• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Hikmah

Beda Kasih Sayang Allah dengan Manusia

Beda Kasih Sayang Allah dengan Manusia
Beda Kasih Sayang Allah dengan Manusia (Ilustrasi: AM)
Beda Kasih Sayang Allah dengan Manusia (Ilustrasi: AM)


Allah Swt mempunyai 99 nama yang kita kenal dengan Asmaul Husna atau al-asmâ’ al-ḫusnâ. Dari 99 nama yang indah itu dua diantaranya yaitu Ar-rahman dan Ar-rahim yang memiliki arti yang maha pengasih dan maha penyayang.


Kasih sayang, atau rahmat dalam istilah yang berbeda adalah satu sifat yang melekat dalam diri Allah subhanahu wa ta’ala yang juga terdapat pada seluruh makhluk-Nya. Sebab, mereka diciptakan tidak lepas dari rahmat itu sendiri. Tak terkecuali keburukan. Ia juga diciptakan Allah dengan kasih sayang. 


Dari itu, tepat stateman al-Ghazali yang berbunyi, Laisa fil wujudi syarr(un) illa wa fi dhimnihi khair(un) (Pada setiap keburukan yang bertebaran di jagat semesta ini pasti terselip kebaikan di dalamnya). Pendeknya, kasih sayang adalah bahan dasar penciptaan seluruh makhluk Tuhan. 


Namun, kualitas Sang Pencipta dengan yang diciptakan tetap tidak pernah sama. Kendati manusia memiliki kasih sayang sebagaimana Tuhan-Nya, tetapi kualitasnya jauh berbeda antara langit dan bumi. Itulah alasan mengapa dalam bahasa Indonesia, khusus untuk sifat Allah, kita mengawalinya dengan kata “Maha”. 


Sebelum lebih jauh berbincang terkait perbedaan tersebut, kajian ihwal pengertian rahmat barangkali lebih tepat untuk didahulukan. Dengan maksud sistematisasi kajian yang lebih rapi. Sehingga dapat lebih memanja sekalian pembaca.


Pengertian Rahmat 
Rahmat(un) (baca: Rahmat) adalah satu sifat yang menjadi akar dari segala bentuk kemaslahatan, baik di dunia maupun akhirat. Sebab tak satu pun kemaslahatan yang lepas dari sifat kasih sayang. Kata rahmat(un) merupakan kata dasar dari ar-rahman dan ar-rahim yang bermakna Sang Maha Pengasih dan Penyayang. Oleh karena kedua lafal tersebut lahir dari kata yang mengandung makna kasih sayang, maka tentu sekali konsep dasar ar-Rahman dan ar-Rahim mengikuti konsep yang melekat pada kata dasarnya.


Salah satunya, seperti yang ditulis al-Ghazali dalam Al-Maqshidul Atsna fi Syarhi Ma’ani Asmaillah al-Husna (Dar Ibnu Hazm Baerot, Libanon [Cetakan Pertama: 1424 H/2003 M] hal. 62) berikut:


 الرحمة تستدعي مرحوما ولا مرحوم إلا وهو محتاج 


Artinya, “Kasih sayang pasti membutuhkan suatu objek untuk bertempat, demikian sebaliknya, sang objek juga dalam kondisi sangat merindukan kasih sayang.”


Oleh karena itu, bukanlah sebuah kasih sayang ketika simpati dan empati seseorang tidak tersalurkan menjadi aksi. Atau tersalurkan, namun secara tidak sengaja, alias tanpa ada maksud dan atensi kepada objek yang dikasihsayangi. Maka solusinya, apa yang disampaikan al-Ghazali di atas harus terejawantahkan secara benar, sehingga berhasil menjelma menjadi sikap yang rahmatan lil ‘alamin seperti misi kerasulan baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  


Perbedaan Kasih Sayang Allah dan Manusia 
Secara umum, ada dua syarat seseorang dapat dikatakan sebagai penebar kasih sayang (ar-rahim), sebagaimana yang ditulis al-Ghazali dalam Al-Maqshidul Atsna.  


Pertama, memiliki atensi terhadap hamba yang butuh dan bermaksud menjalankan atensinya. Sehingga, jika hajat si hamba tersebut secara tidak sengaja-tanpa maksud dan atensi-dapat terbantukan berkat suatu kebijakan misalnya, maka sang pemilik kebijakan tak dapat disebut penebar kasih sayang terhadap si hamba. Lantaran kealpaan atensi serta maksud untuk membantunya. 


Kedua, mampu membantu dan menjalankan kemampuan tersebut. Maka, jika seseorang memiliki kemampuan, namun tidak ia salurkan menjadi sikap nyata, tentu tidak dapat menyandang gelar penebar kasih sayang. Berbeda dengan seseorang yang tidak membantu karena memang tidak mampu. Kendati mungkin memiliki atensi yang tinggi. Maka, orang dengan kriteria ini dapat disebut sebagai penebar kasih sayang, walaupun dalam keterbatasan (rahmat(un) naqishat(un)). 


Dari sini, kasih sayang manusia terjabar menjadi tiga bagian. Dan, di sinilah poin yang membedakannya dengan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala. 


Pertama, kasih sayang yang sempurna (rahmat(un) tammat(un)), yaitu ketika seseorang secara sengaja memenuhi hajat sekalian hamba yang membutuhkan, yang didorong oleh atensi yang besar. 


Kedua, kasih sayang yang tersebar merata (rahmat(un) ‘ammat(un)), yaitu kasih sayang yang tersalurkan tanpa pandang bulu, baik kepada yang berhak mendapatkannya maupun yang tidak. Ketiga, kasih sayang yang terbatas (rahmat(un) naqishat(un)), yaitu ketika seseorang memiliki atensi besar untuk membantu sesama, namun karena terbatas kemampuan, atensi itu pun gagal tersalurkan. 


Jauh berbeda dengan kasih sayang Allah. Ia masuk dalam kategori rahmat(un) tammat(un) wa ‘ammat(un). Yaitu, kasih sayang yang tersebar secara sempurna dan tanpa pandang bulu, baik kepada yang berhak mendapatkannya maupun yang tidak. 


Dalam hal ini, al-Ghazali memberi sematan ar-rahim al-muthlaq (Sang Penebar Kasih Sayang Sejati) khusus bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Al-Ghazali menulis:


 ورحمة الله عز وجل تامة وعامة أما تمامها فمن حيث أنه أراد قضاء حاجات المحتاجين وقضاها. وأما عمومها فمن حيث شمولها المستحق وغير المستحق وعم الدنيا والآخرة وتناول الضرورات والحاجات والمزايا الخارجة عنهما فهو الرحيم المطلق حقا 


Artinya, “Kasih sayang Allah itu sempurna dan merata. Kesempurnaannya merujuk pada aspek bahwa Allah memang bertujuan dan benar-benar memenuhi setiap hajat hamba-Nya. Dan, disebut merata, karena pemenuhan hajat tersebut tanpa memandang siapa yang berhak dan yang tidak. Semuanya dapat merasakannya, di dunia dan akhirat. Khusus di dunia, tidak hanya kebutuhan primer yang terpenuhi, tetapi yang skunder dan tersier pun tersalurkan dengan sempurna. Dialah Sang Penebar Kasih Sayang Sejati.” al-Maqshidul Atsna fi Syarhi Ma’ani Asmaillah al-Husna (Dar Ibnu Hazm Baerot, Lebanon [Cetakan Pertama: 1424 H/2003 M] hal. 62) 


Ungkapan di atas semakin menguatkan bahwa tak satu pun makhluk di jagat semesta ini melainkan terselimuti kasih sayang ilahi. 


Yang menarik adalah, bahwa klasifikasi kasih sayang manusia menjadi tiga (tammah, ‘ammah dan naqishah) di atas, bukan klasifikasi yang terkunci. Sebab, ada beberapa manusia-dengan kualitas spiritual yang tinggi-berhasil menembus kategori keempat, tammat(un) wa ‘ammat(un). Seperti yang dimiliki Allah subhanahu wa ta’ala. Namun, tetap dalam batas kemanusiaannya. Mereka itulah yang disebut modern ini dengan istilah manusia universal. 

Editor: Abdul Manap
Sumber: NU Online
 


Hikmah Terbaru