• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Hikmah

Mitos Kesialan dan Makna Penamaan Bulan Safar

Mitos Kesialan dan Makna Penamaan Bulan Safar
Mitos Kesialan dan Makna Penamaan Bulan Safar (Ilustrasi: AM)
Mitos Kesialan dan Makna Penamaan Bulan Safar (Ilustrasi: AM)

Safar bulan kedua dalam penanggalan hijriyah setelah bulan Muharram. Pada bulan tersebut populer di kalangan masyarakat terdapat beberapa mitos akan kesialan terjadi di bulan ini. Untuk mengetahui mitos tersebut mari simak penjelasan berikut mengenai penamaan dibalik bulan Safar.
 

Di balik penamaan bulan Safar, terdapat peristiwa yang melatarinya. Sebagaimana diketahui, Safar dalam bahasa Arab memiliki arti kosong atau sepi. Imam Abul Fida Ismail bin Umar ad-Dimisyqi, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Ibnu Katsir (wafat 774 H) menjelaskan bahwa penamaan bulan Safar tidak lepas dari keadaan orang Arab tempo dulu pada bulan ini. 
 

Safar yang memiliki arti “sepi” atau “sunyi” sesuai keadaan masyarakat Arab yang selalu sepi pada bulan Safar. Sepi dalam arti senyapnya rumah-rumah mereka karena orang-orang keluar meninggalkan rumah untuk perang dan bepergian. Imam Ibnu Katsir menjelaskan:


صَفَرْ: سُمِيَ بِذَلِكَ لِخُلُوِّ بُيُوْتِهِمْ مِنْهُمْ، حِيْنَ يَخْرُجُوْنَ لِلْقِتَالِ وَالْأَسْفَارِ


Artinya, “Safar dinamakan dengan nama tersebut, karena sepinya rumah-rumah mereka dari mereka, ketika mereka keluar untuk perang dan bepergian.” (Ibnu Katsir, Tafsîrubnu Katsîr, [Dârut Thayyibah, 1999], juz IV, halaman 146).


Selain Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu Manzhur (wafat 771 H), juga menyampaikan alasan yang lebih banyak. Menurutnya, ada beberapa alasan mendasar di balik penamaan bulan Safar, di antaranya: 

  1. sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir; 
  2. orang Arab memiliki kebiasaan memanen semua tanaman yang mereka tanam, dan mengosongkan tanah-tanah mereka dari tanamanan pada bulan Safar; dan 
  3. pada Safar orang Arab memiliki kebiasaan memerangi setiap kabilah yang datang, sehingga kabilah-kabilah tersebut harus pergi tanpa bekal (kosong) karena mereka tinggalkan akibat rasa takut pada serangan orang Arab. (Muhammad al-Anshari, Lisânul ‘Arab, [Beirut, Dârus Shadr: 2000], juz IV, halaman 460).


Mitos Kesialan di Bulan Safar
Melansir NU Online, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan, Ustadz Sunnatullah menerangkan sebagaimana jamak diketahui, banyak orang beranggapan dan bahkan ada yang meyakini, pada bulan safar akan terjadi musibah yang luar biasa dan akan terjadi cobaan melebihi bulan-bulan lainnya. 


Dalam hal ini, Ustadz Sunnatullah menyampaikan bahwa bulan Safar dan bulan lainnya tidak memiliki perbedaan sama sekali. 


“Dalam hal ini Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat 795 H) mengatakan sebagaimana dalam bulan lain, dalam bulan Safar dapat terjadi keburukan dan kebaikan. Dengan kata lain, tidak boleh menganggap bulan Safar diyakini sebagai bulan yang dipenuhi dengan kejelekan dan musibah,” terangnya


Beliau menegaskan:


وَأَمَّا تَخْصِيْصُ الشُّؤْمِ بِزَمَانٍ دُوْنَ زَمَانٍ كَشَهْرِ صَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ فَغَيْرُ صَحِيْحٍ


Artinya, “Adapun mengkhususkan kesialan dengan suatu zaman tertentu bukan zaman yang lain, seperti (mengkhususkan) bulan Safar atau bulan lainnya, maka hal ini tidak benar.”


Dalam hal ini lanjut Ustadz Sunnatullah, Ibnu Rajab tidak membenarkan keyakinan seperti itu sebab semua bulan, zaman, dan tahun merupakan makhluk Allah swt, yang di dalamnya bisa saja terjadi suatu kesialan, bencana, dan musibah. 


“Maka sangat tidak logis jika musibah hanya dikhususkan pada bulan Safar dan meniadakannya pada bulan-bulan lainnya,” tegasnya


Menurut Ustadz Sunnatullah, Ibnu Rajab menyatakan dengan tegas, barometer dari baik dan tidaknya suatu zaman tidak dilihat dari kejadian-kejadian yang terjadi di dalamnya. 


“Menurut Ibnu Rajab semua zaman yang di dalamnya, semua seorang mukmin menyibukkan diri dengan kebaikan, maka zaman tersebut adalah zaman yang diberkahi,” ujarnya. 


Demikian pula sebaliknya. Ibnu Rajab berkata:


فَكُلُّ زَمَانٍ شَغَلَهُ المُؤْمِنُ بِطَاعَةِ اللهِ فَهُوَ زَمَانٌ مُبَارَكٌ عَلَيْهِ، وَكُلُّ زَمَانٍ شَغَلَهُ العَبْدُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَهُوَ مَشْؤُمٌ عَلَيْهِ

 

Artinya, “Setiap zaman yang orang mukmin menyibukkannya dengan ketaatan kepada Allah, maka merupakan zaman yang diberkahi; dan setiap zaman orang mukmin menyibukkannya dengan bermaksiat kepada Allah, maka merupakan zaman kesialan (tidak diberkahi).” (Zainuddin ‘Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Baghdadi ad-Dimisyqi, Lathâ-iful Ma’ârif, [Dar Ibn Hazm, cetakan pertama: 2004], halaman 81).


Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, penyebab suatu zaman tidak diberkahi oleh Allah swt adalah dikarenakan banyaknya kemaksiatan yang dilakukan manusia. Begitu juga penyebab suatu zaman bisa diberkahi apabila di dalamnya orang sibuk dengan melakukan ketaatan dan kebaikan. Karenanya sangat wajar jika pada penjelasan di atas, Ibnu Rajab menolak anggapan atau keyakinan bahwa bulan Safar dianggap sebagai bulan kesialan yang di dalamnya tidak ada keberkahan sama sekali.


Anggapan atau keyakinan tersebut sebenarnya tidak lepas dari tradisi orang Arab yang memiliki keyakinan bahwa bulan Safar merupakan bulan kesialan dan penuh cobaan. Keyakinan salah itu akhirnya mengakar dan menyebar ke mana-mana, bahkan tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mengikutinya. Rasulullah saw pun menolak anggapan seperti itu. Rasulullah saw bersabda:


لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ


Artinya, “Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan), dan juga tidak ada (kesialan) pada bulan Safar. Menghindarlah dari penyakit judzam sebagaimana engkau menghindar dari singa.” (HR al-Bukhari) (Badruddin ‘Aini, ‘Umdâtul Qâri Syarhu Shahîhil Bukhâri, [Beirut, Dârul Kutub: 2006], juz IX, halaman 409).


Syekh Abu Bakar Syata ad-Dimyathi (wafat 1302) mengatakan, hadits di atas ditujukan untuk menolak keyakinan dan anggapan orang-orang Jahiliah yang mempercayai setiap sesuatu dapat memberikan pengaruh dengan sendirinya; baik keburukan maupun kebaikan. Selain itu juga menolak setiap penisbatan suatu kejadian kepada selain Allah. Artinya, semua kejadian yang terjadi murni karena kehendak Allah yang sudah tercatat sejak zaman azali, bukan disebabkan waktu, zaman, dan anggapan salah lainnya.” (Abu Bakar Syattha, Hâsiyyah I’ânatuth Thâlibîn, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiah: 2003], juz III, halaman 382).


Bukti Bulan Safar Bukan Bulan Kesialan
Ustadz Sunnatullah juga menerangkan bukti bahwa Bulan Safar adalah bukan bulan yng diyakini sebagai bulan yang lekat dengan kesialan.


“Habib Abu Bakar Al-Adni dalam salah satu mengatakan, ada beberapa bukti peristiwa yang menolak keyakinan masyarakat Jahiliah atas keyakinannya yang menganggap bahwa bulan safar merupakan bulan kesialan, berikut ini bukti-bukti tersebut,” ucapnya.

1) Rasulullah saw melangsungkan pernikahan dengan Sayyidah Khadijah pada bulan Safar; 
2) Pernikahan antara Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah az-Zahra juga di bulan Safar; 
3) Hijrah Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah bertepatan dengan bulan Safar; 
4) perang pertama, yaitu perang Abwa terjadi pada bulan Safar, di mana umat Islam jusrtu mendapatkan kemenangan telak atas kaum kafir; 
5) pada bulan Safar juga terjadi peperangan hebat yaitu perang Khaibar, dan kemenangan diraih oleh umat Islam. (Abu Bakar al-Adni, Mandzûmatu Syarhil Atsar fî Mâ warada ‘an Syahri Shafar, halaman 9).


Editor: Abdul Manap
 


Hikmah Terbaru