Oleh: KH Husein Muhammad
Suatu hari dalam sebuah pengajian seorang santri membaca ayat suci al-Qur'an surah al Qari'ah yang berbunyi :
فَاَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَهُوَ فِى عِيْشَةٍ راضِيَة . وَاَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ.
نَارٌ حَامِيَةٌ (سورة القارعة)
Arti literalnya : “Maka adapun orang-orang yang berat timbangannya, maka dia berada dalam kehidupan yang nyaman. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangannya. maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu Apakah neraka hawiyah itu. Ialah api yang sangat panas (Q.S. al-Qari’ah, [101]:6-11)
Salah seorang dari mereka mengacungkan tangannya lalu mengomentari :
"Jadi orang yang berbadan subur/gemuk, dia akan hidup makmur, dan pasti masuk sorga. Sementara orang yang kurus, maka dia akan masuk neraka".
Mendengar ini santri-santri yang merasa berbadan gemuk tersenyum-senyum, sedangkan santri yang merasa kurus menundukkan kepala. Mereka sangat bersedih hati.
Saya tersenyum tapi juga bersedih hati, karena jangan-jangan saya nanti tidak akan masuk surga, gara-gara badan saya kurus, kerempeng atau langsing. Hicks, hicks, hicks.
Lalu aku teringat kata-kata dua ulama besar Indonesia. Prof. Quraish Shihab mengatakan:
"Tidak cukup untuk memahami Al-Quran hanya melalui terjemahan".
Al-Quran itu tak bisa diterjemahkan. Apalagi diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang kosa katanya masih miskin,” kata Gus Mus.
Aku bergumam sendiri: ya. Saat aku belajar di pesantren dan di PTIQ dahulu kala aku diajari : Al-Qur'an mengandung banyak sekali metafora, majaz, kinayah, kiasan, "idhmar", "hadzf" dan sejenisnya. Kata perintah (amr) tidak selalu berarti harus/wajib dilakukan. Kata "jangan" tidak selalu bermakna larangan keras. Kata tanya (istifham) tidak selalu minta jawaban, malah justeru merupakan kritik keras. Huruf-huruf hanyalah simbol atau kode.
Sumber: FB Husein Muhammad