan kekal, yang tidak berubah di akhir lafadnya. Dalam filosofi hidup, manusia tidak akan terlepas dari yang namanya perubahan dan penetapan, selayaknya teori yang digunakan dalam Ilmu Nahwu.

Mu’rob ibarat kehidupan manusia di dunia (berubah), sedangkan mabni ibarat kehidupan manusia di akhirat (Kekal dan abadi). Kehidupan manusia di dunia perlu banyak perubahan, dari yang jelek menjadi baik, dari miskin menjadi kaya, dari bodoh menjadi pintar. Sementara kehidupan manusia di akhirat akan abadi selamanya, tidak ada harapan lagi untuk adanya perubahan. Pada masa di dunialah manusia bisa merubah hidupnya: kalau dia merubah hidupnya menjadi benar kemungkinan akan mendapatkan kabaikan di akhiratnya, tetapi apabila manusia tidak merubah menjadi benar, kemungkinan di akhiratnya akan mendapatkan kerugian.

Kenapa saya mengutip bait di atas? karena makna filosofi mabni adalah tetap yang berarti keteguhan jiwa/istiqomah untuk berpegang teguh terhadap kebenaran, agar kelak di akhirat kita menjadi manusia yang mabni di surga secara paripurna. Sehingga akan ditetapkan oleh Allah menjadi manusia yang berbahagia di dunia dan akhirat, hakikat dari istiqomah.

Melalui Ramadhan yang akan kita hadapi, ibadah puasa akan mengajarkan kita tentang hikmah perubahan ke arah yang lebih baik. Ibadah puasa akan melatih mental manusia untuk menjadi hamba yang dekat dengan Allah dan mahluk-Nya, akan mengerti arti hidup dan kehidupan. Dengan ibadah puasa diharapkan kita bisa menahan amarah dan hawa nafsu, meninggalkan sifat sifat yang tidak terpuji, meninggalkan saling mencaci maki, saling menghina, saling menjatuhkan dan saling berprasangka buruk di antara kita, yang memberikan dampak negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Apabila sudah tercapai perubahan di atas maka negara kita akan menjadi negara yang makmur, luhur dan bermartabat. Puasa adalah latihan hidup yang sesungguhnya. Kita akan merasakan bagaimana menjadi orang yang lapar tetapi bukan kelaparan, kita bisa merasakan nikmatnya berbagi dari pada dibagi, kita bisa merasakan nikmatnya mengasihi bukan ingin dikasihi dan banyak lagi hikmah yang lainnya.

Apabila kita melaksanakan puasa dengan ikhlas dan sungguh sungguh, maka Puasa akan melatih kita ke arah yang lebih baik, bukan hanya sekedar menahan haus dan lapar saja. Spiritualitas puasa adalah terwujudnya perubahan lahir dan batin manusia ke arah yang lebih soleh. Demikian juga puasa yang kita laksanakan tidak sedikit manfaat dan hikmah di dalamnya. Hikmah yang mampu mengantarkan kita mencapai tujuan derajat takwa (muttaqin). Allah SWT berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (QS. Al-Baqarah: 183)

Secara zahir pelaksanaan puasa mungkin terasa memberatkan, baik secara jasmani maupun rohani, karena memang manusia mempunyai kecenderungan untuk menuruti hawa nafsunya (QS. Yusuf:53). Sementara ibadah puasa menuntut pelakunya untuk mengendalikan diri dan menahan hawa nafsu. Juga sebagai latihan menguasai diri dan mengendalikan seluruh anggota tubuh kita lahir dan batin dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. 

Karena itu Rasulullah SAW bersabda: Apabila ada orang yang mencaci kalian atau mengajak berkelahi, maka katakanlah “Aku sedang berpuasa, Aku sedang berpuasa, Aku sedang berpuasa.” Maksudnya agar kita menahan diri dan menahan emosi. Umumnya setiap orang apabila dicaci maki pasti marah. Marah merupakan hal yang manusiawi, tetapi dalam keadaan marah ini hendaknya kita menahan diri dan jangan bertindak gegabah yang bisa berakibat penyesalan. Salah satu ciri orang yang bertakwa adalah dapat menguasai dan menahan diri pada saat berpuasa.

Sejatinya, puasa bukan hanya meninggalkan makan dan minum di siang hari saja, namun puasa hendaknya mampu menahan hawa nafsu kita dari perbuatan tercela dan perilaku yang tidak mendapatkan ridla dari Allah SWT. Rasulullah SAW mengingatkan agar kita tidak tergoda oleh keinginan nafsu semata yang dapat mengurangi nilai ibadah puasa kita. 

Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda : Banyak sekali orang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya rasa lapar. (HR. Al-Hakim). Karenanya hendaknya kita berubah dengan meninggalkan kebiasaan yang tidak baik seperti menggunjing orang lain, berdusta, menghina, memfitnah, mengadu domba, menipu dan lain sebagainya. Juga dalam rangka membersihkan hati kita dari penyakit-penyakit yang dapat merusak amal ibadah kita, seperti sombong, iri, dengki, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, Yakinkan dalam hati kita, bahwa ibadah Puasa dapat menghasilkan efek sosial yang baik, positif untuk diri kita sendiri maupun untuk orang lain, karena manusia akan terlatih kesolihan dirinya melalui ibadah puasa. Apa yang kita kerjakan pasti akan ada hasilnya, tergantung bagaimana prosesnya, apabila prosesnya baik, maka hasilnya akan baik. Tetapi apabila prosesnya tidak baik, maka hasilnya akan tidak baik juga.  Sebagaimana Ibnu Malik menjelaskan hukum penetapan isim fa’il maka penetapan isim maf’ul pun harus mengikuti penetapan isim fa’il tanpa harus bertolak belakang, makna filosofinya dari bait tersebut saya artikan seperti ini :

وَكُـلُّ مَا قُرِّرَ لِاسْمٍ فَاعِلٍ #  يُعْطَى اَسْمَ مَفْعُوْلٍ بِلَا تَفَاضُلٍ

“ etiap orang yang melakukan suatu perbuatan, maka akan mendapat hasil dari apa yang ia kerjakan.”

Yang harus kita lakukan adalah pekerjaan yang baik dan berkualitas, agar mendapatkan hasil  yang baik, jangan asal asalan dalam bekerja, tetapi harus terukur pekerjaannya, agar hasilnya pun maksimal. Begitupun dalam berpuasa jangan asal mengosongkan perut saja, tetapi bulan ramadlan harus dimanfaatkan dengan baik.  Isi dengan sarana amal lainnya agar puasa kita berkualitas dan diterima oleh Allah SWT. Perbanyak membaca Al-Qur’an, tasbih, tahmid, takbir serta memperbanyak sodaqoh, dan memberikan kebaikan kepada orang lain baik dalam bentuk apapun.  

Imam Ghozali mempertegas tentang pekerjaan yang berkualitas jauh lebih baik dari pekerjaan yang ingin cepat selesai. 

لَا تَطْلُبْ سُرْعَةَ الْعَمَلْ وَاطْلُبْ تَجْوِيْدَهُ، لِأَنَّ النَّاسَ لَا يَسْأَلُوْنَكَ فَرَغَ مِنَ الْعَمَلْ، بَلْ يَنْظُرُوْنَ إِلَى إَتْقَانِهِ وُجُوْدَةُ صَنْعَتِهِ.

"Jangan mencari kecapatan dalam bekerja, tetapi carilah kualitas pekerjaannya, karena sesungguhnya manusia tidak akan bertanya seberapa banyak anda menyelesaikannya, melainkan orang akan melihat dari kualitas pekerjaannya."

Pekerjaan manusia tergantung pada niatnya, seperti halnya kita berpuasa perlu niat terlebih dahulu, agar puasa kita sesuai dengan tata aturan fiqihnya dan tidak menyimpang dari tujuan berpuasa. Hasil dari pekerjaan puasa di bulan ramadlan, bisa kita buktikan menjelang Idul Fitri. Apabila kita menjalankan puasa dengan sungguh sungguh niscaya dengan sendirinya akan mendapatkan kemenangan yang hakiki di hari idul fitri, kita akan mendapatkan kebahagiaan lahir bathin, dengan kebahagiaan yang alami bukan dibuat-buat agar kelihatan bahagia. Inilah yang dimaksud pekerjaan yang berkualitas. 

Tentang pekerjaan yang baik bait Alfiyyah Ibnu Malik mengatakan:


وَالْفِعْلُ بَعْدَ الْفَاءِ فِى الرَّجَا نُصَبْ # كَـــنَصْبِ مَا إِلَى التَّــمَنَّى يَـــنْـــتَصِبْ

“Pekerjaan yang dilakukan semaksimal mungkin haruslah disertai dengan roja’ (mengharapkan pertolongan Allah) supaya tidak putus asa di tengah-tengah usahanya, sebagaimana orang yang selalu mengharapkan anak cucunya menjadi orang yang baik dengan terus mendoakan dan pasrah diri kepada Allah."

Pada akhirnya kita perlu mengharapkan pertolongan dari Allah, karena setiap pekerjaan yang baik harus berharap mendapat rahmat Allah SWT. Kata Syeikh ‘Ato’illah dalam kitab Hikam:


مِنْ عَلاَ مَةِ اْلاِعْـتِــمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُـودِ الزَّ لــَـلِ


"Di antara tanda-tanda orang yang senantiasa bersandar kepada amal-amalnya, adalah kurangnya ar-raja' (berharap kepada rahmat Allah) di sisi alam yang fana."


Ar-raja adalah istilah khusus dalam terminologi agama, yang bermakna pengharapan kepada Allah Ta'ala. Pasal Al-Hikam yang pertama ini bukan ditujukan ketika seseorang berbuat salah, gagal atau melakukan dosa. Karena ar-raja lebih menyifati orang-orang yang mengharapkan kedekatan dengan Allah, untuk taqarrub.

Kalimat "wujuudi zalal", artinya segala wujud yang akan hancur, alam fana. Menunjukkan seseorang yang hidup di dunia dan masih terikat oleh alam hawa nafsu dan alam syahwat. Itu semua adalah wujud al-zalal, wujud yang akan musnah. Seorang mukmin yang kuat tauhidnya, sekalipun masih hidup di dunia dan terikat pada semua wujud yang fana, namun harapannya semata kepada Allah Ta'ala.

Jika kita berharap akan rahmat-Nya, maka kita tidak akan menggantungkan harapan kepada amal-amal kita, baik itu besar atau pun kecil. Dan hal yang paling mahal dalam suluk adalah hati, yaitu apa yang dicarinya dalam hidup. Dunia ini akan menguji sejauh mana kualitas raja (harap) kita kepada Allah Ta'ala.

Rasulullah saw. bersabda: 
"Tidaklah seseorang masuk surga dengan amalnya." Ditanyakan, "Sekalipun engkau wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Sekalipun saya, hanya saja Allah telah memberikan rahmat kepadaku."  (H.R. Bukhari dan Muslim)

Orang yang melakukan amal ibadah itu pasti punya pengharapan kepada Allah, meminta kepada Allah supaya berhasil pengharapannya, akan tetapi jangan sampai orang beramal itu bergantung pada amalnya, karena hakikatnya yang menggerakkan amal ibadah itu Allah. Sehingga apabila terjadi kesalahan, seperti, terlanjur melakukan maksiat, atau meninggalkan ibadah rutinnya, ia merasa putus asa dan berkurang pengharapannya kepada Allah. sehingga apabila berkurang pengharapan kepada rohmat Allah, maka amalnyapun akan berkurang dan akhirnya berhenti beramal.

Ajengan Ahmad Anwar Nasihin, Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Tarbiyah Liunggunung Plered, Katib Syuriah PCNU Purwakarta.


Editor:

Hikmah Terbaru